Maliran adalah desa di kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Indonesia.
Lahirnya Desa Maliran
Perang Diponegoro
Penyebab Perang Diponegoro
Penyebab Perang Diponegoro adalah rasa tidak puas yang hampir merata di kalangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah Belanda, di wilayah Kesultanan Jogjakarta.
Salah satu kebijakan pemerintah Belanda yang membuat Pangeran Diponegoro marah adalah pembangunan jalan raya yang menghubungkan Jogjakarta dan Magelang, di mana pembangunan itu melewati makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo.
Diponegoro serta pasukanya mulai melakukan sebuah tindakan yang membuat pemerintah Belanda marah, yaitu dengan mengganti patok-patok pembuatan jalan dengan tombak. Meskipun demikian pemerintah Belanda tetap meneruskan pembuatan jalan tersebut. Pada akhirnya pasukan Diponegoro mulai menyerang pasukan belanda dengan bergerilya.
Terjadinya Perang
Perang Diponegoro berlangsung lima tahun, yaitu dari tahun 1825 sampai 1830. Sampai dengan tahun 1826, pasukan Diponegoro berhasil memperoleh kemenangan dengan teknik perang gerilya. Untuk meredam perlawanan pasukan Diponegoro, pemerintah Belanda menerapkan Benteng stelsel (sistem perbentengan). Dengan demikian, daerah kekuasaan Diponegoro menjadi menyempit.
benteng-stelsel-diponegoro
Akhirnya pemerintah Belanda dapat menangkap Pangeran Diponegoro dengan tipu muslihat. Ia kemudian diasingkan ke Menado lalu dipindahkan di benteng Rotterdam di Makasar (Ujung Pandang). Diponegoro pun mati dalam pengasingannya pada tahun 1855, dengan demikian berakhirlah perang Diponegoro.
Akibat perang Diponegoro
Setelah perang berakhir para sisa prajurit Diponegoro menyelamatkan diri dari pemerintah Belanda. Mereka bergerak dari daerah Jawa Tengah menuju berbagai daerah di Jawa Timur, mereka bersembunyi di hutan-hutan dan membuka lahan untuk dijadikan sebuah desa.
Sebagian besar hutan-hutan yang dijadikan persembunyian para pasukan Diponegoro terletak di daerah Kediri, Tulungagung, Blitar, dan daerah-daerah lain sekitarnya.
Terbentuknya Desa Maliran
Pada Tahun 1850, pasukan Diponegoro datang di daerah hutan wilayah kota Blitar. Pasukan itu di bawah pimpinan Nyi Gadung Melati. Mereka memutuskan untuk menetap di sana dan mulai menebangi pohon yang ada di hutan untuk dijadikan sebuah pemukiman.
Semakin lama pemukiman tersebut semakin meluas, banyak pendatang dari daerah lain yang tinggal di daerah itu. Pada suatu ketika, Nyi Gadung Melati melihat ada dua buah pohon jati yang kedua rantingnya saling bersinggungan dan mengakibatkan suara gesekan.
Hal inilah yang membuat Nyi Gadung Melati memberikan nama daerah itu dengan sebutan jati gerot. Seiring berjalannya waktu, daerah jati gerot semakin meluas dan menjadi sebuah desa.
Warga desa pun semakin menyebar ke berbagai daerah desa tersebut. Setelah 24 tahun, nama jati gerot semakin tidak dikenal dan bahkan sudah digantikan dengan nama baru.
Pemberian nama baru atas daerah tersebut semata-mata diakibatkan oleh kegelisahan hati para pembuka desa, temasuk Nyi Gadung Melati. Daerah yang semula bernama jati gerot berubah nama mejadi Desa Maliran dengan lurah pertama Naya Menggala yang diduga merupakan generasi kedua keturunan Nyi Gadung Melati.
Nama Maliran sendiri berasal dari keadaan alam daerah tersebut, yang selalu menghembuskan angin yang sejuk. Maka desa terebut diberi nama Desa Miliran yang diambil dari kata sumilir. Namun, memang dasar lidah orang Jawa, kata Miliran lambat laun luluh menjadi Maliran.
Tradisi Desa Maliran
Pengertian Tradisi
Pengertian tradisi menurut KBBI adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Di Indonesia, tradisi yang masih dijalankan, dipengaruhi oleh kebudayaan lokal, Hindu-Budha, dan Islam. Disadari atau tidak, sampai sekarang dalam menjalankan sebuah tradisi, masyarakat Indonesia masih terpengaruh oleh tiga kebudayaan asli Indonesia tersebut.
Asal Mula Punden
Dari hasil wawancara dengan mbah Wantah selaku sesepuh desa, belum diketahui secara pasti sejarah adanya Punden tersebut. Akan tetapi ungkapannya ini berdasarkan cerita yang diteruskan dari keturunan yang terlebih dahulu tinggal di Desa Maliran.
Awal mula desa ini bukanlah bernama Maliran. Dia mengatakan bahwa yang babad desa/pendiri desa adalah Nyi Gadung Melati yang konon berasal dari Kerajaan Mataram.
Nyi Gadung Melati bersama beberapa orang-orang yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan Belanda kala itu, berjalan kaki mencari tempat aman karena bagi orang-orang pemberontak Belanda akan dibunuh secara kejam oleh prajurit Belanda.
Akhirnya, rombongan Nyi Gadung Melati menemukan tempat yang sekiranya aman dari Belanda yaitu sebuah hutan jati yang sekarang dekat dengan kuburan Bodo, Maliran.
Banyaknya pohon jati yang memenuhi hutan itu membuat ranting-rantingnya nggerot (dalam bahasa Indonesia: Bergesekan), bunyi gerotan ini juga disebabkan iliran angin yang menerpa hutan tersebut, sehingga hutan ini dinamai daerah Gerot.
Bunyi ini menimbulkan kegetiran dan kecemasan pada Nyi Gadung Melati, akhirnya daerah Gerot ini direvisi menjadi daerah Maliran. Analisis lain mengatakan bahwa nama Maliran diilhami dari angin daerah ini yang sumilir (sejuk mengalir).
Setelah Nyi Gadung Melati meninggal, warga setempat memakamkan jasadnya dan mengkramatkan kuburannya sebagai Punden.
Tradisi dan Mitos di Desa Maliran
Sampai sekarang masyarakat juga menggunakan punden tersebut sebagai “tempat perizinan” jika melakukan hajatan keluarga, seperti khitanan/sunatan dan upacara perkawinan.
Dari pernyataan ini dapat kita simpulkan bahwa tradisi lokal bangsa Indonesia masih dilaksanakan oleh beberapa orang di Desa Maliran. Mereka juga mempunyai jadwal dalam membesihkan punden tersebut, yaitu pada saat Jumat Legi. Mereka juga memberikan sesaji setiap bulan Sura.
Menurut Mbah Wantah, Desa Maliran ini juga menyimpan mitos, yaitu dilarang menggunakan udeng berwarna hitam apalagi ditambah dengan pakaian hitam dan celana panjang hitam.
Hal ini dikarenakan nama dari pakaian ini sama dengan nama leluhur desa yaitu Nyi Gadung Melati. Sehingga seseorang yang mengenakan benda tersebut diyakini akan mempercepat kematiannya tradisi.
Pemilihan Kepala Desa
Pemilihan kepala Desa Maliran pada umumnya adalah orang yang berasal dari Dusun Maliran dan Glagah. Hal ini dikarenakan adanya tradisi yang diwariskan turun-temurun oleh para pendahulunya dan karena orang Dusun Maliran dan Glagah dianggap sebagai keturunan asli pendiri desa.
Pada dasarnya tidak ada yang mengetahui secara pasti sejarah terbentuknya Desa Maliran. Hal ini dikarenakan para sesepuh yang diyakini mengetahui sejarah Desa Maliran secara pasti sudah meninggal.
Namun masyarakat setempat menganggap ada beberapa orang yang mengetahui sedikit tentang sejarah Desa Maliran. Dari keterangan yang sudah penulis dapatkan, Nyi Gadung Melati adalah tokoh yang membuka lahan baru sebagai tempat pelarian dari pemerintahan Belanda.
Olehnya tempat itu diberi nama daerah Jati Gerot. Setelah 24 tahun, nama Jati Gerot berubah nama menjadi Desa Maliran, dengan lurah pertamanya Naya Menggala.
Sebagian masyarakat Desa Maliran masih menjalankan tradisi warisan bangsa Indonesia, yang terpengaruh oleh budaya lokal. Di kalangan masyarakat, juga berkembang sebuah mitos tentang pemakaian udeng dan pakaian yang berwarna hitam.
Berikut ini nama tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah berdirinya desa Maliran:
1. Nama: Kambali
Umur: 75 tahun
Pekerjaan: Tani
Alamat: Dusun Maliran, RT 04/RW 01, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar.
2. Nama: Simur
Umur: 80 tahun
Pekerjaan: Tani
Alamat: Dusun Ringin Branjang, RT 03/RW 06, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar.
3. Nama: Kusranan
Umur: 63 tahun
Pekerjaan: Swasta
Alamat: Dusun Glagah, RT 04/RW 07, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar.
4. Nama:Manisah
Umur: 69 tahun
Pekerjaan: Tani
Alamat: Dusun Maliran, RT 01/RW 04, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar.
Babad/pendiri Desa Maliran adalah:
Jaya Menggala atau Naya Menggala
Nama-nama kepala Desa Maliran yang pernah menjabat:
1. Nama: Naya Menggala
Tahun: 1874 sampai 1879
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
2. Nama:Rana Sentika
Tahun:1880 sampai 1886
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
3. Nama: Sokrama
Tahun: 1887 sampai 1901
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
4. Nama: Djoikrama
Tahun: 1902 sampai 1905
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
5. Nama: Kasan Radji
Tahun: 1906 sampai 1908
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
6. Nama: Djaya Marta
Tahun: 1909 sampai 1915
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
7. Nama: Djaya Munawi
Tahun:1916 sampai 1924
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
8. Nama:Tani Medja
Tahun:1925 sampai 1943
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
9. Nama: Karta Miharja
Tahun: 1945 sampai 1949
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
10. Nama: Amat Siyar
Tahun: 1950 sampai 1979
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
11. Nama: Kusranan
Tahun: 1980 sampai 1999
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
12. Nama: Darulin
Tahun: 1999 sampai 2007
Alamat: Dusun Maliran, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar
13 Nama: Sutoyo
tahun: 2007-sekarang (2 periode)
alamat: Dusun maliran desa maliran kecamatanm ponggok kabupaten blitar
sumber "djaloe"
Tira04