Nursyahbani Katjasungkana
Nursyahbani Katjasungkana (lahir 7 April 1955) [1] adalah salah satu aktivis emansipasi perempuan di indonesia yang menjadi Sekretaris Jenderal KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) untuk Keadilan Dan Demokrasi dari tahun 1998-2004.[2] Nursyahbani juga merupakan salah satu anggota dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (Senat) dan pada tahun 2004 Nursyahbani terpilih sebagai Anggota Parlemen.[2] Dia juga merupakan Wakil Presiden ASEAN Parliamentary Myanmar Caucus yang berbasis di Kuala Lumpur.[2] Nursyahbani ini juga merupakan Pendiri dan Anggota Dewan UNDP-Partnership for Good Governance, dan juga anggota Dewan Penasehat Ensiklopedia Wanita di Kebudayaan Islam (Belanda), serta Pendiri Jaringan Kartini, gender dan Studi Perempuan di Asia, di mana Nursyahbani saat ini menjadi koordinatornya.[2] BiografiNursyahbani Katjasungkana merupakan wanita kelahiran Jakarta, namun demikian masa kecil dan remajanya dilalui di daerah Jawa Timur.[1] Puteri dari pasangan R.Katjasungkana dan Siti Maimunah, ini menyelesaikan pendidikan SD di Purwodadi, Pasuruan (1961-1966), SMP (1966-1969) dan SMA Negeri (1969-1973) di Lawang, Malang.[1] kemudian Nursyahbani meneruskan jenjang pendidikan ke Universitas Airlangga, Surabaya (1973-1978) yang mengambil jurusan hukum dan kemudian mengambil fokus pada spesialisasi hukum kriminal di Universitas Airlangga juga.[1] Nursyahbani Katjasungkana merupakan istri dari Gito Prastowo. Nursyahbani mempunyai 4 orang anak yaitu: Fatimah, Moch Gamal Nasser, Moch Reza Kacawijaya dan Giany Amorita Prastiwi.[1] Nursyahbani memulai kariernya sebagai pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1980-1981).[1] Kemudian, Nursyahbani menjabat sebagai Wakil Direktur LBH Jakarta (1984-1987).[1] Nursyahbani juga pernah menjabat sebagai anggota DPR RI tahun 2004-2009 dari Partai Kebangkitan Bangsa dari Provinsi Jawa Timur.[1] Sebelum terjun ke politik praktis, Nursyahbani juga berpengalaman dalam organisasi Work Group Coordinator of Indonesian's NGO Forum on Women.[1] Kemudian juga menjabat Sekjen Koalisi Perempuan Untuk Keadilan dan Demokrasi dan juga Board Member of Women Law and Development International, dan Anggota Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (1998-sekarang).[1] PemikiranNursyahbani Katjasungkana adalah salah seorang pejuang hak-hak perempuan masa kini.[3] Nursyahbani ikut membangun gerakan perempuan sebelum dan sesudah reformasi, dari mulai ikut mendirikan Solidaritas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Lembaga Bantuan Hukum untuk perempuan korban kekerasan (LBH APIK) yang sekarang ada di 18 wilayah di Indonesia.[3] Bagi Nursyahbani, RA.Kartini membawa pengaruh besar terhadap dirinya. Surat-surat Kartini juga memberikan semangat bagi Nursyahbani untuk bekerja selama puluhan tahun untuk penegakan hak-hak perempuan di Indonesia.[3] Namun menurut Nursyahbani apa yang diperjuangkan oleh RA.Kartini sekarang semakin “mengkristal” di tengah situasi yang terjadi di Indonesia.[3] Negara melalui kebijakan-kebijakan yang mengkriminalkan dan mendiskriminasikan perempuan semakin memperburuk kehidupan perempuan.[3] Akibat kebijakan itu angka kematian ibu melahirkan semakin tinggi di Indonesia.[3] Kemudian menurut Nursyahbani ini karena agama lagi-lagi dijadikan justifikasi untuk meminggirkan perempuan, padahal pandangan agama yang bias gender ini pernah dikritik oleh RA.Kartini dalam sebuah suratnya yang menegaskan bahwa agama semestinya untuk membebaskan setiap manusia bukan justru dijadikan alat untuk meminggirkan manusia.[3] Nursyahbani juga memikirkan tentang UU APP yang bisa menjadi bumerang bagi kaum perempuan, menurut Nursyahbani pornografi harus diatur (terutama untuk penyiaran, akses dan distribusinya), dan bukannya dilarang.[4] Di negara yang keras menindas seksualitas perempuan, seperti Arab Saudi dan Iran, kekerasan terhadap perempuan justru sangat tinggi, termasuk kekerasan terhadap para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di sana.[4] Sebaliknya, di negara-negara yang lebih liberal, seperti Denmark dan Jerman, di mana pornografi lebih mudah diakses oleh orang dewasa, kekerasan terhadap perempuan (termasuk aborsi) justru relatif rendah.[4] Upaya negara untuk secara otoriter mengatur moralitas yang seharusnya bukan ranah wewenangnya, pada akhirnya hanya akan membuka peluang kekerasan baru dan kemungkinan penyalahgunaan oleh mereka yang menganggap diri sebagai polisi moral.[4] Ditengah kondisi Indonesia yang masih terlihat kurang tertata, baik dari segi ekonomi maupun sosial, upaya menetapkan UU APP pada Juni 2006 ini, justru bisa jadi bumerang berbahaya bagi perempuan di Indonesia.[4] Karya-karyaAdapun Karya-karya dari Nursyahbani Katjasungkana adalah sebagai berikut:
Referensi
|