Korban jiwa: 15 orang (15 November 2019) Korban luka: 500+ (15 November 2019)
Krisis pemerintahan Bolivia 2019 (Bolivia)
Krisis pemerintahan Bolivia 2019 adalah sebuah krisis politik yang timbul dari peristiwa pengunduran diri Evo Morales dari kursi kepresidenan pada tanggal 10 November 2019.
Setelah 19 hari aksi unjuk rasa dan kerusuhan sipil akibat perselisihan hasil pemilihan umum Bolivia pada tahun 2019, militer dan polisi Bolivia menyerukan pengunduran diri presiden Evo Morales. Morales mengundurkan diri pada hari yang sama, dan setelah beberapa pengunduran diri lain oleh politisi tingkat tinggi, beberapa pengamat mengungkapkan kekhawatiran akan keselamatan keluarga mereka. Wakil presiden kedua Senat dan senator oposisi Jeanine Áñez, mengambil alih sementara jabatan sebagai presiden pada 12 November. Morales meminta pendukungnya untuk menolak kepemimpinan Jeanine Áñez. Pada 11 November 2019, Menteri Luar Negeri Meksiko Marcelo Ebrard menawarkan Suaka politik kepada Morales, yang diterimanya pada hari berikutnya sebelum naik pesawat Angkatan Udara Meksiko ke Meksiko.[3]
Penyebutan istilah "kudeta" dan "revolusi" untuk peristiwa tersebut masih diperdebatkan, dimana beberapa akademis tidak setuju dengan penggunaan kedua istilah ini. Para akademisi mendesak masyarakat untuk mengenali kompleksitas suatu peristiwa alih-alih menyebarkan retorika yang bisa memecah belah masyarakat.[4]
Pada 20 Oktober 2019, pemungutan suara Pemilu putaran pertama untuk semua posisi pemerintahan dilaksanakan. Majelis Pemilihan Agung merilis dua set penghitungan tak lama setelah pemungutan suara ditutup. Pertama adalah exit poll yang memverifikasi 95,6% suara yang menunjukkan petahana Evo Morales memiliki 9,33% lebih besar dari pihak oposisi, Carlos Mesa. Selisih suara kurang dari 10% mengindikasikan bahwa pemilu harus dilanjutkan ke putaran kedua. Hitungan lengkap kemudian muncul sebagai hasil sementara di situs web secara real-time. Dengan angka surat suara yang masuk mencapai 83,8%, situs web itu menunjukkan Morales unggul 45,3% dan Mesa 38,2%; Hal ini juga mencerminkan keunggulan kurang dari 10%. Namun, tidak ada pembaruan lebih lanjut untuk hasil awal yang dilakukan setelah pukul 19.40 waktu setempat. Otoritas pemilihan Bolivia menjelaskan bahwa hasil pada penghitungan sementara dihentikan karena hasil resmi mulai dirilis; namun demikian, tidak ada hasil resmi yang diterbitkan dini hari.[5]
Pada tanggal 21 Oktober 2019, sebuah konferensi pers dari Organisasi Pemilu Plurinasional diadakan, yang mempublikasikan data penghitungan cepat dari sistem Transmisión de Resultados Electorales Preliminares (TREP, "Transmisi Hasil Pemilihan Umum Awal"), diterbitkan pada 19.30 waktu setempat, hampir sehari setelah penghitungan hasil sebelumnya dihentikan,[6] menunjukkan dengan suara yang masuk mencapai 95,30%, Morales memperoleh 46,86% suara dibandingkan 36,72% dari Carlos Mesa, melampaui batas minimal 10% yang diperlukan untuk menghindari putaran kedua.
Pada tanggal 6 November, pihak oposisi Bolivia menerbitkan laporan sebanyak 190 halaman yang berisi tuduhan kecurangan, termasuk penyimpangan seperti penambahan tindakan petugas pemilihan, penyimpangan data pemilih dan tindak kecurangan di mana partai yang berkuasa memperoleh lebih banyak suara daripada pemilih terdaftar, dan mengirimkannya ke organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.[7]
Selama demonstrasi, pasukan polisi bergabung dengan demonstran anti-pemerintah dan militer menyatakan tidak akan "menghadapi orang-orang demonstran" atas masalah ini.[8] Militer juga mengatakan akan melakukan operasi untuk "menetralisir" setiap kelompok bersenjata yang menyerang para demonstran.[2]
Pada aksi ini terjadi serangan terhadap pejabat senior pemerintah selama demonstrasi, termasuk pembakaran rumah dan setidaknya satu penculikan terhadap politisi.[9][10][11][12][13][14]
Kronologi
10 November
Hasil audit OAS
Pada 10 November, OAS menerbitkan laporan hasil audit yang dilakukan selama pemilihan umum. Laporan itu berisi tuduhan penyimpangan pelaksanaan pemilu. OAS menambahkan bahwa secara statistik tidak mungkin bahwa Morales telah mengamankan margin 10 persen, Syarat seorang capres yang diperlukan untuk menang, OAS menanggap bahwa hasil pemilu tersebut harus dibatalkan setelah menemukan "manipulasi yang jelas" dari sistem pemungutan suara yang mempertanyakan kemenangan Morales dan bahwa “Manipulasi terhadap sistem komputer" sedemikian besarnya sehingga harus diselidiki secara mendalam oleh Pemerintah Bolivia dan menetapkan tanggung jawab atas kasus serius ini.[2][8] Sebuah analisis oleh Pusat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan (CEPC) membantah temuan OAS dan mengkritik "politisasi proses pengamatan pemilu".[15]
Desakan militer dan pengunduran diri Morales
Pada hari yang sama, Jenderal Williams Kaliman meminta Morales untuk mengundurkan diri untuk "membantu memulihkan perdamaian dan stabilitas" setelah berminggu-minggu protes atas pemungutan suara, menambahkan bahwa militer menyerukan kepada rakyat Bolivia untuk menahan diri dari kekerasan dan kekacauan.[8] Dalam siaran pers, militer menyebutkan pasal 20 huruf b. UU No.1405,[16] yang isinya sebagai berikut:
Pasal 20. - Tugas dan tanggung jawab komando tinggi militer adalah: [...] b. Untuk menganalisis situasi-situasi yang bermasalah di dalam dan di luar negeri untuk memberi saran kepada siapapun itu terkait dengan solusi yang tepat.
Setelah pernyataan Kaliman, Morales lepas landas dari pesawat kepresidenan dari Bandara Internasional El Alto dan berbicara di televisi setelah mengumumkan pengunduran dirinya langsung dari lokasi yang dirahasiakan, menyatakan bahwa ia mengundurkan diri untuk "melindungi keluarga" anggota Gerakan untuk Sosialisme.[17]
Dia mengakhiri pernyataan ini dengan menyatakan bahwa dia percaya Carlos Mesa telah "mencapai tujuannya" dan meminta para demonstran untuk "Hentikan menyerang saudara-saudara kita, berhenti membakar dan menyerang".[18][19][20]
Pasca-mundurnya Morales
Setelah Morales mundur, Wakil Presiden Álvaro García Linera, juga mengundurkan diri. Tak lama kemudian, dilaporkan bahwa Morales berada di pesawat ke Argentina;[21] Namun, menteri luar negeri Argentina, Jorge Faurie, mengatakan bahwa Argentina tidak akan memberinya suaka politik.[22] Komandan Yuri Calderón meyakinkan bahwa tidak ada surat perintah penangkapan Morales, meskipun orang-orang bersenjata telah memasuki rumahnya.[23]
Kemudian pada hari itu, Presiden SenatAdriana Salvatierra, Pimpinan DPR Bolivia Victor Borda, dan Wakil Presiden Pertama Senat Rubén Medinaceli, juga mengundurkan diri.[24] Dua puluh politisi Bolivia diyakini mencari suaka di Meksiko dan telah pindah ke kedubes Bolivia di Mexico City pada akhir hari itu.[25]
Kemudian pada 10 November, BBC Mundo menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan bahwa ada lima alasan utama yang memaksa Morales mengundurkan diri: hasil audit, oposisi dari militer dan polisi, protes yang sedang berlangsung, radikalisasi yang semakin kuat dari oposisi politik, dan ketidaksukaan publik terhadap pemiliu ulang yang berkelanjutan.[26]
Penangkapan anggota komisi pemilihan
Pada pukul 20.20 malam waktu setempat, Associated Press melaporkan bahwa polisi Bolivia yang dipimpin oleh Komandan Calderón telah menangkap 38 anggota Organisasi Pemilu Plurinasional, termasuk mantan presiden, Maria Eugenia Choque, dan wakil presiden. Menurut seorang komandan polisi, Choque ditangkap ketika menyamar sebagai seorang pria.[23] Lebih banyak anggota ditangkap pada hari Senin, dengan surat perintah penangkapan untuk semua pejabat pemilihan di negara tersebut.
Pengambilalihan tugas kepresidenan
Pada malam hari tanggal 10 November, Jeanine Áñez, wakil presiden kedua Senat dan pejabat tertinggi yang tersisa dalam garis suksesi, mengumumkan bahwa dia akan menjadi presiden untuk sementara waktu mulai 11 November dan seterusnya, dengan tanggung jawab untuk mengadakan pemilu baru. Dia menyatakan bahwa dia akan mengambil alih jabatan begitu Senat secara resmi mengakui pengunduran diri hari sebelumnya. Setelah pelantikan, Áñez secara resmi akan menjadi Presiden Bolivia.[27][28]
Konstitusi Bolivia tidak membuat ketentuan khusus untuk proses seorang Senator yang menjadi presiden; Akan tetapi pasal 169 mengatakan bahwa "Dalam hal hambatan atau ketidakhadiran Presiden, dia akan digantikan oleh Wakil Presiden dan, jika tidak ada, oleh Presiden Senat, dan dalam ketidakhadiran ini oleh Presiden Presiden Kamar Deputi. Dalam kasus terakhir, pemilihan baru akan dilakukan dalam jangka waktu maksimum sembilan puluh hari." Hal itu juga menetapkan garis suksesi.[29]
Keesokan harinya, Áñez tiba di Bandara Internasional El Alto dan dibawa dengan helikopter militer ke pangkalan Angkatan Udara terdekat; dari sini dia bepergian dalam konvoi ke Senat.[30]
Áñez mendeklarasikan dirinya sebagai penjabat presiden Bolivia berdasarkan putusan mahkamah konstitusi negara itu, karena ia adalah politisi berpangkat tertinggi dalam garis suksesi setelah pengunduran diri. Namun, dia tidak secara resmi dikonfirmasi sebagai Presiden oleh majelis nasional Bolivia, sebagai wakil MAS-IPSP yang pro-Morales, yang memegang mayoritas kursi, memboikot sidang ini, menyatakan bahwa mereka menolak untuk mengakui Áñez sebagai presiden setelah Morales menjuluki kepemimpinannya "tidak sah".[31][32][33]
11 November
Kicauan Morales di Twitter
Pada 11 November, Evo Morales, untuk pertama kalinya sebagai mantan presiden, berucap di Twitter mengatakan "saya bukan sebagai mantan presiden, tetapi sebagai manusia, meminta pekerja kesehatan dan pegawai pendidikan untuk kembali memberikan layanan kepada masyarakat setelah beberapa hari terjadi pemogokan dan di luar pertimbangan politik, misi mereka adalah untuk menjaga masyarakat dengan kehangatan dan solidaritas". Setelah kicauan itu, tidak ada komentar lebih lanjut tentang situasi ini.[34]
Reaksi masyarakat
Sebagai akibat dari keputusan Morales untuk mengundurkan diri, warga Bolivia turun ke jalanan ibu kota La Paz untuk merayakan pesta kembang api, melambaikan Bendera Bolivia serta ada sekelompok orang yang menurunkan bendera Whipala, yang merupakan simbol representasi Pribumi yang merupakan pendukung Morales. Perayaan ini juga terjadi di kota Santa Cruz.[35]
Sementara itu, Ratusan pendukung Morales berjalan menuju pusat La Paz dari gunung-gunung di sekitar kota, beberapa diantara mereka bersenjatakan tongkat, meneriakkan "Ayo silahkan, perang sipil". Polisi mengatakan kelompok bersenjata itu merusak kantor polisi, menyebabkan kepanikan di beberapa lingkungan tempat dimana orang memblokir pintu mereka dengan mebel untuk melindungi toko dan rumah. Setelah menerima bantuan dari kepolisian dan politisi sipil, angkatan bersenjata mengumumkan malam itu bahwa mereka akan melakukan mobilisasi untuk mempertahankan layanan gas, air dan listrik di sekitar ibukota. Menurut polisi, satuan tentara dan polisi juga akan memulai patroli bersama di sekitar kota La Paz.[36]
Pemadaman listrik
Karena alasan yang tidak diketahui, pasokan air minum ke beberapa bagian di kota La Paz dan El Alto, dua kota besar di Bolivia, terputus.[37]
12 November
Pada 12 November Morales meninggalkan Bolivia dengan pesawat menuju Meksiko, setelah menerima suaka politik yang ditawarkan oleh Presiden Obrador.[38] Mantan wakil presiden Álvaro García Linera juga meninggalkan negara itu.[39]
Presiden sementara Jeanine Áñez meminta agar segera menyelenggarakan sidang luar biasa Majelis Legislatif Plurinasional untuk meratifikasi pengunduran diri Morales dan pejabat lainnya. Áñez memanggil semua Deputi dan Senator untuk berpartisipasi, termasuk yang dari Gerakan untuk Sosialisme.[40]
Pada 13 November, Pemerintah Amerika Serikat mengakui Jeanine Áñez sebagai penjabat sementara presiden Bolivia. Keputusan ini mendapat penolakan dari mantan presiden Evo Morales beserta pendukungnya.[43][44]
Aktivitas setelah dilantik jadi presiden
Karen Longaric, yang diangkat sebagai menteri luar negeri oleh Jeanine Áñez, mengumumkan keluarnya negara itu dari keanggotaan ALBA (Aliansi Bolivaria untuk Bangsa-Bangsa Amerika Kami) dan memutus hubungan diplomatik dengan pemerintahan rezim Maduro di Venezuela,[45][46] serta mengakui Juan Guaidó sebagai presiden sementara Venezuela dalam krisis kepresidenan Venezuela 2019.[47]
Menteri luar negeri sementara itu mengusir 725 warga negara Kuba, sebagian besar dokter, setelah ia menyampaikan kekhawatiran tentang dugaan keterlibatan mereka dalam aksi protes.[45][48] Sembilan orang Venezuela dengan sepatu bot dan lencana Polisi Nasional Venezuela dan kartu identifikasi dari Partai Sosialis Venezuela (PSUV) ditangkap di Guayaramerín; pihak berwenang menyatakan bahwa mereka menemukan dua microchip ketika menggeledah orang-orang yang berisi foto-foto tahanan disertai dengan orang-orang yang bersenjata. Setelah penangkapan dan penemuan microchip, pemerintah sementara mencurigai para pria itu berpartisipasi dalam aksi kekerasan di negara itu, khususnya dua kota di Bolivia, dan memindahkan orang-orang itu ke Pasukan Pemberantasan tindak Kejahatan Khusus Bolivia untuk melakukan penyelidikan awal dan melanjutkan ke tahap persidangan sesuai UU yang berlaku di Bolivia.[49]
Longaric juga mengumumkan bahwa pemerintah sementara sedang mempertimbangkan untuk keluar dari Uni Negara Amerika Selatan (UNASUR).[45]
Pada 15 November, Áñez menyatakan bahwa untuk mengembalikan kepercayaan pada proses pemilu, pertama-tama akan diadakan pemilihan untuk memilih Komisi Pemilihan Umum yang baru, sebelum melaksanakan Pemilihan presiden.[50]
Áñez mengumumkan pada 16 November bahwa militer akan dibebaskan dari tanggung jawab pidana apa pun ketika bertindak dalam rangka "memenuhi fungsi konstitusional mereka, bertindak dalam pertahanan diri atau dalam keadaan darurat."[51][52]
Pada 18 November, Menteri dalam negeri sementara Bolivia Arturo Murillo mengancam akan menangkap legislator MAS, yang menolak untuk mengakui legitimasi Añez, karena "Subversi." Dia juga memperingatkan wartawan yang meliput aksi protes untuk "tidak melakukan penghasutan."[53]
Presiden Senat dan pemimpin MAS Mónica Eva Copa pada 20 November menginstruksikan legislator MAS di Majelis Legislatif Plurinasional untuk membatalkan pemungutan suara yang direncanakan untuk menolak pengunduran diri Morales. Dia kemudian mengumumkan bahwa undang-undang akan disahkan untuk membatalkan hasil pemilu 20 Oktober dan melakukan pemilu baru sesegera mungkin.
[54]
Beberapa pemimpin negara lain berbeda pendapat mengenai apakah yang terjadi di Bolivia itu kudeta atau tidak namun beberapa organisasi internasional meminta stabilitas terjaga di Bolivia.
Organisasi supranasional
Perserikatan Bangsa-Bangsa - Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyatakan keprihatinan atas situasi tersebut dan mendesak para pihak untuk "menahan diri dari kekerasan" dan melakukan "pengendalian secara maksimum".[57]
Uni Eropa - Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini mengatakan, negara-negara Uni Eropa mengharapkan pemilihan presiden sementara Bolivia, yang dijalankan secara kredibel dalam waktu dekat. Tetapi ia juga menekankan pentingnya menghindari segala bentuk kekerasan dari pihak mana pun.[57][58]
Negara
Amerika Serikat – Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menuturkan, pihaknya terus memantau situasi di Bolivia pasca mundurnya Evo Morales dari kursi presiden negara itu. AS, papar pejabat itu, berharap sipil masih memegang kekuasaan di Bolivia.[59]
Argentina – Pemerintah petahana Argentina yang sedang menjabat menyerukan "semua pihak untuk berbicara dalam rangka memulihkan perdamaian".[60]
Presiden yang sedang menjabat Mauricio Macri mengatakan bahwa pemilu baru akan membantu Bolivia menemukan jalan keluar mengatasi krisis yang damai.[61]
Anggota Juntos por el Cambio, koalisi politik yang saat ini memerintah negara itu, sangat berbeda dalam tanggapan mereka, yang beranggapan dari penolakan kudeta hingga pembenaran atas intervensi pasukan keamanan.[62][63]
Brasil – Presiden Jair Bolsonaro menyebut situasi itu sebagai "pelajaran bagi semua orang" dan "kemenangan untuk demokrasi".[65]
Mantan Presiden dan pemimpin oposisi Luiz Inácio Lula da Silva mengutuk pernyataan Presiden Brasil itu, menyebut situasi itu sebagai 'kudeta' dan menyatakan bahwa "sangat disesalkan bahwa Amerika Latin memiliki elit yang tidak tahu bagaimana hidup dengan demokrasi dan inklusi sosial dari yang termiskin".[66]
Mantan Presiden Dilma Rousseff menyatakan solidaritas untuk "Presiden sah" Morales dan menyebut krisis itu kudeta militer dan serangan hebat terhadap demokrasi Amerika Latin.[67]
Chili - Pemerintah Chili menyatakan keprihatinannya atas "proses pemilihan yang terputus" dan menyerukan "solusi damai dan demokratis yang cepat dalam kerangka kerja konstitusi".[57]
Iran - Kementerian Luar Negeri Iran mengutuk "kudeta di Bolivia dan pergantian pemerintahan tanpa dasar hukum". Kementerian Luar Negeri juga menuduh Amerika Serikat mencampuri urusan dalam negeri Bolivia.[68]
Kanada - Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland membuat pernyataan bahwa Kanada meminta aktor politik dan sosial Bolivia untuk "menahan diri dan menghindari kekerasan dan konfrontasi".[69]
Kolombia – Kementerian luar negeri Kolombia mengeluarkan pernyataan yang menyerukan "mobilisasi komunitas internasional untuk proses transisi yang damai".[57]
Nikaragua – Pemerintah Nikaragua dengan keras mengutuk situasi dan menggambarkannya sebagai kudeta terhadap Morales, yang menyatakan bahwa Nikaragua menolak "praktik fasis yang mengabaikan konstitusi, undang-undang, dan institusionalisme yang mengatur kehidupan demokrasi negara".[71]
Perancis – Di hadapan Majelis Nasional Prancis, Amélie de Montchalin meminta "panggilan untuk tenang dan menahan diri pada semua otoritas transisi." dan mengatakan bahwa "hanya ada satu solusi: untuk mengatur secepat mungkin suatu proses demokrasi yang menciptakan kembali kepercayaan pada demokrasi ini yang harus kita lindungi, Kami ingin itu berdiri secepat mungkin. mengharapkan Uni Eropa untuk mengirim para ahli di lapangan, tentu saja kita harus berhenti berkonfrontasi antara berbagai komponen masyarakat Bolivia, Kami tidak menerima demonstrasi berakhir dengan kekerasan, kami berusaha untuk melindungi demokrasi di negara di mana pemilihan umum harus diadakan."[73]
Peru – Pemerintah Peru menyerukan "transisi ke perdamaian" dan pemilu baru di Bolivia.[74]
Republik Rakyat Tiongkok – Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Geng Shuang menyerukan dialog antara kedua pihak, agar mereka "menyelesaikan perbedaan mereka secara damai dalam kerangka kerja dan konstitusi dan undang-undang", menambahkan bahwa Tiongkok berharap Bolivia dapat "memulihkan stabilitas sosial segera mungkin".[75]
Rusia – Kementerian Luar Negeri Rusia mendesak semua kekuatan politik untuk "menunjukkan akal sehat" dan menuduh oposisi Bolivia "melepaskan gelombang kekerasan baru" di negara itu, menyebut peristiwa itu "kudeta yang terorganisir".[76]
Portugal – Majelis Republik Portugal mengeluarkan resolusi yang menyatakan keprihatinan tentang situasi politik di Bolivia, dan menyerukan pemulihan "normalitas demokratis". Resolusi yang mengutuk atau memaafkan pengunduran diri Morales ditolak.[77][78]
Spanyol – Spanyol mengkritik peran polisi dan tentara Bolivia dalam pengunduran diri Morales, menyebutnya sebagai "intervensi" ilegal, yang menandai "kembalinya momen kelam dalam sejarah Amerika Latin di masa lalu". Lebih lanjut Spanyol mendesak banyak pihak untuk "mengatasi kekosongan kelembagaan" dan memastikan keamanan semua warga negara, perwakilan media, masyarakat sipil, serta Morales, kerabatnya dan anggota pemerintahannya.[79][80]
^[www.dw.com/en/bolivia-cuts-ties-with-venezuela-orders-cuban-doctors-to-leave/a-51273518 "Bolivia cuts ties with Venezuela, orders Cuban doctors to leave"] Periksa nilai |url= (bantuan) (dalam bahasa Inggris). Deutsche Welle. 15 November 2019. Diakses tanggal 17 November 2019.