Mahabali (Dewanagari: महावलि; ,IAST: Mahāvali,; Malayalam: മഹാബലി; Mahāvali) atau Raksasa Bali (Dewanagari: वलि; ,IAST: Vali,वलि) adalah nama seorang raja detya (keluarga asura atau raksasa) dalam mitologi Hindu, putra Wirocana, cucu Prahlada. Nama Mahabali atau Bali sering disebut dalam kitab Purana sebagai raja asura yang mengadakan perang melawan para dewa. Ia juga disebut sebagai asura yang mengusir para dewa dari surga, merebut kekuasaan Indra (raja para dewa), dan menguasai tiga dunia (bumi, antariksa, dan surga). Kekuasaannya berakhir setelah awataraWisnu yang bernama Wamana menghukumnya. Menurut kitab Purana, ia merupakan seorang Ciranjiwin (makhluk berumur panjang), menghuni Patala (alam bawah tanah) bersama dengan raksasa pengikutnya.[1][2]
Menurut kitab Purana, Mahabali memerintah dunia dengan baik. Ia dibantu oleh dua menteri utamanya yang bernama Kumbanda dan Kupakarna. Selain itu, ia merupakan seorang pemuja Dewa Wisnu yang taat. Wisnu-lah yang menamainya Mahabali, sebab ia "berjiwa besar" (Maha berarti "besar"). Namun ia mengusir para dewa dari surga, sehingga Wisnu harus turun tangan untuk membawanya kembali ke jalan yang benar.
Mahabali memiliki seratus putra. Semuanya kuat dan menyamai dirinya dari segi kemampuan. Putranya yang tertua bernama Bana, atau Banasura.
Kekuasaan
Menurut kitab Naradapurana, Bali (Mahabali) memiliki angkatan perang yang besar, dengan kekuatan jutaan gajah, kereta, kuda, dan prajurit dalam jumlah besar. Dengan angkatan perang tersebut, ia mengadakan ekspedisi untuk menaklukkan tiga dunia - bumi, antariksa, dan surga. Penyerbuannya ke surga telah membuat Indra dan para dewa terdesak. Akhirnya, Indra, raja para dewa mengumumkan peperangan melawan Bali. Setelah perang sengit terjadi selama seribu tahun (menurut Naradapurana), para asura memperoleh kemenangan. Para dewa meninggalkan surga, lalu turun ke bumi dengan menyamar sebagai makhluk bumi.
Aditi, ibu para dewa, sedih melihat penderitaan anak-anaknya. Kemudian Aditi melakukan tapa, memuja Dewa Wisnu. Karena merasa berkenan dengan pemujaan yang dilakukan Aditi, Wisnu bersedia menampakkan diri di hadapannya. Aditi memohon agar Wisnu menjelma sebagai putranya untuk menyelesaikan perkara antara Bali dan para dewa. Wisnu bersedia mengabulkan permohonan Aditi, dan berjanji akan menghukum Bali dan mengembalikan kekuasaan Indra. Versi lain mengatakan bahwa Wisnu sendiri yang ingin menjelma sebagai putra Aditi, meskipun Aditi hanya memohon perlindungan, bukan memohon agar Wisnu menjelma sebagai putranya. Maka dari itu, awatara (penjelmaan) Wisnu pada zaman tersebut, terlahir sebagai putra Aditi dan Kasyapa. Anak penjelmaan Wisnu tersebut bernama Wamana, berwujud brahmanakatai.
Hukuman Wisnu
Bali menyelenggarakan suatu yadnya (upacara suci) dan mengundang seluruh brahmana (rohaniwan/paderi) di negerinya untuk menghadiri acara tersebut. Wamana turut serta dan berbaur dengan para brahmana yang telah diundang. Upacara tersebut dipimpin oleh Sukra (Sukracarya), guru para asura. Saat melihat Wamana, Sukra sadar bahwa Wisnu sendiri telah menjelma ke dunia dalam wujud brahmana katai dan turut menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Bali. Kemudian ia mengingatkan Mahabali agar tidak memenuhi permohonan Wamana, sebab petaka akan terjadi. Namun Bali tidak menghiraukan peringatan gurunya, sebab merupakan kewajibannya untuk melayani tamu undangannya sebaik mungkin, dan ia merasa sangat beruntung bila berhasil menyenangkan Wisnu yang datang pada saat itu dalam wujud brahmana katai.
Bali menyambut Wamana dengan takzim dan menanyakan apa yang dapat ia lakukan untuk memuaskan tamu istimewanya tersebut. Wamana mengajukan permintaan yang sederhana, yaitu sebidang tanah seluas tiga langkah kakinya. Bali yang merasa permintaan tersebut sangat mudah, segera menjawab bahwa ia bersedia memenuhinya, kemudian ia mempersilakan Wamana melangkah untuk mengukur luas tanah yang ia minta.
Wamana memperbesar ukuran tubuhnya, hingga langkahnya yang pertama menginjak bumi, langkahnya yang kedua berada di langit, dan langkahnya yang ketiga berada di surga. Dengan demikian, Wisnu dalam wujud Wamana melakukan triwikrama, karena langkahnya mampu berada di tiga dunia sekaligus. Versi lain mengatakan bahwa langkah pertamanya menginjak bumi, langkah keduanya berada di surga, dan karena tidak ada lahan lagi untuk dipijak, Bali merelakan kepalanya sebagai tempat berpijak yang ketiga. Maka Wamana meletakkan langkahnya yang ketiga di kepala Bali sekaligus memberikannya keabadian atas kemurahan hatinya.
Bali tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali menyerahkan kekuasaannya di tiga dunia kepada Wisnu. Dengan demikian, ketiga dunia menjadi milik Wisnu lalu Wisnu menyerahkan kekuasaan terhadap surga kepada Indra. Sementara itu, Bali dan para raksasa pengikutnya tidak memiliki tempat tinggal lagi sejak Wamana mengambil alih wilayah kekuasaan mereka. Karena sikap Bali yang dermawan, Wisnu mengizinkannya tinggal di Patala (alam bawah tanah), dan menganugerahkan umur yang panjang kepadanya. Wisnu juga mengubah namanya dari Bali menjadi Mahabali, sebab ia berjiwa besar.
Anugerah Wisnu
Wamana memberi pelajaran kepada Bali bahwa kesombongan dan keangkuhan harus ditinggalkan jika ingin mendapat kemajuan dalam hidup, dan harta melimpah seharusnya tidak diminta sebagai anugrah sebab kekayaan mudah lenyap. Kemudian Wamana berubah wujud sebagai Mahawisnu. Ia merasa senang dengan keteguhan hati Bali dan sikapnya yang setia terhadap janji. Maka dari itu, Wisnu menamainya Mahabali karena ia merupakan seorang Mahatma (berjiwa besar). Ia mengizinkan Mahabali pergi menuju alam spiritual untuk bergabung dengan Prahlada (kakeknya) dan para raksasa lainnya. Wisnu juga menyatakan bahwa Mahabali boleh menjabat sebagai Indra (pemimpin para dewa) pada manwantara (zaman) berikutnya.[3]
Menurut legenda Hindu, Mahabali merupakan raja yang dermawan bagi rakyatnya, dan dipuja terutama oleh orang Malayali di negara bagian Kerala, India. Masa kekuasaannya diyakini sebagai zaman keemasan dan kemakmuran. Untuk menghibur rakyat yang berduka atas kemalangan rajanya, maka Mahabali diizinkan untuk kembali ke permukaan Bumi, setahun sekali, pada perayaan yang disebut Onam, yang dirayakan oleh orang Malayali di seluruh dunia.[4]