Muhayat
Drs. H. Muhayat, M.Si. atau lebih dikenal dengan nama Bang Ayat (27 April 1951 – 22 Juni 2021) adalah birokrat Indonesia yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta yang menjabat antara 2008 dan 2010. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wali Kota Administratif Jakarta Pusat sejak 2004 hingga 2008. BiografiMuhayat bin Muhammad bin USman bin Yahya, sejak kecil sudah terbiasa hidup prihatin. Ayahnya, meninggal ketika Muhayat baru duduk di kelas I SD. Pria yang akrab disapa sebagai Bang Ayat ini, nyaris saja putus sekolah karena Azizah Awab, sang Ibunda, tidak mampu membiayai pendidikannya. Muhammad, ketika meninggal, hanya mewariskan sebuah rumah dan beberapa petak kebun. Pada dekade tahun 50an, tanah di kawasan Pasar Minggu, nyaris tidak ada harganya. Karena itu, azizah tidak pernah berpikir menjual tanah peninggalan suaminya. Untuk membiayai kelangsungan hidupnya, Azizah menerima upahan menyulam dan memasang kancing baju dari para juragan konveksi. Diantaranya dari Suaeh, yang tidak lain adalah menantunya sendiri. tapi upah yang diterima Azizah tidak pernah cukup membiayai pendidikan anak-anaknya. Untuk makan sehari-hari saja, tidak cukup. Muhammad, meninggalkan 9 (sembilan) orang anak. Mereka adalah: Zaini, Halimah, Hatimah, Tarmizi, Mahani, Maleha, Marzuki, Muhayat dan Nurhasanah. Ketika Muhayat lahir, Zaini, Halimah dan Hatimah sudah berkeluarga. Artinya, ada 6 (enam) anak yang harus diberi makan setiap dan sekolahkan. Meski terbilang masih kecil, prilaku Ayat sering membuat Azizah gundah. Pasalnya, ketika masih duduk di bangku SD, Ayat gemar menonton film layar tancap. Hampir setiap hari, Ayat baru muncul di rumah lewat tengah malam. Bahkan tidak jarang dia baru pulang menjelang subuh. Kalau malas masuk ke rumah, Ayat tidur di Mushola Al Ikhlas yang berlokasi hanya beberapa depa dari rumahnya. Akibatnya, sejak duduk di kelas IV SD, Ayat tidak jarang tertidur di dalam kelas, disaat guru sedang mengajar. Konon, seperti diungkapkan Halimah, guru-guru tidak pernah marah pada Muhayat. Salah sebabnya, prestasi Ayat terbilang luar biasa. Ayat tidak pemah tergelincir dari posisi ranking 1. Nilai rapotnya rata-rata 8. "Dia pintar. Ayat tidak pemah ketinggalan kelas hingga tamat SMA," kata Hj. Halimah. Bahwa Ayat anak pintar, juga, juga dikemukakan oleh KH. Ali Anshori, guru di Madrasah Ibtidayah (MI) Unwanul Huda. "Setiap kali saya selesai menulliskan pertanyaan, disaat itu pula Muhayat selesai memberi jawaban," ungkap Kiai Ali yang kini berusia sudah lebih dari 80 tahun. "Sayang dulu tidak ada raport, kalau tidak saya bisa memperlihatlkan cacatan nilai belajarnya," tambah Kiai Ali. Ada cerita kenapa Muhayat masuk Madrasah Ibtidayah, ketika dia sebenamya sudah duduk di kelas I SMP. Sampai tamat SD, temyata Muhayat belum bisa mengaji. Sebagai Anak Betawi tulen, Ayat malu tidak bisa mengaji. Rasa malu itulah yang mendorongnya ingin belajar mengaji. Kalau hanya ingin bisa mengaji, banyak guru yang bisa membantunya. Tapi Muhayat ingin bisa menulis dan membaca huruf Arab. Pilihannya jatuh ke MI Unwamul Huda karena di situ ada Syarifuddin, putra Halimah yang tidak lain keponakan Muhayat. Usia Syariifuddin hampir sama dengan Muhayat. Ketika itu Syarifuddin sudah duduk kelas V. Karena sudah tamat SD, Muhayat diterima di MI langsung kelas III. "Itu bukan pertimbangan saya. Tapi para guru," kata Kiai Ali. Pada bulan kedua, guru-guru menilai Muhayat tidak pantas duduk di kelas III. Seharusnya, kelas IV Alasannya, semua pelajaran ke dengan mudah dikerjakan Muhayat. Dia juga sudah mulai bisa menulis dalam huruf Arab sekaligus sudah bisa membacaAI Qur'an. Itu sebabnya, pada bulan ketiga Ayat naik ke kelas IV Ternyata, semua pelajaran kelas IV bisa dikerjakannya dengan baik. Para guru kemudian sepakat menaikan Muhayat ke kelas V Di sini, Ayat satu kelas dengan Syarifuddin, sang ponakan, Tapi hanya sekitar satu bulan, para guru kembali membuat keputusan, Muhayat harus naik ke kelas VI. "Selama sembilan bulan, Muhayat tiga kali naik kelas," kenang Kiai Ali. Merupakan Lulusan Terbaik SMA III Muhammadyah, 1969, Muhayat ingin melanjutkan ke ITB. Dia bercita-cita ingin jadi Insyinyur Pertambangan. Dia mendaftar, diterima dan mendapat panggilan untuk registrasi atau daftar ulang ke Bandung. Dia pergi. Di depan kampus lIB, Muhayat hanya bisa terunduk ketika menyadari siaoa atau bagaimana dia membiayai kuliahnya? Alih-alih biaya kuliah, untuk kos dan makan saja dia tidak mampu. Kalau dia sampai bisa tamat SMA, itu karena Halimah dan Marzuki yang membantunya. Sadar tidak mampu membiaya kuliahnya, Muhayat memutuskan melupakan cita-citanya. Keputusan inilah yang kemudian membawa kuliah di Akade Penerangan pada tahun 1970. "Saya bisa kuliah di Akpen karena diterima dengan ikatan dinas. Tidak perlu bayar dan bahkan ketika kuliah sudah digaji," ujarnya.[1] Riwayat Pendidikan
Riwayat Jabatan
Meninggal duniaPada 22 Juni 2021 malam, Muhayat meninggal dunia di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat akibat penyakit asam lambung yang dideritanya.[3] Ia dimakamkan pada 23 Juni 2021 siang di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Referensi
|