MenduMendu adalah teater rakyat yang berkembang di masyarakat Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat.[1] Teater diawali dengan nyanyian dan tarian yang diiringi tabuhan alat musik serta pengenalan pemeran teater. Cerita utama dalam teater diperoleh dari Hikayat Dewa Mendu dan dipentaskan secara berbabak. Penyampaian cerita menggunakan Bahasa Melayu Mendu dan Pesisir. Pusat kegiatan Mendu yaitu di Bunguran dan meluas ke Natuna, Anambas, Sungai Ulu, Pulau Tiga, Midai dan Siantan.[2] Mendu banyak dipentaskan pada tahun 1876 hingga tahun 1942 Masehi. Pementasannya kemudian dihentikan pada masa penjajahan Jepang dan kembali berkembang pada tahun 1980 pada masa pemerintahan Indonesia.[3] AturanDalam Mendu, gerakan yang dilakukan oleh para pemain tidak memiliki aturan tertentu. Para pemain hanya perlu mengikuti alur cerita dan memperhatikan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton. Mendu dilakukan secara berbabak dan ceritanya disesuaikan dengan keinginan para penonton.[4] Para pemeran Mendu harus memainkan peran yang sama secara terus-menerus.[5] Masa perkembanganAwalnya teater Mendu dirintis oleh Nek Ketol. Teater ini kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Ali Kapot. Muridnya in kemudian membentuk kelompok teater Mendu di Desa Malikian, Kabupaten Mempawah. Kelompok ini terdiri dari tiga orang yaitu Ali Kapot, Amat Anta dan Achmad. Mereka kemudian mulai mengajarkan Mendu kepada masyarakat di desa lain pada tahun 1837. Teater Mendu kemudian mulai dipentaskan di Sungai Jaga, Kabupaten Sambas, Mempawah, Tanjung, dan Mengkacak. Pementasan Mendu awalnya hanya dilakukan di kalangan masyarakat biasa, tetapi kemudian mulai menjadi bagian dari acara hiburan Kerajaan Mempawah. Murid dari Ali Kapot yang bernama Abdul Hamid Satoh menjadi pementas teater Mendu untuk Panembahan Mohammad Taufik Akkamaddin. Satoh diminta mementaskan Mendu di Istana Amantubillah dalam rangka memperingati hari ulang tahun Panembahan Mohammad Taufik Akkamaddin dan acara khitanan kedua putranya yaitu Pangeran Jimmi Mohammad Ibrahim dan Pangeran Faitsal Taufik.[6] Masa kejayaanSelama periode tahun 1876 hingga 1943, pementasan Mendu didukung oleh Panembahan Kerajaan Mempawah. Mendu kemudian dipentaskan di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Ketapang. Pusat pementasannya berada di Mempawah, Ngabang, Sambas, Sungai Raya, Sungai Duri, Singkawang, Sekura, Tayan, Balai Karangan, Sungai Awan Kiri, Suka Baru, Sukadana, dan Simpang Hilir.[7] Masa kemunduranMendu tidak lagi dipentaskan sejak tahun 1943 pada masa penjajahan Jepang. Kemunduran ini diawali oleh larangan berserikat dan berkumpul yang ditetapkan oleh pemerintah penjajahanJepang. Setelah Indonesia merdeka, Mendu tidak lagi dikenal oleh masyarakat hingga tahun 1980.[8] Masa kebangkitanPada tanggal 5 November 1978, diadakan diskusi tentang Mendu oleh tim dari Sub Direktorat Seni Teater, Film, dan Sastra, Direktorat Pembinaan Kesenian Jakarta, tim Bidang Kesenian Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Kebudayaan Kalimantan Barat, tim petugas kebudayaan Kabupaten Pontianak, dan penatua kesenian Mendu. Topik diskusinya mengenai cara mempopulerkan kembali kesenian Mendu. Pada tahun 1980, teater Mendu kembali dipentaskan di Kota pontianak oleh Sanggar Teater Gelanggang Seni Budaya Pontianak dalam kepemimpinan Sataruddin Ramli.[9] Hingga tahun 2000-an, telah bermunculan kelompk-kelompok teater Mendu di Kota Pontianak, Kabupaten Mempawah, Sambas, Ketapang, Sanggau, sampai ke Kapuas Hulu.[10] Referensi
Daftar pustaka
|