Pamenang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Merangin, Jambi, Indonesia.
Sejarah pamenang
Diperkirakan abad ke 16 sudah ada perkampungan kecil didekat muara sungai lintang bernama "SUGINDE". pada masa itu pola kehidupan masih nomaden (berpindah pindah). menurut sejarah jumlah rumah lebih kurang 20-30 buah rumah saja. pakaian penutup aurat masih terbuat dari kulit kayu terap. rumah terbuat dari kulit kayu antoi dan atapnya terbuat dari daun serdang kadang juga dari daun lontar. untuk perkakas masak dan sebagainya masih terbuat dari tanah liat.
awal abad ke 17 kampung Suginde pindah muara sungai sentuo tepatnya di areal pemakaman hilir dusun tuo pamenang sebrang. tidak terlalu lama disitu perkampungan pindah lagi ke Lubuk mampun. oleh karena di lokasi itu adalah perlintasan harimau perkampungan suginde pindah lagi dekat sebatang pohon pauh yang sangat besar. disini nama suginde berubah menjadi kampung PAUH MENANG. disebut pauh menang dahulu sebelum jadi perkampungan dibawah pohon itu adalah arena sabung ayam. nah karena setiap ada warga kampung lain datang bertanding dengan ayam milik orang suginde selalu menang. tidak ada ayam lawan yang bisa menang bila bertarung dibawah pohon tersebut. sejak itulah desa mereka dinamakan desa PAUH MENANG.
Pertengahan abad ke 17, warga desa pauh menang kembali pindah. kali ini lokasinya tepat dimuara sungai kecil. dahulu sungai itu tidak ada. namun setelah kejadian luar biasa maka timbulah sebuah sungai. kejadiannya menurut sejarah begini: masa itu belasan pemuda, pemudi tuo bujang dan tuo gadih masuk hutan. mencari damar, kulit kayu dan hasil hutan lainya untuk keperluan sehari hari. damar untuk lampu, kulit kayu untuk pakaian dan umbut bayeh dan lain lain sebagai kebutuhan sandang pangan. sebanyak 24 orang bujang gadih tuo bujang serta tua gadih hari itu berangkat bersama sama penuh riang gembira.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh mulailah mencari apa yang mereka butuhkan. sambil bekerja sambil bersenda gurau. kadang disana juga mereka bertemu jodoh. mengingat hari sudah mulai sore mereka memutuskan untuk pulang ke kampung. hari semakin sore langkah mereka semakin cepat. namun langit sudah menghitam bertanda hujan petir akan segera turun. perjalanan ke kampung diperkirakan lebih kurang 1 km lagi. hujan mulai turun mereka mulai berlari lari kecil. hujan semakin deras mau tidak mau mereka mencari tempat berlindung. dalam keadaan yang cukup gelap tiba tiba mereka menemukan seperti sebatan kayu besar yang sudah tumbang dan sudah lapuk. di hujung kayu itu ada ronga besar. maka diputuskanlah mereka berteduh dahulu didalam rongga kayu tersebut.
Diperkirakan rongga kayu tersebut tinginya lebih dari 2 meter sedangkan lebarnya lebih dari 3 meter. mereka semua masuk kedalamnya. saking luasnya 24 orang bisa masuk semua. yang gadis masuk duluan dan berikutnya tuo gadis dan tuo bujang. berikutnya barulah rombongan pemuda. orang zaman dahulu jika masuk hutan selain membawa parang juga membawa tombak sebagai senjata. tombak orang dahulu lebih banyak berbentuk trisula karena pengaruh budaya hindu. hujan terus turun dengan derasnya. guruh dan petir sahut menyahut seakan tiada henti. sambil berdoa kepada sang pencipta mereka terus menunggu dan berharap hujan ribut segera reda. namun sudah lebih dari setengah jam tidak ada tanda tanda hujan petir akan berhenti.
Beberapa pemuda yang membawa tombak memegang tombak. ada yang duduk ada juga yang berdiri. posisi tombak matanya menghadap keatas dan tangkainya dibawah. sambil menunggu hujan reda salah satu pemuda sebut saja namanya "Katip". dia menepuk nyamuk di lengannya. secara tidak sengaja dia melihat ke telapak tangan yang menggengam tangkai tombak. serentak dengan itu beberapa temanya berkata. " tip kawan tebaun dak, hanyir nian dalam lubang kayu ni". yoo nian hanyir nian kata yang lainya. bertepatan dengan itu katip melihat dihulu tombaknya darah mengalir dari atas kebawah dan menumpuk digengamanya. "woi ado darah, ini darah siapo" tanya katip penasaran. lantas mereka yang memegang tombak melihat ke tangan katip kemudian melihat tangan masing masing. ternyata sama semua tangan yang megang hulu tombak dipenuhi darah. melihat gelagat yang tidak baik segera mereka berteriak "keluar galo keluar, yang kito masuki ini bukan rongga kayu biaso, entah apo bendanya ini ayo kito keluar semua!!" seru mereka bersahutan. maka bergegaslah semuanya keluar. yang perempuan keluar lebih dahulu. semua pemuda yang megang tombak memegang lebih kencang tombak masing masing.
Setelah semuanya dipastikan keluar bebrapa pemuda yang megang tombak perlahan mulai mundur. ketika dirasa sudah sangat dekat dengan mulut rongga mereka serentak menarik tombak dan berlari sekuat tenaga. dari jarak lebih kurang 20 meter mereka mendengar bunyi dentuman menggema. begitu dilihat rongga kayu yang mereka masuki tadi sudah menutup. "lari semuanya larih cepat arah ke dusun. ternyato yang kito masuki tadi bukan lubang kayu tetapi mulut hewan raksasa. payo kito lari". maka berlarian lah mereka meyelamatkan diri masing masing. dalam hujan petir akhirnya mereka sampai ke kampung. dan kejadian itu membuat heboh seantero kampung.
Besoknya sekira jam 10 pagi warga kampung yang laki laki semua berondong bondong menuju lokasi kayu besar tersebut. mereka ingin melihat hewan apa yang ada disana. namun begitu sampai alangkah kagetnya mereka ternyata kayu besar tersebut sudah menghilang. tepat dilokasi itu tiba tiba mucul sebuah sungai kecil selebar 5 meter yang mengalir dan bermuara ke sungai merangin. sungai itu mengalirkan air dari rawa dan danau dangkal yang tidak berapa jauh dari lokasi itu. semua jadi terang benderang, kayu pada roboh. lokasi yang awalnya masih hutan belantara kini terang sekali. kayu kayu sebesar paha orang dewasa bertumbangan. bentuknya berkelok kelok. setelah diteliti dengan baik orang kampung memutuskan bahwa rongga kayu besar kemaren adalah mulut ular raksasa. dipercaya ular itu sudah puluhan tahun diam disana. saking besarnya bekas ular tersebut menebat menjadi sebuah sungai. menebat artinya bersemayam karena sudah terlalu tua dan malas bergerak.
Memang ular raksasa kalau sudah terlalu besar dia akan menebat. istilah menebat adalah berdiam diri disatu tempat dalam waktu yang lama. tidak lagi memakan mangsa dengan cara melilit. dia hanya menghisap mangsanya dan akan menutup mulutnya jika ada makanan yang masuk. sejak tu sungai baru tersebut dinamakan sungai tebat. karena dahulunya sungai itu ada karena ular besar yang menebat disana pergi karena kesakitan mulutnya luka oleh mata tombak pemuda. dipercaya mulutnya luka karena berusaha menutup mulut karena merasa ada makanan yang masuk. kemana ular itu pergi tidak diketahui. salah satu tetua kampung berkata. "inilah mahluknya yang sudah banyak memakan warga kita. hewan ternak kita bahkan buaya besar penunggu lubuk teluk gelanggang juga tidak terlihat lagi. jangan jangan sudah dimangsa ular tesebut." katanya ditengah kerumunan warga.
Memang selama ini banyak warga yang kehilangan anggota keluarga, katanya pergi mencari damar tapi tidak pernah kembali. jumlah orang hilang cukup banyak. namun mereka menduga tersesat atau dimakan harimau. begitu juga hewan ternak seperti kerbau, sapi dan kambing juga sering hilang tidak dapat dicari lagi. sejak kejadian itu ketua kampung memutusan desa pauh menang pindah lagi. kali ini lokasinya kembali ke muara sungai sentuo. disini cukup lama mungkin sudah memasuki abad ke 18. tidak lama kemudian perkampungan pindah lagi ke lokasi ular besar tersebut. tepat diatas lubuk teluk gelanggang. disebut teluk gelanggag dahulu sering terlihat buaya besar bertarung ditengah lubuk. namun buaya buaya itu sudah lama tidak terlihat. mereka memutuskan kembali merambah hutan dan membuat perkampungan. nama kampung sudah berubah bukan lagi pauh menang tetapi sudah menjadi PAMENANG.
Disaat gotong royong menerbas hutan untuk lokasi perkampungan, salah satu warga parangnya berdenting mengenai benda keras. mereka kaget karena dizaman itu besi adalah barang langka dan mahal. mustahil ada besi di tengah hutan tersebut. begitu diperiksa ternyata ditemukan sebuah Gong yang dipercaya milik kerajaan. ditemukan juga seragam putra/i mahkota, selendang dan juga sepasang pedang jika dilihat dari bentuk hulunya pedang itu buatan timur tengah dipercaya dari turki. semua benda yang ditemukan disimpan dan dirawat dengan baik. sejak itulah benda benda tersebut menjadi pusaka milik warga pamenang. benda benda pusaka tersebut dirawat dengan baik dan diturunkan kepada anak perempuan. terhitung sejak ditemukan sampai sekarang benda pusaka itu dipegang oleh garis keturunan ke 5 dari ditemukan.
Benda pusaka berupa pedang sering dipake diacara pernikahan dipakai oleh para pesilat menyambut dan menghantar penganten pria didepan rumah penganten wanita. sedangkan gong, selendang dan seragam pangeran tidak pernah dikeluarkan. zaman dahulu sampai air era 1980an gong pusaka sering berbunyi sendiri. tapi anehnya pemilik rumah dimana gong itu disimpan tidak bisa mendengar bunyinya. tetapi warga yang radius 1 sampai 5 km bisa mendenganya dengan jelas. suaranya sangat nyaring dan melengking. dahulu bila gong pusaka berbunyi petanda akan ada musibah atau kejadian luar biasa di pamenang. seperti masuknya belanda gong brbunyi, masuknya jepang gong berbunyi. mau ada banjir besar dan kejadian luar biasa lainya pasti ditandai lebih dahulu dengan suara gong pusaka tersebut.
Pertegahan abad ke18 perkampungan pamenang pindah lagi. setelah rapat diputuskan pindah ke hilir sedikit sekitar 1 km meter dari posisi tersebut. namun beberapa warga menolak mereka mengajak pindah lebih kehulu. maka pecahlah, sebagian kecil pindah ke hulu kemudian diseberang muara sungai belengo. maka mereka membuat desa sendiri namanya desa muaro belengo. sebagian besar tetap pindah kehilir dengan nama desa tetap pamenang. sejak itu tidak ada lagi pindah pindah, anak keturunan pamenang membuat rumah semakin lama semakin kehilir hingga sampai ke muara sungai sentuo.
awal abad ke 19 pamenang menjadi pelabuhan utama kapal batang dari batanghari untuk wilayah merangin. awalnya hanya kapal kapal kecil namun lambat laun kapal dan tongkang besar juga berlabuh. zaman terus berkembang tahun 1930an belanda mulai masuk ke pamenang melalui jalan darat. mereka datang dari arah mentawak. warga juga mulai pindah ke seberang karena kampung yang mulai sempit dan rumah sudah 3 lapis. ahirnya sebagian pindah ke seberang. awal mula pindah yang tepat diseberang muara sungai sentuo. kemudian diikuti wilayah kampung keramat dan seterusnya. pasar tengah dan tanah timbun. sedangkan pusat pelabuhan ada ditanah timbun. pusat pasar ada di dusun pasar tengah. pusat pemerintahan ada di dusun keramat.
Sejak itu pamenang sudah berubah menjadi desa yang cukup besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak. pamenang menjadi pusat perdagangan karena memilik pelabuhan. kehidupan rakyat yang dahulunya hanya bergantung dengan hasil hutan dan ladang kini mulai berdagang dan juga menjadi jasa kuli panggul yang disebut sebagai buruh. awal tahun 1980 pamenang kembali mendapat kemajuan. belasan unit trasimigrasi era suharto masuk ke pamenang. warga trans yang dari jawa naik kapal laut sampai ke tungkal. di kuala tungkal mereka naik kapal kecil ke sungai sungai kecil. untuk wilayah pamenang diangkut oleh kapak "Yang hoi" berlabuh di sekitar limbur kemudian berangkat ke unit unit trans yang kini disebut kecamatan renah pamenang, pamenang selatan dan pamenang barat.
Semua desa trans yang masuk wilayah pamenang semua nama nama desanya dibuat oleh tokoh tokoh pamenang. salah satunya alm pasirah ismail. mereka merumuskan nama nama desa tersebut. lihatlah nama nama desa mereka beberapa ada dalam kisah kisah yang pernah saya tulis. seperti lantak seribu, sialang, pauh menang, pematang kancil dan lain lain. kini hari ini pamenang sudah berubah jadi kota. perkembangan paling pesat sejak masuknya transimigrasi. dimana zaman dahulu sebelum mereka punya pasar masing masing pasar pusatnya adalaah pasar pamenang.
Itulah sejarah singkat asal usul pamenang dan kejadian kejadian yang pernah terjadi sesuai apa yang sudah diceritakan oleh pendahulu kita nenek moyang kita. semoga semua generasi pamenang tidak mudah melupakan sejarah. (*) by rahman pamenang
pranala luar