Nafsu ini sering mengajak dan mendorong seseorang melakukan suatu kejahatan. Nafs al 'ammarah bi al suu' dimiliki oleh setiap orang, baik orang mukmin yang awam maupun orang non mukmin (kafir). Nafsu ini dapat menguasai seluruh jiwa dan raga karena adanya dorongan dari setan sebagaimana yang telah difirmankan Tuhan dalam suratYusufayatlimapuluhtiga, berbunyi: Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.[2] Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatan oleh Nabi Yusuf.[3] Kadang bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan nafs al-ammarah bi al-su’ adalah nafs dalam arti secara umum.[4] Penggunaan istilah nafs sebenarnya dapat disamakan dengan istilah jiwa, meskipun ada pula yang menyamakan istilah jiwa pada ruh, akan tetapi penggunaan istilahnya pada jiwa lebih populer menggunakan nafs.[5] Sedangkan ammarah secara harfiyah artinya adalah banyak memberi perintah.[6] Adapun lafadz nafs juga mengandung makna kehendak (thaawiyah) dan sanubari (dhamiir),[7] sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT.:
Artinya:”... sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ...”
Adapun istilah nafs al-ammah bi al- suu’ ditemukan pada pemahaman Lafadz nafs dalam makna bahan (maahiyah) manusia, bersamaan dengan nafs lawwamah, dan nafs muthmainnah.[9]
Nafsu ammarah oleh Serat Sasangka Jati dianggap berasal dari api dan bertempat di darah, serta tersebar di seluruh tubuhmanusia. Ammarah memiliki sifat: merindukan dengan sangat, lekas marah, garang, juga jahat. Dr. Sumantri menerangkan bahwa nafsu ammarah ini adalah watak yag disertai dengan gairah, kekuatan, kemauan, dan bertahan.[10] Para ulama pada dasarnya sepakat, bahwa manusia itu pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan suci atau fithrah. Fithrah yang dimaksud adalah, manusia ketika dilahirkan adalah dalam kondisi tidak memiliki dosa sama sekali, bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan pada Allah, atau dengan kata lain manusia memiliki kecenderungan pada kebenaran.[11]
Hal ini telah mengindikasikan bahwa manusia memilki kemampuan untuk dapat membedakan antara kebenaran dan kejahatan. Hanya saja kondisi lingkungan yang melingkupinya suatu saat dapat membelokkan manusia pada jalan kesesatan yang mengarahkan manusia pada tindak kejahatan, sehingga keluar dari wujud aslinya, yaitu taat kepada Allah.[11]
Dalam buku psikologi agama, karya Wiwik Setiyani, dijelaskan bahwa nafs ammarah adalah jiwa yang menyerah dan patuh kepada kemauan syahwat dan mempertaruhkan ajakan setan, tidak mampu membentengi diri untuk menolak pada perbuatan-perbuatan jahat, karena sesungguhnya pada jiwamanusia itu memiliki jiwa kebinatangan pusatnya perbuatan.[12]
Jadi, meskipun pada dasarnya manusia itu terlahir dalam keadaan yang suci atau fithrah, namun ia juga memiliki potensi untuk salah. Untuk itu, agar dapat mengaktualisasikan fithrah-nya, manusia perlu memahami dan menguasai potensi salah atau kekurangan yang ada pada dirinya. Potensi keunggulan yang dimiliki manusia memberikannya kemampuan pada dirinya untuk dapat membedakan antara kebaikan dan kesalahan atau kekurangan.[13]
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengaktualisasikan diri. Struktur watak yang baik itu dapat menguasai kecenderungan-kecenderungan atau dorongan-dorongan emosional dan biologisnya (nafs).[13]
Saat seseorang didominasi oleh nafs ammmarah, maka ia akan cenderung pada kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan rendah. Jika dorongan-dorongan atau kecenderungan-kecenderungan tingkat rendah ini tidak terpenuhi atau tidak dikendalikan maka akan menimbulkan penyakit-penyakit mental dan menjauhkan diri dari proses menuju aktualisasi diri (fitrah).[13]
Nafs al ammarah selalu mendorong diri manusia untuk melahirkan perbuatan, sikap, dan tindakan kejahatan atau syahwathewani dan kesenangan kepada kejahatan. Paling tidak dorongan kejahatan itu mengarah kepada tiga hal besar, yaitu:[14]
Mengikuti hawa nafs akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat dari pemuasan nafs jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafs yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang. Dalam al Qur’an telah dijelaskan:
Artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”
Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan potensi diri yang luar biasa, tetapi hawa nafs dapat menghambat potensi itu muncul kepermukaan. Potensi yang dimaksud di sini adalah potensi untuk menciptakan keadilan, ketentraman, keamanan, kesejahteraan, persatuan dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan nafs yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan).
Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan hawa nafs adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki keseimbangan, kebahagian dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan di jalur-jalur yang benar sajalah manusia dapat mencapai hal-hal tersebut. Antara nafs di suatu pihak dan hati, akal, serta bashiirah akan saling tarik menarik dalam mempengaruhi, mewarnai dan menguasai jiwa seseoarang. Nafs ammarah dibantu oleh setan mendorong orang untuk berbuat fujur (kejahatan) dan sebaliknya, hati, akal dan bashiirah mengajak untuk bertaqwa. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, apakah akan mengikuti hawa nafs-nya atau malah akan mengikuti dorongan hatinya, dalam kehidupan keseharian manusia itu.[16]
2. Nafs Bahiimiyyah, yaitu nafs yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki oleh binatang, seperti malas, memuaskan kebutuhan biologis atau sex.
3. Nafs Sabuu’iyyah, yaitu nafs yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki binatangbuas, seperti suka “memakan” orang lain.
Menurut Abraham Maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Meski demikian, kebanyakan orang tidak mengetahui potensi yang dimilikinya, buta terhadap kemampuannya sendiri. Mereka tidak menyadari seberapa besar prestasi yang dapat mereka raih dan seberapa banyak ganjaran bagi mereka yang mengaktualisasikan diri.[17] Maka pada saat manusia yang telah dijajah oleh nafs ammarah ini, ia tidak sadar bahwa segala perbuatan, sikap dan tindakan yang dilakukan itu akan membahayakan dirinya maupun orang lain. Ia sangat menikmati kejahatan dan kekejian yang dilakukannya itu. Batas-batas antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah), halal dan haram, baik dan buruk, terpuji dan tercela, manfaat dan madlarat, dosa dan pahala sudah kabur dalam kehidupannya. Orang-orang seperti ini dikatakan oleh al Qur’an sebagai makhluk yang lebih hina dari binatang melata. Sebagaimana firman Allah:
Artinya:”Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak diperg[19] unakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tidak digunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”
Nafs adalah sebagai entitas dinamis yang ada pada diri manusia. Jika entitas ini dilatih secara benar, maka akan tumbuh dan berkembang pada jenjang tertinggi dari kesadaran spiritual. Namun, jika nafs tidak dikendalikan, maka yang mendominasi adalah dorongan-dorongan kejahatan. Untuk itulah, maka diperlukan struktur nilai yang berupa wahyu, ajaran-ajaran atau norma-norma yang dapat menjadi alat pengontrol bagi hawa nafs.[21]Al Razi juga berpendapat bahwa nafs harus berada di bawah kendali akal dan agama.
Referensi
^Shadily, Hassan (1980).Ensiklopedia Indonesia.Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve. Hal 2325
^Mujieb, Abdul (2009).Enseklopedi Tasawuf Imam al-Ghazali.Jakarta:Mizan.Hal 326
^Khalid, Amri (2005).Jernihkan Hati.Jakarta:Republika. Hal 71
^Imam al-Ghazali, Membangkitkan Energi Qalbu, suntingan: Muhammad Nuh, tk., Mitrapress, 2008, hlm. 17
^Rosleni Marliany dan Asiyah, Psikologi Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2015, hlm. 1
^Netty Hartati, Zahratun Nihayah, dkk., Islam dan Psikologi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 111
^Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al Ghazali, Kitab Asror Al Shaum; Kutipan dari Ihya’ Ulum Al Diin, Terj.: Muhammad Musyafa’ ibn Mudzakir Ibn Said, Surabaya, Al Wava Publising, 2010
^Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, ibid., hlm. 116