Konsep ini mulai dianut oleh kaum intelektual di Korea setelah Jepang mendirikanprotektorat di Korea pada tahun 1905,[11] dan Jepang mencoba untuk meyakinkan orang Korea bahwa orang Jepang dan Korea merupakan bagian dari ras yang sama.[12][13] Gagasan "minjok" Korea pertama kali dipopulerkan oleh penulis esai dan sejarawan Shin Chaeho dalam bukunya, Doksa Sillon (1908), yang menjabarkan sejarah Korea dari masa mitos Dangun hingga jatuhnya Balhae pada tahun 926. Shin menggambarkan "minjok" sebagai ras yang suka berperang dan telah berjuang untuk melestarikan identitas Korea, kemudian mengalami kemunduran dan kini harus dibangkitkan.[14] Pada masa penjajahan Jepang (1910–1945), kepercayaan akan keunikan minjok Korea mendorong pergerakan yang menentang kebijakan asimilasi budaya Jepang.[15]
Di Jepang dan Jerman, nasionalisme etnik dikecam setelah Perang Dunia II karena dikaitkan dengan ultranasionalisme atau Nazisme,[16] tetapi Korea Utara dan Selatan masih tetap mengklaim homogenitas etnik dan garis keturunan ras "Han Agung" yang murni.[12][17] Pada tahun 1960-an, Presiden Park Chung-hee menggunakan "ideologi kemurnian ras" untuk melegitimasi kekuasaannya,[18] sementara propaganda Korea Utara menggambarkan bangsa Korea sebagai "ras yang paling bersih".[12][13] Sejarawan kontemporer Korea masih terus menulis tentang "warisan ras dan budaya [Korea] yang unik."[19] Gagasan bersama ini masih terus membentuk politik dan hubungan luar negeri Korea,[17] menjadi kebanggaan nasional bagi bangsa Korea,[20] dan mendorong harapan untuk menyatukan kembali dua Korea.[21]
Walaupun statistik menunjukkan bahwa Korea Selatan berubah menjadi masyarakat multietnik,[22] sebagian besar penduduk Korea Selatan masih menganggap diri mereka sebagai "satu bangsa" (bahasa Korea: 단일민족; Hanja: 單一民族, danil minjok) yang disatukan oleh garis keturunan yang sama.[23] Penekanan terhadap pentingnya "kemurnian darah" Korea[24] telah memicu ketegangan dan perdebatan mengenai multikulturalisme dan rasisme di Korea Selatan.[22]
^Denney, Steven (February 2014). "Political Attitudes and National Identity in an Era of Strength and Prosperity"(PDF). A Primer on a New Nationalism in South Korea. Dominion of Canada: Department of Political Science of the University of Toronto. South Koreans do ascribe a relatively higher value to race than do other nations.
^Lee, Jin-seo (2016). North Korean Prison Camps. Radio Free Asia. hlm. 26. Diakses tanggal 3 March 2016.
^Em, Henry H. (2013). The Great Enterprise: Sovereignty and Historiography in Modern Korea, Part 2. hlm. 77. As noted earlier, the word minjok (read as minzoku in Japanese) was a neologism created in Meiji Japan. When Korean (and Chinese and Japanese) nationalists wrote in English in the first half of the twentieth century, the English word they generally utilized for minjok was 'race.'
^Sheila Miyoshi Jager, Narratives of Nation Building in Korea (2003), pp. 15-16; Andre Schmid, "Rediscovering Manchuria" (1997), hlm. 32.
^Hyung-il Pai, Constructing "Korean" Origins: A Critical Review of Archaeology, Historiography, and Racial Myth in Korean State-Formation Theories. Cambridge: Harvard University Asia Center, distributed by Harvard University Press, 2000), hlm. 1.
^Comparison with Japanese "ultranationalism": Andre Schmid, Korea Between Empires, 1895-1919 (New York: Columbia University Press, 2002), hlm. 277. Comparison with Germany and Nazism: Shin Gi-wook, Ethnic Nationalism in Korea: Genealogy, Politics, and Legacy (2006), hlm. 19.
^Kim, Nadia Y. (2008). Imperial citizens: Koreans and race from Seoul to LA. Stanford University Press. hlm. 24. ISBN0-8047-5887-5. Koreans' beloved trope of tanil minjok—'the single ethnic nation'— would soon come into its own (see Shin 1998). The centrality of "blood" has been revived in more current times as well.