Setelah tamat sekolah ia bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial di Gouvernement Telefoon Dienst. Pada 1921, ia berangkat ke Belanda untuk belajar ekonomi dan perdagangan. Pada 1923 ia lulus dan meraih gelar adjunc accountant dan bekerja di Amsterdam, Belanda. Pada 1924, ia berangkat ke Berlin, Jerman untuk melanjutkan studi ekonominya dan meraih gelar doktor dalam ilmu ekonomi dengan judul tesis Sedjarah pendek Tentang Perniagaan, Pelajaran dan Indoestri Boemipoetra di Poelaoe Djawa.[3]
Setelah mendapatkan gelar akademik tersebut, dia pulang ke Indonesia dan bergabung dengan partai bentukan Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI). Namun, ketika Adolf Hitler memenangkan Pemilu di Jerman, Notonindito memutuskan untuk mendirikan partai sendiri, Partai Fasis Indonesia(PFI).[3]
Pemikiran
Sebagai seorang pengagum maha agung Adolf Hitler dan "separuh" pengikut Nazisme, Notonindito sadar betul bahwa dirinya tidak akan bisa masuk kedalam Partai Nazi di Jerman, maupun cabang-cabang Partai Nazi di Indonesia yang berisi orang-orang Jerman asli yang tinggal di Hindia Belanda saat itu.[4] Ia juga sadar bahwa dirinya juga tidak akan bisa masuk partai fasis yang didirikan oleh Anton Mussert, Nationaal-Socialistische Beweging (NSB), tentu saja karena faktor ras dan etnisnya, yang merupakan seorang asli Jawa, oleh karena itu kemudian, Notonindito mengkonsepsikan sendiri mengenai "fasisme' dan "nasionalisme" tentu saja berlandaskan nilai-nilai Jawa.[5]
Pemikiran Notonindito pada dasarnya mengikuti sebuah organisasi nasionalis Jawa, yang bernama Komite Nasionalis Jawa yang dibentuk pada 1914. Ide pokok pemikiran Notonindito itu antara lain:
Mendapatkan kemerdekaan Jawa dan kemudian diangkat seorang raja yang tunduk pada grondwet dan raja itu adalah keturunan dari Panembahan Senopati.[6]
Notonindito tidak penah memikirkan untuk menaklukkan Pasundan, ia justru mengusulkan agar setiap etnis di Nusantara mendirikan kerajaan sendiri dan bergabung dalam sebuah federasi antar-kerajaan yang semuanya harus dipimpin oleh pribumi. Meskipun begitu, ia tetap menginginkan yang menjadi pusat dari federasi adalah Jawa, karena Notonindito mengadopsi ide Jawanisasi atau menjadikan supremasi Jawa sebagai dasar nilai.[8]
Banyak tokoh pergerakan seperti Soekarno, Hatta, M. H. Thamrin, dan sebagainya menganggap ide Notonindito terlalu feodal, reaksioner, dan chauvinis. Menuai kontroversi dari kaum pergerakan, maka Notonindito mendapatkan perlawanan dari kanan dan kiri. Karena mendapatkan banyak penentangan, Partai Fasis Indonesia sendiri tidak bertahan lama dalam kacah politik Pergerakan Kemerdekaan Indonesia saat itu.[9]
Referensi
^Arif Arianto dan Sudrajat. "Priyayi Jawa Terinspirasi Ras Aria". Majalah Detik, ed. 105, 2-8 Desember 2013.