Oey lahir pada sebuah keluarga aristokrasi 'Cabang Atas' di Hindia Belanda (kini Indonesia).[3] Ayahnya, Oey Khe Tay, menjabat sebagai Kapitan Cina Tangerang mulai tahun 1884 hingga meninggal pada tahun 1897, sementara kakek buyutnya, Oey Eng Sioe, adalah seorang Letnan Cina mulai tahun 1856 hingga 1864, dan kemudian pensiun dengan gelar kehormatan Kapitan-tituler Cina.[3] Ibu Oey, Nie Kim Nio, adalah putri dari Nie Boen Tjeng, Kapitan Cina dan keturunan dari Kapitan Nie Hoe Kong, yang menjabat saat Geger Pacinan terjadi pada tahun 1740. Sebagai keturunan dari pejabat Cina, Oey pun menyandang gelar turunan 'Sia' sejak lahir.[3] Selain sebagai pejabat publik, keluarga Oey juga memiliki tanah partikelir di Tangerang, dengan pusat di Karawatji.[2][3]
Pada tahun 1895, bersama ayahnya, Oey mendirikan Cultuur-Maatschappij Karawatji-Tjilongok dengan modal awal sebesar 600.000 gulden untuk mengelola tanah partikelir milik keluarga Oey di Karawatji-Tjilongok, Grendeng, Gandoe, dan Karawatji-Tjibodas.[4] Ia pun menjabat sebagai direktur di perusahaan tersebut.[4] Ia juga mendukung pendidikan dan kebudayaan lokal, contohnya dengan menjadi pelindung dari cabang lokal dari Tiong Hoa Hwee Koan, sebuah organisasi pendidikan dan kebudayaan berbasis Konfusianisme, saat cabang tersebut didirikan di Tangerang pada tahun 1904.[5] Ia juga mencoba balap kuda, dengan mengirim thoroughbred miliknya, Rosebloom, ke ajang balap kuda pada tahun 1907.[6]
Karir birokrasi Oey dimulai pada tahun 1907 saat ia diangkat menjadi Kapitan Cina Tangerang untuk menggantikan Kapitan Oey Giok Koen (menjabat mulai tahun 1899 hingga 1907).[7][1] Oey adalah sepupu pertama dari istri Kapitan Oey Giok Koen dari pihak ibu.[3] Pengangkatan Oey sebagai Kapitan Cina pun mendobrak kebiasaan lama, yakni bahwa orang yang ditunjuk menjadi Kapitan Cina biasanya adalah Letnan Cina paling tua atau paling senior.[1] Walaupun berasal dari keluarga pejabat Cina, Oey sebelumnya belum pernah memegang jabatan pemerintahan apapun.[1] Pada tahun 1909, ia mengambil cuti selama satu tahun untuk melakukan 'Tur Agung' di Eropa, antara lain untuk mengunjungi dua orang putra tertuanya yang bersekolah di Haarlem, Belanda.[8][9] Ia lalu kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1910, dan kembali menjabat sebagai Kapitan Cina hingga tahun 1916.[3] Pada tahun 1917, Oey ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai anggota dari Gewestelijke Raad Batavia.[10]
Kapitan Oey Djie San akhirnya meninggal pada tanggal 11 Oktober 1925 di Karawatji, Tangerang.[11] Putra sulungnya, Oey Kiat Tjin, pun menggantikannya sebagai tuan tanah dari Karawatji. Pada tahun 1928, Oey Kiat Tjin juga diangkat menjadi Kapitan Cina Tangerang. Putra Oey yang lain, yakni Oey Kiat Ho, kemudian juga menjadi tuan tanah dan pemimpin komunitas.[3]