Suku Quechua atau Quecha adalah suku asli Amerika Selatan yang menuturkan bahasa Quechua. Kebanyakan orang Quechua tinggal di Peru, meski populasi yang signifikan juga tersebar di Ekuador, Bolivia, Chili, Kolombia, dan Argentina.
Dialek Quechua yang paling umum adalah Quechua Selatan. Suku Kichwa di Ekuador menggunakan dialek Kichwa; sementara di Kolombia, suku Inga berbicara dialek Inga.
Dalam bahasa Quechua, penutur bahasa Quechua disebut runa atau nuna (secara harfiah berarti "manusia"); bentuk jamaknya adalah runakuna atau nunakuna.[7]
Beberapa subsuku Quechua yang masih dan pernah ada ialah:
Cañari dari Ekuador, yang mengadopsi bahasa Quechua setelah dikuasai suku Inka.
Latar belakang
Penutur bahasa Quechua, yang berjumlah sekitar 5,1 juta orang di Peru, 1,8 juta di Bolivia, 2,5 juta di Ekuador (Hornberger dan King, 2001), 33.800 di Chili, 55.500 di Argentina, dan beberapa ratus di Brasil, hanya memiliki sedikit kesamaan identitas. Berbagai dialek Quechua dalam beberapa kasus sangat berbeda sehingga tidak mungkin dimengerti oleh penutur dialek lain. Bahasa Quechua tidak hanya dituturkan oleh suku Inka, tetapi juga oleh musuh mereka, seperti Huanka (Wanka adalah dialek Quechua yang digunakan saat ini di provinsi Huancayo, Peru), Chanka (dialek Chanca dari Ayacucho) di Peru, dan Kañari (Cañari) di Ekuador. Bahasa Quechua telah digunakan oleh sejumlah suku (misalnya Wanka), jauh sebelum suku Inka di Cusco menguasai mereka, sementara suku lain, terutama suku-suku di Bolivia dan Ekuador, baru mengadopsi bahasa Quechua di era Inka atau sesudahnya.
Bahasa Quechua menjadi bahasa resmi kedua Peru sejak 1969 pada masa kediktatoran Juan Velasco Alvarado.
Kebudayaan
Terlepas dari keragaman etnis dan perbedaan bahasa, berbagai kelompok etnis Quechua tetap memiliki banyak kesamaan dalam karakteristik budaya. Mereka juga berbagi banyak persamaan dengan suku Aymara dan masyarakat adat lainnya di kawasan Andes tengah.
Masyarakat Quechua tradisional menggantungkan hidup dari hasil pertanian dan penggembalaan. Komunitas mereka merambah ke daerah lain dengan ketinggian yang berbeda dan memulai budidaya berbagai macam tanaman dan/atau hewan ternak. Tanah biasanya dimiliki secara kolektif oleh sebuah ayllu (klan), dikelola bersama dan hasilnya dibagi-bagi setiap tahun.
Pada masa kolonial dan setelah kemerdekaan, tuan tanah mulai merebut seluruh atau sebagian besar tanah dan memaksa penduduk asli menggarapnya dengan sistem perbudakan (dikenal di Ekuador sebagai Huasipungo). Kondisi eksploitasi berulang kali menyulut pemberontakan oleh para petani pribumi yang ditindas. Pemberontakan terbesar terjadi pada 1780–1781 di bawah pimpinan José Gabriel Kunturkanki.
Beberapa petani pribumi berhasil menduduki kembali tanah leluhur mereka dan mengusir para tuan tanah di masa pemerintahan para diktator pada pertengahan abad ke-20, seperti pada tahun 1952 di Bolivia (Víctor Paz Estenssoro) dan 1968 di Peru (Juan Velasco Alvarado). Reformasi agraria mengambil alih tanah dari para tuan tanah kaya. Di Bolivia, kebijakan redistribusi tanah kepada penduduk pribumi sebagai milik pribadi diterapkan. Hal ini bertentangan dengan budaya tradisional Quechua dan Aymara yang menitikberatkan pada kepemilikan komunal, meski beberapa ayllu masih mempertahankan kepemilikan kolektif hingga saat ini di daerah-daerah terpencil, seperti komunitas Quechua di Q'ero, Peru
Perjuangan hak atas tanah terus berlanjut hingga saat ini dan menjadi agenda politik utama masyarakat Quechua. Kelompok etnis Kichwa di Ekuador yang merupakan bagian dari asosiasi ECUARUNARI berhasil memperoleh sertifikat atas tanah komunal dan mendapat pengembalian tanah perkebunan—dalam beberapa kasus melalui aktivitas militan. Khususnya masyarakat Sarayaku yang setelah bertahun-tahun berjuang berhasil melawan alih fungsi dan eksploitasi hutan hujan untuk pertambangan minyak bumi.
Di hampir semua kelompok etnis Quechua, kerajinan tradisional merupakan aspek penting dari budaya mereka. Ini termasuk tradisi menenun yang diturunkan dari zaman Inka, yang menggunakan kapas, wol (dari llama, alpaka, guanako, dan vikuna) dan beragam pewarna alami, serta menggabungkan banyak pola tenunan (pallay). Rumah biasanya dibangun dengan menggunakan batu bata (tika, atau dalam bahasa Spanyol disebut adobe), perekat tanah liat, dan atap dari jerami, alang-alang, atau rumput puna (ichu).
Disintegrasi ekonomi tradisional, sebagai dampak kegiatan pertambangan menyebabkan lunturnya identitas etnis dan bahasa Quechua. Hal ini juga merupakan akibat dari migrasi ke kota-kota besar (terutama ke Lima), yang berujung pada akulturasi dengan masyarakat Hispanik di sana.
Pakaian adat
Kebanyakan wanita pribumi Quechua mengenakan pakaian tradisional berwarna-warni, lengkap dengan topi bowler. Topi itu telah dikenakan oleh wanita Quechua dan Aymara sejak tahun 1920-an, ketika dibawa ke negara itu oleh pekerja proyek kereta api dari Inggris. Pakaian itu masih umum dipakai hingga kini.[8]
Pakaian tradisional yang dikenakan oleh wanita Quechua modern merupakan hasil pencampuran busana asli Pra-Spanyol dengan busana petani Spanyol. Saat menginjak usia pubertas, gadis-gadis Quechua mulai mengenakan rok berlapis-lapis; semakin banyak rok yang dipakai, semakin ia diminati oleh pria, karena kekayaan keluarga ditunjukkan oleh jumlah rok yang dikenakan. Wanita yang sudah menikah juga memakai beberapa lapis rok. Pria Quechua yang lebih muda umumnya mengenakan pakaian bergaya Barat, yang paling populer adalah kemeja sepak bola dan celana olahraga. Di daerah tertentu, wanita juga umumnya memakai pakaian ala Barat. Pria yang lebih tua masih mengenakan celana panjang tradisional yang disebut bayeta. Sabuk anyaman yang disebut chumpi juga dikenakan terutama saat bekerja di ladang. Pakaian pria lainnya ialah rompi wol yang disebut chaleco, yang bentuknya mirip dengan rompi juyuna yang dikenakan oleh wanita. Chaleco dibuat dengan penuh hiasan.
Bagian paling khas dari pakaian pria adalah poncho tenun. Hampir setiap pria dan anak laki-laki Quechua memiliki ponco, umumnya berwarna merah dengan desain yang rumit. Setiap daerah memiliki pola yang khas. Di beberapa komunitas seperti Huilloc, Patacancha, dan banyak desa di Lembah Lares, ponco digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Namun, kebanyakan pria Quechua memakai ponco hanya pada acara-acara khusus seperti festival, pertemuan desa, pernikahan, dan lain-lain
Orang Quechua mengenakan ajotas, sandal yang terbuat dari ban daur ulang sebagai alas kaki. Ajotas dikenal murah dan tahan lama.
Mereka juga sering mengenakan ch'ullu, topi rajutan dengan penutup telinga. Ch'ullu pertama yang diterima seorang anak secara tradisional dirajut oleh ayahnya. Di wilayah Ausangate, chullo sering dihias dengan manik-manik putih dan jumbai besar yang disebut t'ikas Pria kadang-kadang memakai topi sombrero di atas ch'ullu yang dihiasi pita centillo. Sejak zaman kuno, para pria mengenakan kantong anyaman kecil yang disebut ch'uspa untuk menyimpan daun koka.[9]
Makanan dan tanaman
Orang Quechua membudidayakan dan memakan berbagai macam makanan. Mereka memelihara kentang dan membudidayakan ribuan varietas kentang, yang dikonsumsi sebagai makanan dan obat-obatan. Perubahan iklim mengancam pertanian kentang dan tanaman tradisional lainnya tetapi mereka telah melakukan upaya konservasi dan adaptasi.[10][11]Kinoa adalah tanaman pokok lain yang ditanam oleh masyarakat Quechua.[12]
Ch'arki adalah dendeng khas Quechua. Makanan ini secara tradisional dibuat dari daging llama yang dijemur di bawah sinar matahari lalu dibekukan di malam hari yang dingin, tetapi sekarang ch'arki juga dibuat dari daging kuda dan sapi, dengan berbagai variasi menurut negara.[13][14]
Pachamanca merupakan teknik memasak makanan dengan batu panas dan oven tanah yang lazim di pedesaan Peru. Bahan makanan terdiri dari berbagai jenis daging seperti ayam, sapi, babi, domba, kambing; umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, yucca, uqa/ok’a (oca dalam bahasa Spanyol), dan mashwa; sayuran lain seperti jagung dan kacang-kacangan; bumbu; dan keju.[15][16]
Orang Quechua juga memelihara tikus belanda untuk diambil dagingnya.[12] Makanan dan tanaman lainnya termasuk daging llama dan alpaka serta kacang-kacangan, jelai, cabai, dan ketumbar.[10][12]
Persekusi
Orang Quechua kerap menjadi korban dalam konflik politik dan penganiayaan etnis. Dalam konflik internal di Peru pada tahun 1980-an antara pemerintah dan Sendero Luminoso, sekitar tiga perempat dari perkiraan 70.000 korban tewas adalah pribumi Quechua.[17]
Kebijakan sterilisasi paksa sebagai bagian keluarga berencana di masa Alberto Fujimori berdampak pada 200.000 wanita Quechua dan Aymara.[18] Kebijakan itu berlangsung selama lebih dari 5 tahun antara tahun 1996 dan 2001. Selama periode ini, perempuan pribumi dipaksa melakukan sterilisasi.[19] Upaya sterilisasi sering dilakukan dalam kondisi yang berbahaya, terburu-buru, dan tidak higienis, karena para dokter dituntut untuk memenuhi target yang tidak masuk akal dari pemerintah.[20]
Orang-orang Quechua tidak merasakan dampak pertumbuhan ekonomi regional negara mereka dalam beberapa tahun terakhir. Bank Dunia menggolongkan delapan negara di benua itu memiliki tingkat kensejangan yang tinggi. Suku Quechua merasakan hal ini, karena banyak dari mereka memiliki harapan hidup yang jauh lebih rendah daripada rata-rata daerah, dan banyak komunitas lokal tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dasar.[21]
Diskriminasi etnis terus terjadi bahkan di tingkat parlemen. Ketika anggota parlemen Peru Hilaria Supa Huamán dan María Sumire mengucapkan sumpah jabatan mereka dalam bahasa Quechua—pertama kalinya dalam sejarah Peru—ketua parlemen Martha Hildebrandt dan pejabat parlemen Carlos Torres Caro menolak untuk menerima mereka.[22]
Mitologi
Hampir semua warga Quechua di Andes telah memeluk Katolik Roma sejak zaman kolonial. Namun, bentuk-bentuk kepercayaan tradisional masih bertahan di beberapa daerah, membaur dengan unsur-unsur Kekristenan. Kelompok etnis Quechua juga berbagi agama tradisional dengan masyarakat Andes lainnya, khususnya kepercayaan pada Ibu Pertiwi (Pachamama), yang secara rutin diberikan sesaji karena dipercaya telah memberikan kesuburan. Entitas penting lainnya ialah roh gunung (apu) serta dewa lokal yang lebih rendah (wak'a), yang dipuja di Peru selatan.
Suku Quechua mengabadikan peristiwa-peristiwa kelam yang mereka alami dalam berbagai mitos. Termasuk di antaranya adalah sosok Nak'aq atau Pishtaco ("tukang jagal"), sejenis vampir kulit putih yang mengisap lemak dari tubuh orang pribumi yang ia bunuh,[23] serta lagu tentang sungai berdarah.[24] Dalam mitos tentang Wiraquchapampa,[25] orang Q'ero menggambarkan kemenangan Apus atas penjajah Spanyol. Dari mitos-mitos yang masih hidup sampai sekarang, mitos Inkarrí yang umum di Peru selatan sangat terkenal; membentuk elemen budaya yang menyatukan beragam kelompok Quechua di seluruh wilayah dari Ayacucho hingga ke Cusco.[25][26][27] Beberapa orang Quechua menganggap produk daerah tersebut - seperti bir jagungchicha, koka, dan kentang memiliki makna religius, tetapi kepercayaan ini tidaklah seragam di seluruh komunitas.
Quechua dan pengobatan modern
Kuinina, yang secara alami terdapat di kulit pohon Cinchona, digunakan oleh orang-orang Quechua untuk meredakan gejala mirip malaria.
Saat dikunyah, koka bertindak sebagai stimulan ringan untuk menahan rasa lapar, haus, nyeri, dan kelelahan; tanaman itu juga digunakan untuk meringankan penyakit ketinggian. Daun koka dikunyah selama bekerja di ladang serta saat istirahat di sela-sela pekerjaan. Kokain, salah satu komoditas ekspor terpenting negara Peru diekstraksi secara kimiawi dari daun koka.
Kelompok etnis berbahasa Quechua
Beberapa kelompok yang termasuk dalam daftar berikut merupakan komunitas kecil yang hanya terdiri dari beberapa ratus orang, sementara komunitas lainnya bisa berjumlah lebih dari satu juta.
^"Oca". Food and Agriculture Organization of the United Nations.
^Orin Starn: Villagers at Arms: War and Counterrevolution in the Central-South Andes. In Steve Stern (ed.): Shining and Other Paths: War and Society in Peru, 1980–1995. Duke University Press, Durham und London, 1998, ISBN0-8223-2217-X
^Karneval von Tambobamba. In: José María Arguedas: El sueño del pongo, cuento quechua y Canciones quechuas tradicionales. Editorial Universitaria, Santiago de Chile 1969. Online: "Runasimipi Takikuna". Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 June 2009. Diakses tanggal 12 May 2009.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) (auf Chanka-Quechua). German translation in: Juliane Bambula Diaz and Mario Razzeto: Ketschua-Lyrik. Reclam, Leipzig 1976, p. 172
^ abThomas Müller and Helga Müller-Herbon: Die Kinder der Mitte. Die Q'ero-Indianer. Lamuv Verlag, Göttingen 1993, ISBN3-88977-049-5