Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 1.600 m² dengan luas bangunan 900 m².[2] Pada 30 September 2009, bangunannya mengalami kerusakan akibat gempa bumi yang mengguncang Sumatera Barat. Setelah itu pada tahun 2017, dilakukan renovasi pada bangunan meliputi pemasangan plafon, perbaikan kubah, perbaikan dinding, dan penggantian keramik.[3]
Sejarah
Pembangunan
Masjid Raya Piladang dibangun Oleh Syekh Muhammad Salieh dari pesukuan Guci berkisar tahun 1871-1880.
Syekh Muhammad Salieh juga digelari sebagai Datuak Inyiak, dan ia merupakan seorang adik dari pangulu suku Guci di Pasandiang, Tigo Alua Piladang. Abang atau kakak dari Syekh Salieh bergelar Datuak Pangka Marajo.
Dulunya bangunan masjid ini tak sebesar bangunan yang berdiri saat ini. Pembangunannya diiringi dengan pendirian sebuah nagari yang kini dikenal dengan Jorong Piladang oleh masyarakat adat dari beberapa kaum. "Ceritanya dulu, sama-sama duduk (bersama) ninik, mamak dan datuak di sini, baru (setelah itu) dibangun masjid". Masjid ini berkonstruksi utama kayu dan pada awalnya dibangun dengan ukuran 12. x 12 meter.
Menggunakan atap ijuk, Masjid Raya Piladang ini dulunya ditopang dengan tiang kayu dari pohon utuh berukuran besar. Di bagian tengah masjid terdapat satu tiang yang lebih besar dari tiang lainnya atau dikenali dengan "Tunggak Macu", tiang ini berukuran sebesar 3 kali rangkulan tangan orang dewasa. Kayu-kayu tersebut dicari oleh warga di kawasan hutan Sungai Baringin, kemudian kayu yang telah ditebang diangkut secara gotong royong ke lokasi pembangunan masjid melalui aliran sungai. Pembangunan masjid pun dilakukan secara gotong royong, mulai dari membentuk arsitektur masjid hingga bangunan jadi. Pada sekitar tahun 1900, atap masjid yang awalnya ijuk berganti dengan seng. karena pada saat itu juga banyak surau - surau yang mengganti atap seng. Pada tahun 1926 Masjid Piladang runtuh dan rusak berat akibat gempa yang terjadi di padang panjang. Setelah itu masjid dibangun kembali dengan kayu hingga akhirnya diganti dengan dinding beton beberapa tahun setelah merdeka, [4]
Tak seperti masjid-masjid tua pada umumnya, masjid ini didirikan tidak dengan atap yang berundak-undak atau bertingkat. Pada saat dibangun, masjid ini dinamakan "Masjid Piladang" dan beberapa tahun setelah kemerdekaan, nama masjid ini berganti menjadi "Masjid Raya Piladang". Bentuk atapnya pun baru setelah merdeka juga dibuat bertingkat bersamaan dengan mengganti dinding kayu menjadi tembok. Masjid ini sudah mengalami sejumlah renovasi dan perubahan besar-besaran sejak dibangun. Salah satunya saat bangunan masjid mengalami kerusakan berat akibat guncangan gempa pada 30 September 2009, Masjid ini pun cukup lama digunakan dalam kondisi memprihatinkan karena dindingnya banyak yang retak. Pada tahun 2017, masjid ini pun direnovasi, meliputi pemasangan plafon, perbaikan kubah, perbaikan dinding, dan penggantian keramik.[3]
Kini berdasarkan catatan Kementerian Agama Republik Indonesia, Masjid Raya Piladang berdiri di atas tanah seluas 1.600 m² dengan luas bangunan 900 m², Di sekeliling masjid terdapat beberapa kolam ikan, dan di area masjid juga terdapat bak air berukuran besar yang dijadikan masyarakat setempat sebagai tempat mandi dan berwudhu. Pada sisi barat yang sejajar dengan mihrab, terdapat bangunan berupa menara memanjang bertingkat dua yang merupakan bangunan awal masjid.[2]
Agresi Militer Belanda II 1948
Sehari setelah pembentukan dan pengumuman Kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tanggal 22 Desember 1948, Belanda menyerang beberapa kota di Sumatera Barat seperti Bukittinggi dan Payakumbuh. Beberapa nagari yang dekat dengan Kota Payakumbuh diserang dari udara dengan pesawat Catalina sehingga beberapa fasilitas hancur dan beberapa penduduk terkena dampaknya pada tanggal 23 Desember 1948.
Sebelumnya di tanggal 19 Desember 1948 di sekitar jam 09.00 pagi, terlihat tiga buah pesawat tempur milik pasukan tentara Belanda menuju arah Piobang lalu, pesawat itu melepaskan tembakan serta menjatuhkan Bom tepat Lapangan terbang Piobang Payakumbuh.
Sekretaris Kab. Limapuluh, Anwar ZA mengungkapkan bahwa Tembakan dari pesawat udara yang dilancarkan Belanda mengenai dua buah bis yang bermuatan penuh, seluruh penumpangnya pun menjadi korban dan para korban tersebut dibawa ke rumah sakit Payakumbuh diletakkan di kamar jenazah. Kondisi beberapa jenazah ada yang badannya buntung, kepalanya pecah, kakinya putus dan sebagainya.
Pada 23 Desember jam 11.00, terlihat beberapa kendaraan dan tank baja milik pasukan Belanda menggunakan senjata lengkap sampai di Simpang Batu Hampar. mereka langsung menembaki rakyat sekitar, beberapa dari mereka ada yang selamat karena berhasil meloloskan diri dan bersembunyi. Lalu pasukan Belanda kembali ke posko mereka di Bukittinggi, namun tak lama kemudian sekitar jam 15.00 pasukan Belanda kembali menuju ke Payakumbuh, Melihat pasukan Belanda itu datang, rakyat langsung kocar-kacir berlari untuk bersembunyi demi menyelamatkan diri. Pada malam harinya terlihat api yang sangat besar berkobar diarah Payakumbuh sekitar Jam 19.00. Setelah kejadian itu sekitar 13 orang pemuda Jorong Piladang berangkat menuju Payakumbuh untuk melakukan perang gerilya dengan membawa senjata seadanya.
Keesokan harinya pada tanggal 24 Desember 1948, demi melindungi ancaman nyawa dari tentara Belanda, Pasar Jum'at Nagari Piladang waktu itu terpaksa ditutup serta rumah-rumah warga harus di kosongkan dan ditinggalkan. Pasukan tentara Belanda berkeliaran menyerang warga dengan senjata Api dan Bom, tetapi hal tidak menyusutkan keimanan Masyarakat Jorong Piladang untuk melaksanakan ibadah Salat Jumat dengan penuh jihad, sampai sekarang sejarah pada hari tersebut masih tertulis di dinding Masjid Raya Piladang dengan tujuan agar masyarakat tidak buta dengan sejarah. Apalagi, sejarah untuk perjuangan mempertahankan Negara Indonesia.
Berbagai macam letusan dari darat dan udara tidak dapat sambutan dari pihak kita. Tentera KNIL-KL Belanda menduduki Kota Payakumbuh tanpa perlawanan. PDRI dan Belanda pun ibarat berkejaran dengan maut. Tak lama setelah anggota petinggi PDRI melewati kota Payakumbuh, maka Belanda pun menguasai penuh kota Payakumbuh pada tanggal 24 Desember sore, keesokan harinya Pesawat Capung milik pasukan tentara Belanda tersebut masih terlihat terbang diatas wilayah Jorong Piladang. Rakyat pada saat itu masih bisa tenang karena pasukan tentara tersebut tidak melepaskan serangan tapi hanya melakukan pantauan.
Kekejaman Belanda yang menelan banyak korban
Pagi itu sekitar jam 7.30 Tentara Belanda yang terdiri dari 15 Orang mendarat & melakukan pengacauan serta menembaki warga yang tak bersalah. Awalnya mereka masuk ke Guguak Nunang lalu terus ke Lurah Songsang untuk menggeledah dan menembak orang tua yang tidak bersalah. Mereka terus berjalan ke Tanjuang Taranjak, Jorong Sungai Cubadak dan menangkap seorang pemuda yang bernama Biran, dan juga menembak seorang laki-laki tua yang bernama Malin Rusin. Setelah itu, mereka terus ke Lurah Parit disana mereka memergoki seorang pemuda dengan sigap pemuda tersebut memukulnya sehingga seorang tentara belanda jatuh ke tanah. Namun, pemuda tersebut ditembak dengan sangat kejam
Kemudian belanda kembali ke Simpang Batu Sangkar Piladang yang kendaraannya telah menunggu. Sekitar jam 12.00 siang mereka kembali datang dengan melepas tembakan ke arah rumah-rumah warga dan sampailah pada waktu masuk Sholat Jum’at.
Warga yang saat itu walaupun berada dalam situasi perang melawan Belanda tapi tidak menyurutkan Imanu Billah tetap melaksanakan Ibadah Shalat Jum'at di Masjid Raya Piladang meski dengan kewaspadaan ketat tapi khutbah yang di sampaikan oleh Chatib Arifin waktu itu dengan semangat Jihad yang membakar semangat warga Melawan Pasukan Tentara Belanda.
Seusai shalat dilaksanakan secara berjama'ah warga tidak langsung pulang. Karena akan ada acara Renungan Suci (Tafakkur) mengenang kekejaman Belanda yang menelan Banyak Korban Jiwa sambil memberikan semangat pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat perlawanan serta petunjuk untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi.
Sekitar jam 14.00 siang kembali 2 Unit Kendaraan Serdadu Belanda melepaskan Tembakan dengan membabi Buta di sepanjang jalan raya Payakumbuh menuju tempat peristirahatan mereka di Bukittinggi. Sejenak warga mulai tenang dengan kepergian Belanda Namun hanya berselang 3 Jam setelah itu tentara Belanda kembali meluncur ke Payakumbuh, dengan sedikit tenang namun warga tetap waspada.[5]
^Ja'far Jalil, kisah seorang wali nagari Piladang masa lampau (2023)
^Nasrun, Thahar Dt. Mangindo Nan Kuniang (2011). Piladang 1949 - Berita Harian MPRN Piladang. Piladang: Yayasan Islam Tigo Alua Piladang.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)