Muhammad bin al-Mu'tashim
Muḥammad bin Muḥammad bin Hārūn (bahasa Arab: محمد ابن المعتصم, translit. Muḥammad bin al-Muʿtaṣim) adalah seorang pangeran Abbasiyah, putra Khalifah al-Mu'tashim. Ia sezaman dengan khalifah al-Watsiq dan al-Mutawakkil. Putranya, Ahmad, menjadi khalifah Abbasiyah kedua belas dengan nama regnal al-Musta'in. Muhammad adalah pangeran pertama dalam sejarah Abbasiyah yang putranya menjadi khalifah, tidak ada pangeran Abbasiyah lain sebelumnya yang memiliki prestise ini. Latar belakangMuhammad adalah putra dari Abū Ishaq Muhammad. Dia adalah anggota keluarga Abbasiyah yang berpengaruh yang memerintah kekhalifahan sejak tahun 750. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Harun ar-Rasyid dan kunya adalah Abu Ahmad. Ayahnya, orang tua al-Mu'tashim adalah khalifah Abbasiyah kelima, Harun ar-Rasyid (m. 786–809), dan Marida binti Syabib, selir.[1]Muhammad lahir pada masa pemerintahan pamannya. Pamannya, al-Ma'mun tidak membuat ketentuan resmi untuk penerusnya. Putra al-Ma'mun, al-Abbas sudah cukup umur untuk memerintah dan telah memperoleh pengalaman komando dalam perang perbatasan dengan Bizantium, tetapi belum ditunjuk sebagai ahli waris.[2] Menurut catatan ath-Thabari, di ranjang kematiannya al-Ma'mun mendiktekan sebuah surat yang mencalonkan saudaranya, bukan al-Abbas, sebagai penggantinya,[3] dan Abu Ishaq dinyatakan sebagai khalifah pada tanggal 9 Agustus, dengan gelar kerajaan al-Mu'tashim (secara lengkap al-Mu'taṣim bi'llāh, "dia yang mencari perlindungan kepada Tuhan").[4] Ayahnya menjadi khalifah Abbasiyah kedelapan dari Kekhalifahan. BiografiMuhammad adalah putra khalifah al-Mu'tashim (m. 833–842 dari salah satu gundiknya (Umm walad). Ia menghabiskan masa kecilnya di Bagdad. Sebagai seorang pangeran Abbasiyah, ia menerima pendidikan yang baik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain. Ketika ayahnya menjadi khalifah, kekayaan Muhammad dan saudara-saudaranya meningkat. Pada tahun 836 ayahnya mendirikan kota baru Samarra dan memindahkan ibu kota kekhalifahan ke sana, Muhammad juga pindah ke Samarra. Ayahnya memerintah Kekaisaran selama hampir delapan tahun hingga kematiannya. Kakak laki-lakinya al-Watsiq menjadi khalifah setelah kematian ayahnya pada tanggal 5 Januari 842. Ia naik takhta dengan lancar tanpa ada pertentangan dari saudara-saudaranya termasuk Muhammad. Enam tahun kemudian, al-Watsiq meninggal karena edema, saat sedang duduk di dalam oven dalam upaya untuk menyembuhkannya,[5] pada tanggal 10 Agustus 847. Muhammad adalah seorang abdi dalem dan pelindung para ulama selama masa pemerintahannya. Ia digantikan oleh al-Mutawakkil. Kehidupan Muhammad di bawah pemerintahannya tidak jelas, karena ia tidak memainkan peran penting dalam urusan politik. Saudaranya, Al-Mutawakkil melihat Muhammad sebagai calon penerus (khalifah masa depan) karena popularitasnya untuk mencegah Muhammad dari suksesi, saudaranya khalifah al-Mutawakkil (m. 847–861) telah membuat rencana suksesi yang akan memungkinkan anak-anaknya untuk mewarisi kekhalifahan setelah kematiannya; ia akan digantikan pertama oleh putra sulungnya, al-Muntashir, kemudian oleh al-Mu'tazz dan ketiga oleh al-Mu'ayyad.[6] Nominasi ketiga putranya sebagai ahli waris mencegah semua saudaranya dari suksesi terutama Muhammad dan Ahmad. Muhammad bin al-Mu'tashim memiliki beberapa anak dari selir yang berbeda, salah satunya adalah Ahmad. Ahmad (bakal al-Musta'in) lahir pada tahun 836 dari seorang selir dari Sisilia bernama Makhariq yang juga dikenal sebagai Umm Ahmad. Muhammad meninggal pada masa pemerintahan saudaranya al-Mutawakkil. Meskipun ia disingkirkan dari suksesi, popularitasnya tidak padam. Putranya menjadi khalifah pada pertengahan tahun 862. Kontribusi terhadap kenaikan al-Musta'in ke KhilafahHanya beberapa tahun setelah kematian Muhammad. Pada bulan Desember 861 al-Mutawakkil dibunuh oleh sekelompok perwira militer Turki, kemungkinan dengan dukungan al-Muntashir. Selama pemerintahan singkat al-Muntashir (m. 861–862), Turki menekannya untuk menyingkirkan al-Mu'tazz dan al-Mu'ayyad dari suksesi. Ketika al-Muntashir meninggal, para perwira Turki berkumpul bersama dan memutuskan untuk mengangkat sepupu khalifah yang sudah meninggal, al-Musta'in, ke atas takhta.[7] Hubungan Muhammad dengan istana Khalifah, hubungannya dengan al-Watsiq dan popularitasnya di antara para perwira resimen Turki menjadi kontribusinya yang besar terhadap karier al-Musta'in. Referensi
Sumber
|
Portal di Ensiklopedia Dunia