Kritik terhadap patenPakar hukum, ekonom, aktivis, pembuat kebijakan, industri, dan organisasi perdagangan memiliki pandangan berbeda tentang paten dan sering terlibat dalam perdebatan sengit. Kritik ini muncul pada abad ke-19 sehubungan dengan lahirnya perdagangan bebas.[1] Kritik-kritik kontemporer terus menggaung, misalnya paten dianggap menghambat inovasi dan membuang-buang sumber daya yang seharusnya dapat digunakan secara produktif,[2] menghalangi akses "milik bersama" sebuah teknologi baru,[3] serta menerapkan model "satu untuk semua" pada industri dengan kebutuhan berbeda,[4] yang justru tidak produktif bagi industri-industri di luar kimia dan farmasi dan khususnya tidak produktif bagi industri perangkat lunak.[5] Penegakan hukum yang kurang berkualitas menyebabkan kantor pelayanan paten dan sistemnya sering kali dihujat.[6] Paten obat juga menjadi fokus kritik, karena harganya yang mahal membuat obat yang dianggap mujarab, atau menyelamatkan jiwa, menjadi tidak terjangkau bagi banyak orang.[7] Alternatif terhadap paten telah diajukan, seperti usulan Joseph Stiglitz untuk menyediakan "hadiah" (yang disponsori pemerintah) sebagai pengganti keuntungan yang hilang karena tidak melakukan monopoli dagang yang diamanatkan undang-undang paten.[8] Perdebatan ini merupakan bagian dari wacana yang lebih luas tentang perlindungan kekayaan intelektual; meski kritiknya sendiri berkembang jauh dari hak cipta. SejarahPaten mulai dikritik pada zaman Ratu Victoria dari Inggris pada 1850 dan 1880, dalam sebuah kampanye menentang undang-undang hak cipta dan paten, yang menurut sejarawan Adrian Johns, "menjadi [kampanye] terdahsyat yang pernah dilakukan terhadap kekayaan intelektual", hingga nyaris mencabut UU paten.[1] Aktivis yang paling menonjol – Isambard Kingdom Brunel, William Robert Grove, William Armstrong, dan Robert A. MacFie – adalah penemu dan pengusaha, dan didukung oleh ekonom laissez-faire radikal (The Economist sering menerbitkan pandangan anti-paten), sarjana hukum, ilmuwan (yang khawatir bahwa paten menghalangi kemajuan riset teknologi), dan produsen manufaktur.[1] Johns merangkum beberapa argumen utama mereka sebagai berikut:[1][9] [10]
Debat ini juga mencuat di negara-negara Eropa lainnya seperti Prancis, Prusia, Swiss, dan Belanda (tetapi tidak di Amerika Serikat) [1] Berdasarkan kritik paten sebagai monopoli dagang yang diatur undang-undang dan dianggap bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas, Belanda menghapuskan paten pada tahun 1869 (setelah menetapkannya pada tahun 1817) – tetapi kemudian mengembalikan UU paten pada tahun 1912.[11] Di Swiss, kritik terhadap paten menyebabkan undang-undang paten batal disahkan hingga tahun 1907.[1][11] Argumen kontemporerArgumen kontemporer fokus pada cara paten untuk memperlambat inovasi karena dianggap: menghambat akses peneliti dan perusahaan ke teknologi dasar yang sudah digunakan, dan terkhusus setelah maraknya pengajuan paten pada tahun 1990-an, membuang-buang waktu dan sumber daya yang produktif untuk menangkis penegakan paten berkualitas rendah yang seharusnya tidak perlu diajukan, serta biaya litigasi paten. Paten pada obat-obatan telah menjadi fokus kritik tertentu, karena harganya yang mahal menyebabkan orang tidak dapat mengakses obat yang berpotensi mujarab atau menyelamatkan nyawa Menghambat inovasi
Argumen umum yang banyak dilontarkan untuk menentang undang-undang paten adalah bahwa “kekayaan intelektual” dalam segala bentuknya merupakan upaya untuk mengeklaim sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki seseorang, dan merugikan masyarakat dengan menghambat inovasi dan membuang-buang sumber daya.[2] Guru besar ilmu hukum Michael Heller dan Rebecca Sue Eisenberg telah menggambarkan "tragedi anticommons" sehubungan dengan banyaknya pengajuan paten baru di bidang bioteknologi, saat hak kekayaan intelektual (HaKI) telah semakin terfragmentasi sehingga, secara efektif, setiap orang dilarang mengambil keuntungan tanpa perjanjian atau izin tertulis antara pemilik semua fragmen tersebut.[3] Kampanye publik untuk meningkatkan akses terhadap obat-obatan dan makanan hasil rekayasa genetika telah menyatakan kekhawatiran untuk "mencegah perluasan" perlindungan hak kekayaan intelektual termasuk paten, dan "untuk menjaga keseimbangan hak milik publik".[13][14] Ekonom[2], ilmuwan,[15] dan guru besar ilmu hukum [16] telah menyuarakan kekhawatiran bahwa paten menghambat kemajuan teknologi dan inovasi. Sementara pihak lain menyatakan bahwa paten tidak berdampak pada kemajuan penelitian, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap para ilmuwan.[17][18] Dalam publikasi tahun 2008, Yi Quan dari Sekolah Manajemen Kellogg menyimpulkan bahwa penetapan paten terhadap produk farmasi berdasarkan Perjanjian TRIPS tidak memajukan inovasi dalam industri farmasi. Jurnal tersebut juga menjelaskan bahwa perlindungan paten yang optimal dapat meningkatkan inovasi dalam negeri.[19] Menanganai paten berkualitas rendahPaten juga dikritik karena terkadang diberikan pada penemuan yang sudah diketahui, dengan beberapa keluhan di Amerika Serikat bahwa Kantor Paten dan Merek Amerika Serikat (USPTO) "tidak mampu menangani paten secara serius,, sehingga membiarkan paten berkualitas rendah lolos dan diakui."[20] Di sisi lain, beberapa berpendapat bahwa karena sedikit patenyang masuk ke proses litigasi, peningkatan kualitas paten pada tahap penuntutan meningkatkan biaya hukum keseluruhan, dan bahwa kebijakan USPTO saat ini merupakan kompromi yang wajar antara uji coba penuh pada tahap pemeriksaan di satu sisi, dan pendaftaran murni tanpa pemeriksaan, di sisi lain.[20] Selain itu, AS menawarkan opsi untuk menguji keabsahan paten tanpa melalui proses peradilan, seperti pengujian pascahibah dalam jangka waktu 9 bulan setelah penerbitan, peninjauan antarpihak yang dilakukan setelah 9 bulan setelah penerbitan, pemeriksaan ulang ex parte, pemeriksaan tambahan, dan penerbitan ulang.[21] Penegakan hukum paten – khususnya paten pada barang yang sudah umum – oleh patent troll, telah menuai kritik,[6][22] meskipun beberapa komentator berpendapat bahwa patent troll tidak buruk bagi sistem paten, tetapi justru menyelaraskan insentif partisipan pasar.[23] Banyak paten di Rusia dikritik karena merupakan pseudosains (misalnya, paten terkait kesehatan yang menggunakan fase bulan atau simbol keagamaan).[24][25][26] Biaya litigasiMenurut James Bessen, biaya litigasi paten melebihi biaya investasi di semua industri selain kimia dan farmasi. Misalnya, dalam industri perangkat lunak, biaya litigasi mencapai 2 kali lipat biaya investasi.[27] Bessen dan Meurer juga mencatat bahwa litigasi model bisnis dan paten perangkat lunak menyumbang porsi yang tidak proporsional (hampir 40%) dari biaya litigasi paten, dan kinerja paten yang buruk berdampak negatif pada industri-industri ini.[5] Berbeda industri, satu hukumRichard Posner mencatat bahwa fitur yang paling kontroversial dari hukum paten AS adalah bahwa UU paten memperlakukan semua industri dengan cara yang sama, padahal tidak semua industri mendapatkan keuntungan dari monopoli terbatas-waktu yang ditetapkan UU paten demi memacu inovasi.[4] Ia mengatakan bahwa meski industri farmasi adalah "contoh nyata" dari pentingnya monopoli dagang selama 20 tahun, karena pemasarannya mahal, waktu pengembangannya yang sangat lama, dan berisiko tinggi, dalam industri lain seperti perangkat lunak, biaya dan risiko inovasi jauh lebih rendah dan siklus inovasinya lebih cepat, sehingga memperoleh dan menegakkan hak paten serta hak membela diri dari litigasi hak paten pada umumnya merupakan pemborosan sumber daya dalam industri tersebut.[4] Paten farmasiSejumlah pihak mengajukan keberatan etis terhadap paten farmasi dan mahalnya obat-obatan, sehingga sukar untuk diperoleh masyarakat miskin di negara-negara maju dan berkembang.[7][28] Para kritikus juga mempertanyakan alasan mengapa hak eksklusif mengedarkan obat itu penting sehingga perusahaan farmasi menetapkan harga mahal demi mendapatkan modal yang sangat besar untuk penelitian dan pengembangan obat baru.[7] Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa biaya pemasaran obat baru sering mencapai dua kali lipat alokasi biaya penelitian dan pengembangan.[29] Pada 2003, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyetujui untuk memberikan pilihan bagi negara berkembang untuk mendapatkan obat-obatan yang dibutuhkan melalui lisensi wajib atau mengimpor obat-obatan dengan harga murah, bahkan sebelum masa paten berakhir.[30] Pada 2007, pemerintah Brasil menyatakan obat antiretroviral efavirenz buatan Merck sebagai obat yang “diperuntukkan bagi masyarakat umum”, dan menantang Merck untuk bernegosiasi dengan pemerintah untuk memurahkan harganya atau mencabut hak paten tersebut dengan menerbitkan lisensi wajib.[31][32][33] Dilaporkan pula bahwa Ghana, Tanzania, Republik Demokratik Kongo, dan Etiopia memiliki rencana serupa untuk memproduksi obat antivirus generik. Perusahaan farmasi Barat awalnya menanggapinya dengan mengajukan gugatan hukum, tetapi sebagian perusahaan tersebut berjanji untuk memperkenalkan struktur harga alternatif bagi negara-negara berkembang dan LSM.[32][33] Pada Juli 2008, ilmuwan pemenang Nobel Sir John Sulston menyerukan perjanjian biomedis internasional untuk menyelesaikan masalah paten.[34] Menanggapi kritik, sebuah kajian menyimpulkan bahwa kurang dari 5% obat-obatan dalam daftar obat-obatan esensial WHO masih dipaten.[35] Selain itu, industri farmasi telah memberikan kontribusi sebesar US$2 miliar untuk menyediakan pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang, menyediakan obat HIV/AIDS dengan harga murah atau gratis di negara-negara tertentu, dan menetapkan harga diferensial dan impor paralel untuk menyediakan obat-obatan bagi masyarakat miskin.[35] Kelompok lain juga tengah menyelidiki bagaimana inklusi sosial dan distribusi yang adil dari hasil penelitian dan pengembangan dapat diperoleh dalam kerangka hak kekayaan intelektual yang ada, meskipun upaya-upaya ini belum banyak mendapat perhatian.[35] Mengutip laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Trevor Jones, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Litbang Wellcome Foundation berpendapat pada tahun 2006 bahwa monopoli paten tidak menciptakan harga monopoli. Ia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang diberi monopoli “menetapkan harga berdasarkan kemauan/kemampuan membayar, juga mempertimbangkan negara, penyakit, dan regulasi” alih-alih menerima persaingan dari obat generik yang dilegalkan.[32] Usulan alternatif untuk sistem patenTelah banyak diajukan alternatif untuk mengganti sistem paten, paling banyak menggunakan pendanaan pemerintah langsung atau tidak langsung. Salah satu contohnya adalah gagasan Joseph Stiglitz untuk menyediakan “dana hadiah” (yang disponsori oleh pemerintah) sebagai pengganti keuntungan yang hilang karena tidak melakukan monopoli paten.[8] Pendekatan lain adalah dengan menghilangkan masalah pendanaan pembangunan dari sektor swasta, dan menutupi biaya dengan pendanaan langsung pemerintah.[36] Lihat pulaReferensi
|