Oey Kim Tiang
Oey Kim Tiang (9 Februari 1903 – 8 Maret 1995) dulu adalah seorang penerjemah novel Tiongkok asal Indonesia. Lahir sebagai putra dari seorang pengawas kebun kelapa, Oey kemudian belajar di sekolah yang dijalankan oleh Tiong Hoa Hwe Koan di Tangerang. Setelah lulus pada usia 20 tahun, ia lalu bekerja di koran Keng Po sebagai penerjemah. Terjemahan pertamanya, Tong Tjioe Liat Kok, menceritakan kembali Chronicles of the Eastern Zhou Kingdoms dalam bahasa Melayu pasar. Selama 60 tahun selanjutnya, Oey pun menerjemahkan lusinan karya, mulai dari sastra Tiongkok klasik seperti Journey to the West hingga novel wuxia karya Jin Yong dan Liang Yusheng. Kehidupan awalOey lahir di Bekasi, Hindia Belanda, pada tanggal 9 Februari 1903. Ayahnya, Oey Kee Hok, bekerja sebagai pengawas di sebuah kebun kelapa. Oey Kee Hok adalah generasi kelima dari sebuah keluarga Tionghoa yang bermigrasi ke Hindia Belanda. Ibunya meninggal saat Oey masih kecil, kemungkinan saat ia masih berusia tiga tahun, saat saudara kembarnya, Oey Kim Siang, meninggal. Oleh karena itu, Oey pun kerap dititipkan di tetangganya saat ayahnya bekerja.[1] Keluarga Oey tinggal di Tangerang, dan Oey didaftarkan di sebuah sekolah yang dijalankan oleh Tiong Hoa Hwe Koan. Kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut dilakukan dalam bahasa Hokkien dialek Zhangzhou, karena sebagian besar komunitas Tionghoa di sana berasal dari wilayah Fujian di Tiongkok bagian selatan.[2] Salah satu hal yang ia pelajari di sekolah tersebut adalah sejarah Tiongkok.[3] Oey relatif terlambat dalam bersekolah, sehingga baru lulus dari sekolah menengah pertama pada usia 20 tahun.[1] Atas dorongan dari teman kelasnya, Ong Kim Tiat, Oey lalu memilih untuk bekerja dan tidak melanjutkan sekolahnya.[2] Perkenalan dengan penerjemahanAtas bantuan dari pamannya, Oey kemudian bekerja di koran Keng Po. Ia pun ditugaskan untuk menerjemahkan karya orang lain ke bahasa Melayu, dan menyelesaikan terjemahan pertamanya, Tong Tjioe Liat Kok (dari bahasa Hokkien Pe̍h-ōe-jī: Tong-chiu Lia̍t-kok, Chronicles of the Eastern Zhou Kingdoms), dengan pseudonim K.T. Jr.[a][2] Dalam menerjemahkan karya tersebut, ia kerap berkonsultasi dengan Ong,[4] yang juga merupakan penerjemah dari novel seni bela diri.[5] Selama akhir dekade 1920-an, Oey pun menyelesaikan serangkaian terjemahan lain, termasuk sejumlah cerita wuxia (seni bela diri). Menurut Sutrisno Murtiyoso, terjemahan Oey yang paling disukai adalah terjemahan terhadap The Seven Heroes and Five Gallants dan sekuelnya The Five Younger Gallants, yang selesai diterjemahkan antara tahun 1927 dan 1928.[2] Terjemahan lain meliputi Nona Badjoe Idjo dan Kawanan Merah Hitam, yang merupakan cerita detektif.[6] Pada tahun 1936, Oey telah berkontribusi pada sejumlah terbitan, termasuk Keng Po dan Sin Po di Batavia (kini Jakarta). Ia menggunakan sejumlah pseudonim, seperti Huang, H., Boe Beng Tjoe (Hanzi: 無名子; Pe̍h-ōe-jī: Bû Bêng-chú; "pria tanpa nama"), dan C.C. Huang.[2] Pada dekade 1930-an, Oey menikahi Lie Soe Nio, dan kemudian dikaruniai empat orang anak, yakni Oey Lan Ing, Oey Hin Gie, Oey Lan Hiang, dan Oey Hin Lim.[2] Nama pena Oey yang lain, yakni Aulia, diturunkan dari nama cucunya.[3] Setelah Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda pada tahun 1941, penerbitan koran dihentikan. Rumah keluarga Oey juga hancur selama Revolusi Nasional Indonesia (1945–1949). Setelah koran mulai kembali diterbitkan, Oey juga menerbitkan sejumlah terjemahan baru. Soei Ho Toan (Water Margin, Pe̍h-ōe-jī: Súi-hó͘-toān) pun diterbitkan secara serial di Sin Po pada tahun 1950, sementara See Yoe (Journey to the West, Hanzi: 西遊; Pe̍h-ōe-jī: Si-iû) diterbitkan dalam bentuk buku oleh Magic Carpet.[2] Karir pasca-perangOey, terutama dengan menggunakan inisial OKT,[b] makin populer di Indonesia. Ia pun menyelesaikan penerjemahan terhadap Crane-Iron Pentalogy (鶴鐵系列) karya Wang Dulu, serta terhadap karya-karya Jin Yong and Liang Yusheng.[2] Serial karya Oey juga diterbitkan di Keng Po, Sin Po, dan Star Weekly.[2][5] Pada tahun 1959, Oey sangat sibuk, sehingga ia tidak lagi menerima permintaan penerjemahan. Saat Kho Ping Hoo mengajaknya untuk menjadi kontributor rutin di majalahnya, Teratai, Oey juga menolak.[7] Penerbitan cerita wuxia secara serial dilarang di Jakarta pada tahun 1961, sehingga Oey menerbitkan terjemahannya dalam bentuk buku. Penerbitan dalam bentuk buku kemudian juga dilarang mulai tahun 1966. Sehingga, pada tahun 1968, Oey mendirikan penerbit Marga Djaja. Sebelum penerbit tersebut ditutup pada tahun 1972, Oey telah menyelesaikan penerjemahan terhadap 11 judul,[2] antara lain Memanah Burung Radjawali dan Radjawali Sakti,[5] yang diterbitkan dengan pseudonim Boe Beng Tjoe, dan sebagian diterjemahkan oleh Oey An Siok saat Oey Kim Tiang jatuh sakit.[c][8] Dua cerita lain, termasuk Si Kasim Tjilik – terjemahan dari The Deer and the Cauldron – tidak dapat diselesaikan penerjemahannya.[2] Pada dekade 1970-an, Oey mulai keluar dari dunia penerbitan, karena selera pembaca telah bergeser, dengan bahasa Melayu pasar yang digunakan oleh Oey tergantikan oleh bahasa Indonesia. Karena kurang fasih berbahasa Indonesia, Oey pun berupaya mencari editor, tetapi tidak terlalu berhasil. Walaupun begitu, ia masih menerjemahkan sejumlah karya. Pada tahun 1990, Yayasan Obor Indonesia menerbitkan terjemahannya pada tahun 1985 yang berjudul Sam Pek Eng Tay (Butterfly Lovers, 梁山伯与祝英台, disunting oleh Achmad Setiawan Abadi). Ajip Rosidi juga menyunting tiga volume dari Dua Musuh Turunan (terjemahan dari Pingzong Xiaying Lu [萍蹤俠影錄]) karya Liang Yusheng, yang ia terbitkan kembali pada tahun 1996.[2] Kesehatan Oey mulai menurun pada dekade 1980-an, sehingga ia berhenti bekerja setelah menyelesaikan terjemahan terakhirnya, yakni sebuah cerita dari Wu Zetian. Ia akhirnya meninggal pada tanggal 8 Maret 1995 di Tangerang.[2] Pada saat itu, ia tinggal bersama putrinya di sebuah rumah di Jalan Cilangkap, dekat Sungai Cisadane, karena istrinya telah meninggal pada tahun 1971.[4] AnalisisOey dianggap sebagai salah satu penerjemah novel Tiongkok ke bahasa Melayu yang paling produktif.[6] Dikenal karena perhatiannya pada hal kecil, Oey akan membaca keseluruhan cerita sembari membuat catatan sebelum mulai menerjemahkan. Catatan tersebut kemudian digunakan untuk memastikan konsistensi cerita. Ia juga menulis sejumlah catatan dan analisis di sampul buku. Jika terdapat puisi klasik di tengah cerita, seperti pada cerita karya Jin Yong dan Liang Yusheng, Oey akan menunda penerbitan untuk memastikan akurasi dari terjemahannya. Melalui terjemahannya, Oey pun memperkenalkan genre wuxia ke masyarakat Indonesia, yang lalu menjadi populer selama dekade 1960-an dan 1970-an.[9] Kemudian juga muncul versi lokal dari genre tersebut, yakni cerita silat.[1] Terjemahan Oey terutama diterbitkan dalam bahasa Melayu pasar, yang merupakan lingua franca dari komunitas Tionghoa menjelang kemerdekaan Indonesia. Pada sebuah wawancara dengan Kompas pada tahun 1989, Oey menyatakan bahwa ia berupaya menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang, dari murid sekolah dasar dan ibu rumah tangga hingga pengemudi becak dan penjual sayur.[4] Ia menyebut dirinya sendiri sebagai narator[2] atau plagiaris, yang menggunakan suara untuk bercerita ke orang lain.[4] Catatan
Referensi
Rujukan
|
Portal di Ensiklopedia Dunia