Kumejing, Wadaslintang, Wonosobo
Kumejing adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Wadaslintang, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia. Batas-batas Wilayah
Pembagian AdministratifDesa Kumejing terbagi menjadi beberapa dusun, diantaranya:
PendudukSecara geografis, Desa Kumejing terletak di paling ujung barat Kecamatan Wadaslintang perbatasan dengan Kabupaten Kebumen. Karena itulah yang lebih dominan memengaruhi dialek/ percakapan warga Desa Kumejing sehingga nyaris sama dengan dialeknya masyarakat Kebumen (Dialek Banyumasan). Seiring dengan perkembangan zaman, desa Kumejing saat ini tampak lebih maju. Buktinya antara lain:
Lurah/Kepala DesaBerikut ini daftar Kepala Desa atau Lurah yang pernah dan sedang memimpin Kumejing (berdasarkan urut periode):
Asa-usulMenurut cerita sesepuh desa yang disampaikan oleh Pak Kasbari dan Mbah Makno, warga Dusun Rejosari mengatakan nama Kumejing konon diambil dari sebuah nama pohon yakni pohon komejing. Namun saat ini pohon tersebut sudah punah. Sebagian warga meyakini tonggak kayu komejing masih ada dan kelihatan pada saat air Waduk Wadaslintang surut. Sejarah PenjajahanDi zaman penjajahan, desa Kumejing tidak luput dari imperialis Belanda dan Jepang, walaupun tidak separah desa tetangga yaitu Kaligowong dimana di desa ini banyak rumah penduduk dibakar. Di Kumejing, waktu itu mayoritas di Dusun Trukareja sekarang bernama Rejosari, penjajah tidak sampai membakar rumah. Namun penduduk harus mengungsi ke ujung barat bagian selatan desa. Menurut Pak Kasbari, sebagian penduduk meninggalkan hewan ternaknya (bebek, ayam, kambing), tetapi sapi ikut dibawa mengungsi. Pak Kasbari—yang dalam beberapa periode menjabat Congkog (istilah sekarang Kadus)--masih teringat ketika itu ada warga yang sapinya mati setelah terperosok jurang. Dia juga ingat persis ketika di malam hari kelihatan nyala peluru berseliweran ditembakkan dari utara ke selatan atau sebaliknya. Belanda pergi, datanglah penjajah Jepang. Jepang terkenal dengan ketegasan dan kedisiplinannya. Seperti diketahui pada zaman Jepang tiap-tiap desa dibentuk Keibodan dan Seinendan, begitu pula organisasi kaum ibu yang disebut Bujingkai. Semua organisasi diberi kegiatan baris berbaris dan Taeso (olahraga). Ini pun tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang ada itu saja, melainkan dari seluruh lapisan rakyat ikut juga berlatih baris dan Taeso. Yang menarik, saat itu Pak Kasbari memperagakan baris-berbaris Jepang, dia memperagakannya dengan baik serta hafal ucapan aba-abanya. Di zaman Jepang, jangan tanya soal makanan dan pakaian. Karena langka dan sulitnya makanan, rakyat banyak yang makan dari bahan makanan yang seharusnya dimakan hewan, misalnya keladi gatal, umbi-umbian, sagu (dari batang pohon aren), bahkan menurut cerita ada yang memarut pohon pepaya untuk dimakan. Untuk pakaian, ada yang memakai karung goni (karung yang sekaranng sering digunakan untuk lomba balap karung). Pakaian dari bahan kain nilon ketika itu sudah sangat bagus. Walaupun desa terpencil, nyatanya Kumejing tak pernah lepas dari huru-hara politik, sejak Belanda, Jepang, AOI hingga PKI. Mengenai AOI (Angkatan Orang Islam) penulis banyak mendapat cerita menarik dari alm. Mbah Kyai Muhdi (semoga diampuni dosanya dan diterima semua amal ibadahnya). Kyai yang dulunya tinggal di dukuh Kiringan (selatan sungai, sekarang tenggelam oleh air waduk), kemudian pindah ke Rejosari memimpin masjid Jami'atul Muslimin. Pada zaman AOI Mbah Muhdi (panggilan akrabnya) sampai diciduk pemerintah dan ditahan di Wonosobo. Proyek Waduk WadaslintangProyek Pembangunan Waduk Wadaslintang dimulai, awal tahun 80-an. Pembayaran ganti rugi tanah—yang nilainya jelas sangat murah—sekitar tahun 1983. Setelah itu gelombang transmigrasi dimulai. Bagi yang tidak punya lahan atau lahannya habis terkena proyek, transmigrasi merupakan solusi yang tepat. Sementara yang masih memiliki lahan cukup, memilih menjadikan sisa lahan mereka sebagai kampung. Perpindahan kampung pun terjadi. Sebagian besar warga Trukareja Barat naik ke ladang mereka yang sekarang menjadi dukuh Rejosari, sementara Trukareja Timur banyak yang ke Bandung Mulya dan sebagian lainnya pindah ke Kiringan, Kedung Bulu atau wilayah lain. Sebaliknya, ada pula warga Kedung Bulu, Bandung Mulya, Kiringan dan Kaliasat pindah ke Rejosari. Perpindahan saling-silang seperti di atas belum terlalu terasa dampaknya. Antarwarga masih bisa saling berkunjung dengan berjalan kaki. Namun ketika Bendungan Wadaslintang dinyatakan selesai (diresmikan tahun 1987, penulis kelas II SMP) dan pintu air bendungan ditutup, air pun dengan cepat naik dan menggenangi lahan-lahan pertanian dan bekas rumah mereka. Bahkan seorang warga yang sawahnya tiba-tiba terendam air ketika belum sempat dipanen. Akibat naiknya air, untuk sementara komunikasi warga bagian utara dan selatan tersendat dan baru ramai kembali setelah orang-orang berani naik dayung, terlebih setelah adanya perahu. Dalam periode ini, tercatat banyak musibah menimpa warga khususnya warga tenggelam, mulai daerah pangkal hingga ujung bendungan (Gemenggeng, Sumbersari, Plunjaran, Tritis, Kaliasat, Kiringan, Trukareja, Bandung Mulya hingga Kedung Bulu). Penyebabnya antara lain: jatuh ke air saat menginjak batu, jatuh dari dayung, dayung terbalik karena ombak, dll. |