NgabungbangNgabungbang berasal dari kata "nga" dan "bungbang". "Nga" berarti ngahijikan atau menyatukan. "Bungbang" berarti membuang atau membersihkan. Bila diartikan keseluruhan, ngabungbang adalah mandi suci dengan niat menyatukan cipta, rasa, dan karsa untuk membuang semua perilaku tidak baik, lahir ataupun batin. Ngabungbang adalah sebuah tradisi yang dijalankan sejak bertahun-tahun silam. Bagi mereka yang percaya dan meyakini tradisi itu digunakan sebagai ajang olah lelaku batin.[1] Tradisi ngabungbang sering dilakukan di daerah Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Pantai Sukawayana. Tempat ini dijadikan ritual ngabungbang karena masyarakat meyakini tempat ini merupakan pantai selatan milik Ratu Laut Kidul. Sejarah asal mulaRitual ngabungbang di muara Sungai Cisukawayana, Palabuhanratu, sudah ada ratusan tahun lalu sejak zaman Kerajaan Medang Gali (Galih/Galuh) 175-205 M. Tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun di muara Cisukawayana pada tanggal 14 bulan Maulud tahun Hijriah. Terutama para Raja dan pembesar kerajaan datang daru berbagai penjuru dengan maksud mensucikan diri dan menyempurnakan ilmu kanuragan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan kepada kebesaran Sang Pencipta Alam Semesta. Konon kabarnya muara Sungai Cisukawayana dianggap mempunya nilai magis yang sangat tinggi, karena muara Sungai CIsukawayana bermuara ke Laut Selatan. Dimana Laut Selatan adalah wilayah kekuasaan Ratu Laut Kidul dan Sungai Cisukawayana ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Gali.[2] Orang-orang suku asli benua Amerika merayakan terang bulan purnama dengan menamai masing-masing purnama dalam setahun itu, sesuai dengan kondisi alam dan kegiatan yang mereka lakukan. Seperti misalnya di bulan juli ini "buck moon" atau "purnama tanduk rusa", ada pula "hunt moon" atau "purnama berburu" di bulan oktober di mana pada waktu tersebut, kebiasaan orang asli Amerika berburu bison yang menjadi makanan pokok mereka. Tak jauh, orang Sunda di Jawa Barat juga punya apresiasi yang sama terhadap bulan purnama, meski ini hanya dilakukan sekali dalam setahun.[3] Orang Sunda punya tradisi Ngabungbang, yaitu terjaga sepanjang malam ketika purnama raya tanggal 14 Mulud, atau 14 Rabiul Awwal. Kegiatannya beragam, ada yang berjalan-jalan kaki ke berbagai tempat, ada yang berkumpul di pesantren, atau ada yang berkunjung ke tempat-tempat yang dinilai punya kemuliaan.[4] Ngabungbang di PalabuhanratuTradisi ngabungbang sering dilakukan di daerah Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Pantai Sukawayana. Tempat ini dijadikan ritual ngabungbang karena masyarakat meyakini tempat ini merupakan pantai selatan milik Ratu Laut Kidul. Ritual ngabungbang di muara Sungai Cisukawayana, Palabuhanratu, sudah ada sejak zaman Kerajaan Medang Gali (Galih/Galuh) 175-205 M. Karena tujuan ritual ngabungbang tidak menyimpang dari ajaran Islam, tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun di muara Cisukawayana pada tanggal 14 bulan Maulud tahun Hijriah. Ngabungbang merupakan tradisi membersihkan diri dari tujuh sifat jahat yang ada pada manusia. Caranya dengan membuangnya ke muara Sukawayana. Tradisi ini sudah berlangsung sejak masa Prabu Siliwangi, setiap tanggal 14 Maulud tepat tengah malam dan masih dilakukan sampai saat ini. Hanya saja, kini pengaruh agama Islam sangat kental meskipun sejatinya tradisi ini bukan hanya untuk pemeluk agama Islam saja. Untuk pemeluk Islam, tradisi ini memiliki makna yang lebih dalam karena bertepatan dengan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Ngabungbang juga dipercaya untuk menguji ilmu kebatinan sekaligus meningkatkannya. Suku Baduy Luar Cisungsang pimpinan Abah Usep, yang letaknya tidak jauh dari Palabuhanratu, memiliki ritual ngabungbang yang berbeda. Melakukan ngabungbang 12 kali dalam setahun, tanggal 14 setiap bulannya. Tapi, itu tidak boleh dilihat orang, setelah mandi, ilmu yang ditekuni dites sendiri dalam kegelapan malam.[5] Referensi
|