Panbronkiolitis difus atau Diffuse panbronchiolitis (DPB) adalah penyakit radang paru-paru yang penyebabnya tidak diketahui. Penyakit ini adalah bentuk bronkiolitis yang parah dan progresif di mana terjadi peradangan pada bronkiolus (saluran udara kecil yang terdapat di paru-paru). Yang dimaksud penyebaran pada penyakit ini adalah ketika muncul lesi pada kedua paru-paru. Panbronkiolitis mengacu pada peradangan yang ditemukan di semua lapisan bronkiolus (bagian pernapasan yang terlibat dalam pertukaran gas). Penyakit ini juga menyebabkan peradangan parah dan lesi yang serupa seperti pada bronkiolus terminal, sinusitis kronis, dan batuk hebat yang menghasilkan sputum dalam jumlah besar.
Disebutkan bahwa penyakit ini terjadi akibat lemahnya sistem kekebalan tubuh atau imunitas terhadap bakteri atau virus yang menyebabkan panbronkiolitis difus. Kelemahan sistem kekebalan tubuh ini, umumnya ditemukan pada beberapa gen utama individu keturunan Asia Timur. Insiden tertinggi terjadi pada orang Jepang, diikuti oleh orang Korea. Panbronkiolitis lebih sering terjadi pada pria berusia sekitar 40 tahun-an. Penyakit ini diakui sebagai penyakit baru yang khas pada awal 1960-an dan secara resmi dinamai panbronkiolitis difus (diffuse panbronchiolitis) pada tahun 1969.
Jika tidak diobati, panbronkiolotis akan berkembang menjadi bronkiektasis, yaitu suatu kondisi pada paru-paru di mana terjadi pembesaran dan penumpukkan lendir pada saluran bronkiolus. Pengobatan harian pada penyakit ini menggunakan antibiotikmakrolida seperti eritromisin yang dapat meredakan gejala dan meningkatkan waktu kelangsungan hidup. Namun hingga saat ini, panduan pengobatan yang tepat untuk penyakit panbronkiolotis belum diketahui secara pasti. Panbrokiolitis dapat menyebabkan gagal napas dan permasalahan pada jantung.
Klasifikasi
Istilah "bronkiolitis" umumnya mengacu pada peradangan bronkiolus.[1][2] Panbronkiolitis difus diklasifikasikan sebagai bentuk "bronkiolitis primer" dengan arti bahwa penyebab yang mendasari bronkiolitis berasal dari atau terbatas pada bronkiolus.[3][4] Selain panbronkiolitis, bentuk tambahan dari bronkiolitis primer antara lain adalah bronkiolitis obliterans, bronkiolitis folikular, bronkiolitis respiratorik, penyakit saluran napas akibat debu, dan beberapa jenis lainnya.[4] Tidak seperti panbronkiolitis, bronkiolitis yang tidak dianggap sebagai bentuk "primer" akan dikaitkan dengan penyakit saluran pernapasan yang lebih menyeluruh seperti bronkitis kronis.[3][4]
Tanda dan gejala
Gejala panbronkiolitis difus antara lain yaitu sinusitis kronis, mengi, crackles (suara pernapasan yang dibuat karena adanya penghalang yang menghalangi jalan napas seperti dahak dan sekresi di paru-paru), dispnea (sesak napas), dan batuk parah yang menghasilkan sputum dalam jumlah banyak. Individu yang menderita dapat mengalami demam dan kemungkinan pada dahak akan terdapat nanah. Tanda-tanda khas perkembangan panbronkiolitis yaitu terjadinya pelebaran (pembesaran) saluran bronkiolus dan hipoksemia (rendahnya kadar oksigen dalam darah). Jika panbronkiolitis tidak diobati, maka besar kemungkinan akan berakhir pada bronkiektasis. Hal ini ditandai dengan pelebaran dan penebalan dinding bronkiolus, kerusakan akibat inflamasi pada bronkiolus terminal dan pernapasan, dan penumpukan lendir di paru-paru.[5] Panbronkiolitis telah dikaitkan dengan kegagalan pernapasan progresif, hiperkapnia (peningkatan kadar karbon dioksida dalam darah), hipertensi pulmonal (tekanan darah tinggi pada vena dan arteri pulmonalis) dan cor pulmonale (pelebaran ventrikel kanan jantung atau gagal jantung sebelah kanan).[6]
Penyebab
Panbronkiolitis merupakan penyakit idiopatik, yang berarti penyebab fisiologis, pengaruh lingkungan, atau infeksi dari patogen tidak diketahui secara pasti. Namun, beberapa faktor diduga terlibat dengan patogenesisnya (cara kerja penyakit).[5]
Kompleks histokompatibilitas utama atau major histocompatibility complex (MHC) adalah wilayah genom besar yang ditemukan di sebagian besar vertebrata yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh.[7]Gen tersebut terletak pada kromosom 6 pada manusia.[7] Salah satu subset dari MHC pada manusia adalah antigen leukosit manusia atau human leukocyte antigen (HLA) yang mengontrol sistem antigen-presenting sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh adaptif terhadap patogen seperti bakteri dan virus. Ketika sel manusia terinfeksi oleh patogen, beberapa dari HLA dapat menampilkan bagian dari protein patogen pada permukaannya. Hal ini yang disebut dengan "tampilan antigen atau antigen presentation". Sel yang terinfeksi kemudian menjadi target untuk jenis sel T sitotoksik, yang membunuh sel yang terinfeksi sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh.[8]
Predisposisi genetik untuk kerentanan terhadap panbronkiolitis telah dilokalisasi pada ke dua haplotipe HLA (perbedaan urutan nukleotida atau gen antara kromosom berpasangan, yang lebih mungkin terjadi di antara etnis atau sifat umum) yang umum pada orang-orang keturunan Asia Timur. HLA-B54 dikaitkan dengan panbronkiolitis di Jepang sedangkan HLA-A11 dikaitkan dengan panbronkiolitis di Korea.[9] Beberapa gen dalam wilayah tersebut dari kelas I HLA diyakini sebagai penyebab panbronkiolitis karena meningkatkan kerentanan terhadap penyakit tersebut.[6][10] Latar belakang genetik umum dan kesamaan dalam profil HLA individu Jepang dan Korea yang mengidap penyakit ini kemudian dipertimbangkan dalam penelusuran gen yang terkait dengan panbronkiolis difus.[10] Disebutkan bahwa mutasi dari gen yang rentan dicurigai terletak di antara HLA-B[11] dan HLA-A[12] dan telah terjadi pada kromosom nenek moyang yang membawa HLA-B54 dan HLA-A11. Lebih lanjut lagi, terdapat kemungkinan bahwa sejumlah peristiwa rekombinasi genetik di sekitar lokus penyakit (lokasi pada kromosom) dapat terjadi mengakibatkan penyakit yang terkait dengan HLA-B54 di Jepang dan HLA-A11 di Korea. Setelah penelitian lebih lanjut, disimpulkan bahwa gen yang rentan dengan panbrokiolitis ini terletak di dekat lokus HLA-B pada kromosom 6p21.3. Di area ini, pencarian penyebab penyakit genetik terus berlanjut.[9][10]
Karena banyak gen milik HLA tetap tidak teridentifikasi, kloning posisional (metode yang digunakan untuk mengidentifikasi gen tertentu, ketika hanya lokasinya pada kromosom yang diketahui) telah digunakan untuk menetapkan bahwa gen yang mirip musin terkait dengan panbronkiolitis difus. Selain itu, penyakit yang disebabkan oleh gen HLA yang teridentifikasi di wilayah rentan panbronkiolitis telah diselidiki. Salah satunya, bare lymphocyte syndrome I (BLS I), menunjukkan sejumlah kesamaan dengan panbronkiolitis difus pada pasien yang menderita penyakit ini, termasuk sinusitis kronis, peradangan bronkiolus dan nodul, dan adanya H. influenza. Sama seperti panbronkiolitis difus, bare lymphocyte syndrome juga merespon dengan baik terapi eritromisin dengan menunjukkan pengurangan gejala. Kesamaan antara kedua penyakit ini antara lain adalah menunjukkan keberhasilan dengan cara pengobatan yang sama dan fakta bahwa gen yang bertanggung jawab untuk bare lymphocyte syndrome (BLS I) terletak di dalam area penyebab panbronkiolitis dari HLA akan mempersempit pembentukan gen yang bertanggung jawab menyebabkan panbrokiolitis.[9] Faktor lingkungan seperti menghirup asap beracun dan merokok tidak diyakini berperan dalam menyebakan panbronkiolitis. Faktor lingkungan dan nongenetik lainnya seperti bakteri atau virus yang tidak teridentifikasi tidak dikesampingkan.[5][6]
Fibrosis kistik (CF) adalah penyakit paru-paru multi-sistem progresif yang telah dipertimbangkan dalam mencari penyebab genetik panbronkiolitis difus. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan. Fibrosisi kistik dan panbronkiolitis difus terlihat serupa karena pada keduanya akan terjadi radang paru-paru yang parah, produksi lendir yang lebih banyak, dan infeksi. Namun, terdapat perbedaan yaitu panbronkiolitis difus didominasi oleh masyarakat Asia Timur sedangkan fibrosisi kistik didominasi oleh masyarakat Kaukasia atau keturunan Eropa. Mutasi pada gen penyebab fibrosis kistik ini bukan merupakan faktor yang menyebabkan panbronkiolitis tetapi polimorfisme (variasi) unik pada gen ini diketahui terjadi pada banyak orang Asia yang belum tentu dipengaruhi oleh kedua penyakit tersebut. Saat ini, sedang diselidiki apakah gen ini mengalami mutasi yang dapat berkontribusi terhadap penyakit panbronkiolitis.[5][9]
Patofisiologi
Peradangan adalah suatu respons normal dari sistem kekebalan manusia, di mana leukosit (sel darah putih), termasuk neutrofil (sel darah putih yang mengkhususkan diri dalam menyebabkan peradangan), berkumpul, dan kemokin (protein yang dilepaskan dari sel-sel tertentu, yang mengaktifkan atau memperoleh respons dari sel lain) terakumulasi di setiap lokasi dalam tubuh di mana infeksi bakteri atau virus terjadi. Peradangan berfungsi untuk mengganggu aktivitas bakteri dan virus sehingga ke duanya dapat dibersihkan dari dalam tubuh. Dalam panbronkiolitis, bakteri seperti Haemophilus influenzae dan Pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan proliferasi sel inflamasi ke dalam jaringan bronkiolus. Namun, ketika peradangan disebabkan bukan oleh bakteri yang menyebabkan panbronkiolitis, peradangan akan berlanjut karena alasan yang belum diketahui.[5][13][14] Dengan keadaan tersebut, peradangan yang terjadi pada panbronkiolitis bisa sangat parah sehingga nodul yang mengandung sel-sel inflamasi terbentuk di dinding bronkiolus.[5] Adanya peradangan dan infeksi pada saluran pernapasan juga mengakibatkan produksi lendir yang berlebihan, yang akan dikeluarkan sebagai dahak.[5][15] Kombinasi inflamasi, perkembangan nodul, infeksi, lendir, dan batuk menyebabkan terjadinya kesulitan bernapas pada penderita panbronkiolitis.[5]
Fakta bahwa peradangan pada panbronkiolitis berlanjut dengan atau tanpa kehadiran P. aeruginosa dan H. influenza memberikan petunjuk untuk menentukan beberapa mekanisme patogenesis panbronkiolitis sendiri.[13][14]Leukotrien adalah eikosanoid, molekul pemberi sinyal yang terbuat dari asam lemak esensial, yang berhubungan dalam banyak penyakit paru-paru dengan menyebabkan proliferasi sel inflamasi dan produksi lendir berlebih di saluran pernapasan.[16] Pada panbronkiolitis dan penyakit paru-paru lainnya, mediator utama peradangan terkait neutrofil adalah leukotrien B4 yang mengkhususkan diri dalam proliferasi neutrofil melalui kemotaksis (pergerakan beberapa jenis sel menuju atau menjauh dari molekul tertentu).[5][9]
Peradangan pada panbrokiolitis juga disebabkan oleh kemokin MIP-1alpha dan adanya keterlibatan dengan sel T CD8+. Beta defensins, keluarga peptida antimikroba yang ditemukan di saluran pernapasan, bertanggung jawab untuk peradangan lebih lanjut pada panbronkiolitis ketika patogen seperti P. aeruginosa hadir. Jika hadir sebagai panbronkiolitis, virus T-limfotropik tipe I yang merupakan sebuah retrovirus akan memodifikasi patogenesis panbronkiolitis dengan menginfeksi sel T pembantu dan mengubah kemampuannya dalam mengenali keberadaan patogen yang diketahui atau tidak diketahui yang terlibat dengan panbrokiolitis.[5][9]
Diagnosis
Diagnosis panbronkiolitis memerlukan analisis terhadap paru-paru dan jaringan bronkiolus sehingga memerlukan biopsi paru-paru atau lebih disukai bila dilakukan pemindaian paru-paru dengan resolusi tinggi.[6] Kriteria diagnostik meliputi inflamasi berat pada semua lapisan bronkiolus respiratorius dan lesi jaringan paru yang tampak sebagai nodul di dalam bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius di kedua paru.[5] Nodul yang terbentuk pada panbrokiolitis muncul sebagai benjolan buram bila dilihat pada sinar-X paru-paru dan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas yang akan dievaluasi dengan tes fungsi paru atau PFT.[17] Pemeriksaan paru paru menggunakan sinar-X juga dapat menunjukkan adanya pelebaran saluran bronkiolus, yang merupakan tanda lain dari panbronkiolitis. Pemindaian tomografi terkomputasi (CT) resolusi tinggi sering menunjukkan penyumbatan beberapa saluran bronkiolus oleh lendir yang disebut sebagai pola "pohon-dalam-tunas atau tree-in-bud".[6]Hipoksemia, tanda lain dari kesulitan bernapas, diketahui dengan mengukur kadar oksigen dan karbon dioksida dalam darah, menggunakan tes darah yang disebut gas darah arteri. Temuan lain yang diamati pada panbronkiolitis yaitu proliferasilimfosit (sel darah putih yang melawan infeksi), neutrofil, dan "foamy" histiosit (makrofag jaringan) di lapisan paru-paru. Bakteri seperti H. influenza dan P. aeruginosa juga dapat dideteksi, di mana hasil pengamatan terhadap bakteri akan menonjol seiring perkembangan penyakit.[5][13][14]Darah putih, bakteri, dan kandungan seluler lainnya dari darah dapat diukur dengan hitung darah lengkap (CBC).[18] Peningkatan kadar IgG dan IgA (kelas imunoglobulin) dapat dilihat, serta ditemukan adanya faktor rheumatoid (indikator autoimunitas). Hemaglutinasi atau penggumpalan sel darah merah sebagai respons terhadap adanya antibodi dalam darah, juga dapat terjadi. Neutrofil, beta-defensin, leukotrien, dan kemokin juga dapat dideteksi dalam cairan lavage bronkoalveolar yang disuntikkan kemudian dikeluarkan dari saluran bronkiolus individu yang mengidap panbronkiolitis untuk dilakukan evaluasi.[5][9]
Diagnosis banding
Dalam diagnosis banding (menemukan diagnosis yang benar antara penyakit yang memiliki tanda dan gejala serupa) dari beberapa penyakit paru obstruktif, panbronkiolitis sering dipertimbangkan diagnosisnya. Beberapa gejala panbrokiolitis mirip dengan penyakit paru obstruktif lainnya seperti asma, bronkitis kronis, dan emfisema. Mengi, batuk dengan produksi sputum, dan sesak napas adalah gejala umum pada penyakit tersebut dan gangguan fungsi pernapasan obstruktif ditemukan pada tes fungsi paru.[19]Fibrosis kistik serupa dengan panbrokiolitis menyebabkan peradangan paru-paru yang parah, produksi lendir yang berlebihan, dan infeksi. Tetapi, panbrokiolitis tidak menyebabkan gangguan pada pankreas atau elektrolit seperti pada fibrosis kistik sehingga kedua penyakit tersebut berbeda dan mungkin tidak berhubungan.[5][9] Panbronkiolitis dibedakan dengan adanya lesi yang tampak pada foto rontgen berupa nodul pada bronkiolus di kedua paru dan peradangan di semua lapisan jaringan bronkiolus. Prevalensi yang lebih tinggi terjadi di antara individu dengan garis keturunan Asia Timur.[5]
Panbrokiolitis dan bronkiolitis obliterans adalah dua bentuk bronkiolitis primer.[4] Ciri-ciri khusus yang tumpang tindih dari kedua penyakit ini termasuk batuk yang kuat dengan sputum yang sering berisi nanah dalam jumlah besar, nodul terlihat pada rontgen paru-paru di bronkus bawah dan daerah bronkiolus, dan sinusitis kronis. Pada panbrokiolitis, nodul lebih terbatas pada bronkiolus respiratorius, sedangkan pada bronkiolitis obliterans sering ditemukan pada bronkiolus membranosa (bagian awal bronkiolus non-tulang rawan, yang membelah dari bronkus tersier) hingga bronkus sekunder. Bronkiolitis obliterans adalah penyakit bronkiolus dengan prevalensi di seluruh dunia sedangkan panbronkiolitis memiliki prevalensi yang lebih lokal, terutama di Jepang.[4][20] Sebelum pengenalan tanda-tanda klinis panbronkiolitis dalam beberapa tahun terakhir, sering tejadinya kesalahan diagnosis panbronkiolitis sebagai bronkiektasia, PPOK, IPF, phthisis miliaris, sarcoidosis, atau karsinoma sel alveolar.[21]
Pengobatan
Antibiotikmakrolida seperti eritromisin adalah pengobatan yang efektif untuk panbrokiolitis bila diminum secara teratur dalam jangka waktu yang lama.[13][22]Klaritromisin atau roxithromycin juga biasa digunakan.[23][24] Pengobatan menggunakan makrolida yang berhasil pada panbrokiolitis dan penyakit paru-paru serupa berasal dari pengelolaan gejala tertentu melalui imunomodulasi (menyesuaikan respons imun) yang dapat dicapai dengan meminum antibiotik dalam dosis rendah.[25][26] Pengobatan terdiri dari pemberian eritromisin per oral setiap hari[6] selama dua sampai tiga tahun, periode yang diperpanjang telah terbukti meningkatkan efek. Hal ini terlihat ketika seseorang yang menjalani pengobatan untuk panbrokiolitis, di antara sejumlah kriteria remisi terkait penyakit, memiliki jumlah neutrofil normal yang terdeteksi dalam pembacaan cairan BAL dan gas darah (tes darah arteri yang mengukur jumlah oksigen dan karbon dioksida dalam darah) menunjukkan bahwa oksigen bebas dalam darah berada dalam kisaran normal.[13][23] Adanya periode “istirahat” sementara dari terapi dengan eritromisin dalam kasus ini telah disarankan, untuk mengurangi pembentukan resistensi P. aeruginosa dengan makrolida.[13] Namun, gejala panbrokiolitis biasanya dapat kembali dan pengobatan perlu dilanjutkan. Meskipun sangat efektif, eritromisin mungkin tidak terbukti berhasil pada semua individu dengan penyakit ini, terutama jika terjadi resistensi makrolida dengan P. aeruginosa atau panbrokiolitis yang sebelumnya tidak diobati telah berkembang ke titik di mana terjadi kegagalan pernapasan.[23]
Dengan terapi menggunakan eritromisin pada panbrokiolitis, pengurangan besar inflamasi, dan kerusakan bronkiolus dicapai melalui penekanan tidak hanya proliferasi neutrofil, tetapi juga aktivitas limfosit dan obstruktif dari sekret lendir dan air di saluran napas.[13] Efek antibiotikmakrolida tidak terlibat dalam pengurangan peradangan pada panbrokiolitis.[23] Hal ini terbukti karena dosis pengobatan terlalu rendah untuk melawan infeksi dan pada kasus panbrokiolitis dengan terjadinya resistensi makrolida terhadap P. aeruginosa, terapi eritromisin terbukti masih mengurangi peradangan.[13]
Beberapa faktor terlibat dalam penekanan peradangan oleh eritromisin dan makrolida lainnya. Antibiotik tersebut sangat efektif dalam menghambat proliferasineutrofil dengan mengurangi kemampuan agen inflamasi yaitu interleukin 8 dan leukotrien B4.[27] Makrolida juga mengurangi efisiensi adhesi molekul yang memungkinkan neutrofil menempel pada lapisan jaringan bronkiolus. Produksi mukus di saluran napas merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada panbrokiolitis dan penyakit pernapasan lainnya.[14][28] Pengurangan signifikan peradangan pada panbrokiolitis yang dikaitkan dengan terapi eritromisin juga membantu menghambat produksi lendir berlebih.[29][30]
Prognosis
Panbronkiolitis yang tidak diobati menyebabkan bronkiektasis, gagal napas, dan kematian. Sebuah laporan jurnal dari tahun 1998 menunjukkan bahwa penderita panbronkiolitis difus yang diobati dengan panduan pengobatan yang tepat menggunakan eritromisin akan memiliki tingkat harapan hidup yang lebih tinggi.[31] Dengan pengobatan menggunakan eritromisin, individu yang mengidap panbronkiolitis, sekarang memiliki harapan hidup yang lebih lama karena manajemen gejala yang lebih baik, penghambatan perkembangan, dan pencegahan infeksi dari patogen terkait seperti P. aeruginosa.[23] Tingkat kelangsungan hidup 10 tahun untuk panbronkiolitis difus yang diobati adalah sekitar 90%.[5] Dalam kasus panbronkiolitis di mana pengobatan yang dilakukan sekitar dua tahun telah menghasilkan peningkatan yang signifikan, pengobatan tetap akan dilanjutkan untuk sementara waktu. Namun, penderita yang diizinkan untuk menghentikan pengobatan akan dipantau secara ketat. Karena panbrokiolitis telah terbukti dapat kambuh, terapi eritromisin harus segera dilanjutkan setelah gejala penyakit mulai muncul kembali. Terlepas dari peningkatan prognosis ketika masa perawatan, diketahui hingga saat ini panbronkiolitis belum memiliki obat.[5][9]
Epidemiologi
Panbrokiolitis memiliki prevalensi tertinggi di antara orang Jepang, yaitu 11 per 100.000 penduduk.[5] Individu dari Korea,[32] Cina,[33] dan Thailand[34] yang menderita penyakit ini juga telah dilaporkan. Predisposisi genetik di antara orang Asia Timur telah diusulkan.[9] Penyakit ini lebih sering terjadi pada laki-laki,[35] dengan rasio perbandingan antara pria dan wanita sekitar 1,4-2:1 (atau sekitar 5 pria berbanding 3 wanita).[5] Penyakit timbul pada individu dengan usia rata-rata sekitar 40 tahun dan dua pertiga dari penderita bukan merupakan perokok, meskipun merokok tidak diyakini sebagai penyebabnya.[6] Adanya HLA-Bw54 meningkatkan risiko panbronkiolitis difus sebesar 13,3 kali lipat.[36][37]
Di Eropa dan Amerika, sejumlah kecil kasus panbronkiolitis telah dilaporkan pada imigran dan penduduk Asia, serta pada individu keturunan non-Asia.[38][39][40] Misdiagnosis telah terjadi di negara Barat karena pengenalan penyakit yang kurang baik dibandingkan di negara-negara Asia. Dibandingkan dengan sejumlah besar orang Asia yang tinggal di negara Barat, sejumlah kecil dari mereka yang diperkirakan terpengaruh oleh panbronkiolitis menunjukkan faktor nongenetik yang mungkin berperan dalam penyebabnya. Kelangkaan terhadap penyakit ini terlihat di Asia Barat mungkin disebabkan oleh kesalahan diagnosis.[6][39]
Sejarah
Pada awal 1960-an, penyakit paru-paru kronis yang relatif baru diamati dan dideskripsikan oleh dokter di Jepang. Pada tahun 1969, istilah "diffuse panbronchiolitis atau panbronkiolitis difus” diperkenalkan untuk membedakannya dari bronkitis kronis, emfisema, alveolitis, dan penyakit paru obstruktif lainnya dengan peradangan.[5] Antara 1978 dan 1980, hasil survei nasional yang diprakarsai oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang mengungkapkan lebih dari 1.000 kemungkinan terjadinya kasus panbronkiolitis, dengan 82 individu telah dikonfirmasi secara histologis. Pada 1980-an, panbronkiolitis diakui secara internasional sebagai penyakit paru-paru yang berbeda.[5][14]
Sebelum tahun 1980-an, prognosis dari panbronkiolitis hasilnya buruk, terutama pada kasus dengan superinfeksi (munculnya infeksivirus atau bakteri baru, selain yang sedang terjadi) oleh P. aeruginosa.[9][41] Angka kematian yang disebabkan oleh panbronkiolotis semakin tinggi sebelum adanya generalisasi pengobatan menggunakan antibiotik dan terapi oksigen secara rutin sebagai upaya dalam mengelola gejala yang ditimbulkan. Sekitar tahun 1985, ketika pengobatan jangka panjang dengan antibiotik eritromisin menjadi standar untuk mengelola panbronkiolitis, prognosisnya meningkat secara signifikan.[23] Pada tahun 1990, dilaporkan adanya hubungan antara panbronkiolitis difus dengan antigen leukosit manusia atau human leukocyte antigen (HLA).[9]