1-2 dari 100.000 orang per tahun (kejadian di negara Barat)
Kolangiokarsinoma atau dikenal sebagai kanker saluran empedu adalah jenis kanker yang terbentuk di saluran empedu.[1] Beberapa gejala yang timbul pada pengidap kolangiokarsinoma antara lain sakit perut, kulit kekuningan, penurunan berat badan, rasa gatal, dan demam.[2] Perubahan warna tinja menjadi lebih terang atau urin menjadi lebih gelap juga dapat terjadi.[3] Kanker saluran empedu lainnya yaitu kanker kandung empedu dan kanker ampula vater.[4]
Faktor risiko untuk kolangiokarsinoma antara lain adalah primary sclerosing cholangitis (penyakit radang saluran empedu), kolitis ulseratif, sirosis, hepatitis C, hepatitis B, infeksi cacing hati tertentu, dan beberapa malformasi hati kongenital.[2][5][6] Namun, kebanyakan orang tidak memiliki faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Diagnosis dicurigai berdasarkan kombinasi tes darah, pencitraan medis, endoskopi, dan terkadang melalui tindakan bedah. Untuk mengonfirmasi penyakit ini dilakukan pemeriksaan sel tumor menggunakan mikroskop.[3] Kolangiokarsinoma biasanya merupakan adenokarsinoma (kanker yang membentuk kelenjar atau mengeluarkan musin).[5]
Setelah didiagnosis, kolangiokarsinoma biasanya tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu, deteksi dini sangat diperlukan.[2][7]Dalam kasus ini, perawatan paliatif yang dapat dilakukan antara lain adalah tindakan bedah, kemoterapi, terapi radiasi, dan prosedur pemasangan stent.[2] Pada sekitar sepertiga kasus yang melibatkan saluran empedu dan lebih jarang dengan lokasi lain, tumor dapat diangkat sepenuhnya melalui tindakan pembedahan yang memberikan kesempatan untuk sembuh.[2] Bahkan ketika operasi pengangkatan berhasil, kemoterapi dan terapi radiasi umumnya akan tetap direkomendasikan sebagai terapi tambahan.[2]Dalam kasus tertentu, tindakan operasi termasuk transplantasi hati dapat dilakukan.[5] Namun, ketika operasi berhasil, kelangsungan hidup 5 tahun biasanya kurang dari 50%.[8]
Kolangiokarsinoma jarang terjadi di negara Barat, dengan perkiraan kejadian 0,5-2 dari 100.000 orang per tahun.[2][8]Kolangiokarsinoma lebih banyak diidap oleh masyarakat di Asia Tenggara di mana banyak terjadi kasus infeksi oleh cacing hati.[9] Di Thailand, tingkat kejadian kolangiokarsinoma adalah 60 dari 100.000 orang per tahun.[9]Kanker ini biasanya terjadi pada orang berusia 70-an. Namun, pada orang yang mengidap penyakit radang saluran empedu (primary sclerosing cholangitis), peluang kemungkinan munculnya kanker ini terjadi lebih awal yaitu pada usia 40-an. Tingkat kejadian kolangiokarsinoma di negara Barat telah mengalami peningkatan.
Tanda dan gejala
Indikasi paling umum yang ditemukan pada penderita kolangiokarsinoma adalah abnormalitas pada hasil tes fungsi hati, penyakit kuning (mata dan kulit menguning terjadi ketika saluran empedu tersumbat oleh tumor), sakit perut (30-50%), gatal-gatal (66%), penurunan berat badan ( 30–50%), demam (hingga 20%), dan perubahan warna tinja atau urin.[10] Gejala yang timbul bergantung pada lokasi tumor. Penderita kolangiokarsinoma di saluran empedu ekstrahepatik (di luar hati) lebih mungkin mengalami penyakit kuning, sedangkan penderita kolangiokarsinoma yang tumornya tumbuh pada saluran empedu di dalam hati lebih sering mengalami nyeri tanpa adanya penyakit kuning.[11]
Tes fungsi hati pada orang dengan kolangiokarsinoma sering menunjukkan apa yang disebut "gambaran obstruktif", dengan peningkatan kadar bilirubin, alkalin fosfatase, dan gama glutamil transferase, dan kadar transaminase yang relatif normal. Temuan laboratorium tersebut menunjukkan terjadinya obstruksi saluran empedu sebagai penyebab utama penyakit kuning bukan peradangan atau infeksi parenkim hati.[12][13]
Faktor risiko
Meskipun kebanyakan pengidap tidak memiliki faktor risiko, sejumlah faktor risiko untuk perkembangan kolangiokarsinoma dapat dideskripsikan. Di negara Barat, faktor risiko yang paling umum adalah primary sclerosing cholangitis (PSC), penyakit radang saluran empedu yang terkait erat dengan kolitis ulseratif (UC).[14] Studi epidemiologis menyebutkan bahwa seseorang yang mengidap primary sclerosing cholangitis (PSC) akan lebih berisiko sebesar 10-15% untuk terkena kolangiokarsinoma.[15][16][17] Meskipun, dari suatu seri otopsi telah menemukan risiko yang lebih tinggi yaitu sebesar 30% pada penderita primary sclerosing cholangitis (PSC) untuk terkena kolangiokarsinoma.[18]
Penyakit hati yang disebabkan oleh parasit tertentu dapat juga menjadi faktor risiko dari kolangiokarsinoma. Kolonisasi dengan cacing hatiOpisthorchis viverrine (ditemukan di Thailand, Laos, dan Vietnam)[19][20] atau Clonorchis sinensis (ditemukan di Cina, Taiwan, Rusia Timur, Korea, dan Vietnam)[21][22] telah dikaitkan dengan perkembangan kolangiokarsinoma. Program pengendalian (Integrated Opisthorchiasis Control Program) yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi makanan mentah dan setengah matang telah berhasil menurunkan angka kejadian kolangiokarsinoma di beberapa negara.[23] Orang dengan penyakit hati kronis, baik berupa hepatitis akibat virus (misalnya hepatitis B atau hepatitis C),[24][25][26] penyakit hati pada alkoholik, atau sirosis hati, secara signifikan meningkatkan risiko kolangiokarsinoma.[27][28] Infeksi HIV juga teridentifikasi dalam satu penelitian sebagai faktor risiko potensial untuk kolangiokarsinoma, meskipun tidak jelas apakah penyebab utamanya adalah HIV itu sendiri atau terdapat faktor lain yang berkorelasi (misalnya infeksi hepatitis C).
Infeksi bakteri Helicobacter bilis dan Helicobacter hepaticus dapat menyebabkan kanker saluran empedu.[29] Abnormalitas bawaan pada hati, seperti penyakit Caroli (tipe spesifik dari lima kista koledokus yang dikenali), telah dikaitkan sebagai faktor risiko dari kolangiokarsinoma sebesar 15%.[30][31] Kelainan bawaan langka sindrom Lynch II dan biliary papillomatosis juga telah ditemukan terkait dengan kolangiokarsinoma.[32][33] Adanya batu empedu (cholelithiasis) tidak jelas kaitannya dengan kolangiokarsinoma. Namun, penyakit batu intrahepatik (disebut hepatolitiasis), yang tidak umum terjadi di negara Barat tetapi umum di beberapa bagian Asia, sangat terkait dengan kolangiokarsinoma.[34][35][36] Paparan Thorotrast, suatu bentuk thorium dioksida yang digunakan sebagai media kontras radiologis, telah dikaitkan dengan perkembangan kolangiokarsinoma hingga 30-40 tahun setelah paparan. Thorotrast dilarang di Amerika Serikat pada 1950-an karena karsinogenisitasnya.[37][38]
Patofisiologi
Kolangiokarsinoma dapat mempengaruhi area di saluran empedu, baik di dalam maupun di luar hati. Tumor yang terjadi di saluran empedu di dalam hati disebut sebagai intrahepatik, sementara yang terjadi di saluran di luar hati adalah ekstrahepatik, dan tumor yang terjadi di tempat keluarnya saluran empedu dari hati dapat disebut sebagai perihilar. Kolangiokarsinoma yang terjadi pada pertemuan di mana duktus hepatik bagian kiri dan kanan bertemu untuk membentuk duktus hepatikus dapat disebut sebagai tumor Klatskin.[39]
Meskipun kolangiokarsinoma diketahui memiliki gambaran histologis dan molekuler dari adenokarsinomasel epitel yang melapisi saluran empedu, asal sel sebenarnya tidak diketahui. Bukti terbaru menunjukkan bahwa sel transformasi awal yang menghasilkan tumor primer mungkin muncul dari sel punca pluripoten hepatik.[40][41][42] Kolangiokarsinoma diperkirakan berkembang melalui serangkaian tahap dari hiperplasia dan metaplasia dini, melalui displasia, hingga perkembangan karsinoma yang nyata dalam proses yang serupa dengan yang terlihat pada perkembangan kanker usus besar.[43] Peradangan kronis dan obstruksi saluran empedu, dan aliran empedu yang terganggu, dianggap berperan dalam perkembangan kolangiokarsinoma.[43][44][45]
Secara histologis, kolangiokarsinoma dapat bervariasi mulai dari tidak berdiferensiasi hingga berdiferensiasi dengan baik. Sel-sel kanker tersebut sering dikelilingi oleh respons jaringan fibrotik atau desmoplastik yang cepat dengan adanya fibrosis yang luas sehingga akan sulit untuk membedakan kolangiokarsinoma yang berdiferensiasi dengan baik dari epitel normal. Tidak ada pewarnaan imunohistokimia yang sepenuhnya spesifik yang dapat membedakan jaringan ganas pada kantong empedu dari jaringan jinak pada kantong empedu. Namun, pewarnaan untuk sitokeratin, antigen karsinoembrionik, dan musin dapat membantu dalam diagnosis.[46] Sebagian besar tumor yang terbentuk (>90%) adalah adenokarsinoma.[47]
Diagnosis
Tes darah
Tidak ada tes darah khusus yang dapat dilakukan mendiagnosis kolangiokarsinoma. Pada kondisi kolangiokarsinoma, kadar serum antigen karsinoembrionik (CEA) dan CA19-9 sering kali mengalami peningkatan, tetapi hal tersebut tidak cukup sensitif atau spesifik untuk digunakan sebagai alat skrining umum. Namun, penentuan kadar serum antigen karsinoembrionik (CEA) dan CA19-9 dapat berguna pada metode pencitraan dalam mendukung diagnosis kolangiokarsinoma.[48][49]
Pencitraan abdominal
Ultrasonografi pada hati dan saluran empedu sering digunakan sebagai pencitraan awal pada orang dengan dugaan obstruktif penyakit kuning (jaundis).[50] Ultrasonografi dapat mengidentifikasi obstruksi dan dilatasi saluran dan dalam beberapa kasus, cukup untuk mendiagnosis kolangiokarsinoma.[51]Pemindaian tomografi terkomputasi (CT Scan) juga memainkan peran penting dalam proses diagnosis kolangiokarsinoma.[52][53]
Pencitraan saluran empedu
Meskipun pencitraan abdominal dapat berguna dalam diagnosis kolangiokarsinoma, pencitraan langsung dari saluran empedu sering kali tetap diperlukan. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP), prosedur endoskopi yang dilakukan oleh gastroenterolog atau dokter bedah yang terlatih khusus, telah banyak dilakukan. Meskipun ERCP adalah prosedur invasif dengan risiko yang menyertainya, keuntungannya adalah mencakup kemampuan untuk mendapatkan biopsi dan memasang stent atau melakukan intervensi lain untuk meredakan obstruksi saluran empedu.[54]Ultrasonografi endoskopi juga dapat dilakukan pada saat ERCP dan dapat meningkatkan keakuratan biopsi dan menghasilkan informasi tentang invasi dan kelayakan kelenjar getah bening untuk dapat dibedah atau tidak.[55] Sebagai alternatif untuk ERCP, percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) dapat dilakukan. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) adalah alternatif noninvasif untuk ERCP.[56][57] Terdapat penulis yang menyarankan bahwa MRCP harus menggantikan ERCP dalam diagnosis kankersaluran empedu karena dapat lebih akurat menentukan tumor dan menghindari risiko daripada ERCP.[58]
Pembedahan
Eksplorasi bedah mungkin diperlukan untuk mendapatkan biopsi yang sesuai dan untuk menentukan stadium seseorang dengan kolangiokarsinoma secara akurat. Laparoskopi dapat digunakan untuk tujuan penentuan stadium dan dapat menghindari kebutuhan akan prosedur bedah yang lebih invasif, seperti laparotomi, pada beberapa orang.[59]
Patologi
Secara histologis, kolangiokarsinoma secara klasik adalah adenokarsinoma yang berdiferensiasi baik hingga sedang. Imunohistokimia berguna dalam diagnosis dan dapat digunakan untuk membantu membedakan kolangiokarsinoma dari karsinoma hepatoseluler dan metastasistumor gastrointestinal lainnya.[60] Kuretase sitologi yang sering kali dilakukan terkadang tidak dapat mendiagnosis[61] karena tumor ini biasanya memiliki stroma desmoplastik yang tidak melepaskan sel tumor diagnostik melalui proses pengkuretan.
Penentuan stadium
Meskipun setidaknya ada tiga sistem penentuan stadium untuk kolangiokarsinoma (misalnya Bismuth, Blumgart, dan American Joint Committee on Cancer), tidak ada yang terbukti berguna dalam memprediksi kelangsungan hidup.[62] Masalah penentuan stadium yang paling penting adalah apakah tumor dapat diangkat melalui pembedahan atau apakah terlalu dini untuk melakukan pembedahan pada tumor. Seringkali, penentuan ini hanya dapat dilakukan pada saat pembedahan berlangsung.[54]
Tidak adanya invasi langsung ke organ yang berdekatan
Tidak adanya penyebaran metastatis penyakit
Pengobatan
Kolangiokarsinoma dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan bersifat letal kecuali semua tumor dapat sepenuhnya direseksi (diangkat melalui pembedahan). Dalam beberapa kasus, kemampuan tumor untuk dapat dibedah hanya dapat diketahui selama pembedahan berlangsung,[65] mayoritas penderita akan menjalani eksplorasi pembedahan kecuali terdapat indikasi yang jelas bahwa terhadap tumor tidak dapat dilakukan pembedahan.[54] Namun, Mayo Clinic telah melaporkan keberhasilan yang signifikan dalam mengobati kankersaluran empedu dini dengan transplantasihati menggunakan pendekatan protokol dan kriteria seleksi yang ketat.[66]Terapi adjuvan diikuti dengan transplantasi hati dapat memiliki peran tertentu dalam pengobatan terhadap tumor yang tidak dapat dibedah pada beberapa kasus tertentu.[67] Terapi lokoregional termasuk kemoembolisasi transarterial (TACE), radioembolisasi transarterial (TARE), dan terapi ablasi memiliki peran dalam varian intrahepatik kolangiokarsinoma untuk memberikan perawatan paliatif atau penyembuhan potensial pada penderita kolangiokarsinoma yang bukan kandidat layak untuk dibedah.[68]
Kemoterapi adjuvan dan terapi radiasi
Jika tumor dapat diangkat melalui pembedahan, penderita akan menerima kemoterapiadjuvan atau terapi radiasi setelah operasi untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Jika margin jaringan negatif (yaitu tumor telah dieksisi total), kemoterapi adjuvan tidak dapat dipasti manfaatnya. Hasil positif[69] dan negatif[11][70][71] dari terapi radiasi adjuvan telah dilaporkan dan tidak ada uji coba terkontrol acak prospektif yang telah dilakukan pada Maret 2007. Kemoterapi adjuvan tampaknya tidak efektif pada orang dengan tumor yang direseksi total.[72] Peran kemoradioterapi kombinasi dalam pengobatan terhadap kolangiokarsinoma masih belum jelas. Namun, jika margin jaringan tumor positif, menunjukkan bahwa tumor tidak sepenuhnya diangkat melalui pembedahan, maka terapi adjuvan dengan radiasi dan kemungkinan kemoterapi umumnya direkomendasikan berdasarkan data yang tersedia.
Pengobatan penyakit lebih lanjut
Mayoritas kasus pada kolangikarsinoma bersifat tidak dapat dilakukan pembedahan (tidak dapat dioperasi).[73] Dalam hal ini, penderita umumnya diobati dengan kemoterapipaliatif, dengan atau tanpa radioterapi. Kemoterapi telah ditunjukkan dalam uji coba terkontrol secara acak untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup pada orang dengan kolangiokarsinoma yang tidak dapat dibedah.[74] Tidak ada panduan kemoterapi tunggal yang digunakan secara universal, dan pendaftaran dalam uji klinis sering direkomendasikan bila memungkinkan. Agen kemoterapi yang digunakan untuk mengobati kolangiokarsinoma termasuk 5-fluorourasil dengan leucovorin,[75]gemsitabin sebagai agen tunggal,[76] atau gemsitabin dan cisplatin,[77]irinotecan,[78] atau capecitabine.[79] Dalam sebuah studi, dinyatakan adanya manfaat dari erlotinib inhibitor tirosin kinase pada penderita kolangiokarsinoma tingkat lanjut.[80] Terapi radiasi diamati mampu memperpanjang kelangsungan hidup pada orang dengan kolangiokarsinoma ekstrahepatik yang direseksi,[81] dan beberapa laporan tentang penggunaannya pada kolangiokarsinoma yang tidak dapat direseksi menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup, tetapi jumlahnya kecil.[8]
Infigratinib (Truseltiq) adalah penghambat tirosin kinase dari reseptor growth factor fibroblast (FGFR) yang telah disetujui untuk penggunaan medis di Amerika Serikat pada Mei 2021.[82] Infigranatinib diindikasikan untuk pengobatan penderita kolangiokarsinoma stadium lanjut atau metastasis yang sebelumnya diobati secara lokal di mana menyimpan fusi atau terjadi penataan ulang terhadap FGFR2.[82]
Prognosis
Reseksi bedah merupakan satu-satunya kemungkinan penyembuhan yang potensial pada kolangiokarsinoma. Untuk kasus kolangiokarsinoma yang tidak dapat dibedah, tingkat kelangsungan hidup dalam lima tahun ke depan adalah 0% di mana penyakit ini tidak dapat dioperasi karena kelenjar getah bening distal menunjukkan metastasis,[83] dan kurang dari 5% pada umumnya.[84] Durasi rata-rata kelangsungan hidup keseluruhan kurang dari 6 bulan pada penderita yang tumornya sudah bermetastasis.[85][86]
Untuk kasus kolangiokarsinoma yang dapat bedah, kemungkinan penyembuhan bervariasi tergantung pada lokasi tumor dan apakah tumor dapat diangkat seluruhnya, atau hanya sebagian. Kolangiokarsinoma distal (yang timbul dari saluran empedu umum) umumnya diobati dengan pembedahan dengan prosedur Whipple di mana tingkat kelangsungan hidup jangka panjang berkisar dari 15 hingga 25%, meskipun dalam satu penelitian melaporkan kelangsungan hidup lima tahun 54% untuk penderita tanpa keterlibatan kelenjar getah bening.[87][88][89] Kolangiokarsinoma intrahepatik (yang timbul dari saluran empedu di dalam hati) biasanya diobati dengan hepatektomi parsial. Berbagai seri penelitian telah melaporkan perkiraan kelangsungan hidup setelah operasi mulai dari 22 hingga 66%. Hasil tersebut dapat bergantung pada keterlibatan kelenjar getah bening dan kelengkapan operasi.[90][91] Kolangiokarsinoma perihilar (yang terjadi di dekat tempat keluarnya saluran empedu dari hati) paling tidak mungkin dapat dioperasi. Ketika pembedahan memungkinkan, tumor umumnya diperlakukan dengan pendekatan agresif yang sering kali termasuk pengangkatan kantong empedu dan kemungkinan bagian dari hati. Pada pasien dengan tumor perihilar yang dapat dioperasi, tingkat kelangsungan hidup 5 tahun yang dilaporkan berkisar antara 20 hingga 50%.[92][93][94]
Prognosis mungkin lebih buruk bagi pengidap primary sclerosing cholangitis yang mengembangkan kolangiokarsinoma, kemungkinan karena kanker tidak terdeteksi sampai stadium lanjut.[18] Beberapa bukti menunjukkan bahwa hasil mungkin membaik dengan pendekatan bedah yang lebih intensif dan terapi adjuvan.[95]
Epidemiologi
Kolangiokarsinoma adalah bentuk kanker yang relatif jarang terjadi. Setiap tahun, sekitar 2.000 hingga 3.000 kasus baru didiagnosis di Amerika Serikat, yang berarti 1-2 kasus per 100.000 orang dilaporkan per tahun.[97] Dalam suatu seri otopsi telah melaporkan prevalensi 0,01% hingga 0,46%.[98][99] Terdapat prevalensi yang lebih tinggi dari kolangiokarsinoma di Asia, yang telah dikaitkan dengan infestasi parasit kronis endemik. Insiden kolangiokarsinoma meningkat seiring bertambahnya usia dan penyakit ini sedikit lebih sering terjadi pada pria daripada wanita (dimungkinkan karena tingkat primary sclerosing cholangitis sebagai faktor risiko utama tingkat kejadianya lebih tinggi pada pria).[47] Prevalensi dari kolangiokarsinoma pada orang dengan primary sclerosing cholangitis adalah sebesar 30%, berdasarkan studi otopsi.[18]
Berbagai penelitian telah mendokumentasikan peningkatan yang stabil dalam insiden kolangiokarsinoma intrahepatik. Peningkatan tersebut telah terlihat di Amerika Utara, Eropa, Asia, dan Australia.[100][101][102][103] Alasan peningkatan terjadinya kolangiokarsinoma belum bisa dijelaskan. Metode diagnostik yang lebih baik mungkin dapat membantu, tetapi prevalensi faktor risiko potensial untuk kolangiokarsinoma, seperti infeksi HIV juga telah mengalami peningkatan.[27]
Usia kematian standar dari kolangiokarsinoma intrahepatik (IC) dan ekstrahepatik (EC) untuk pria dan wanita berdasarkan negara[104]
Negara
IC (pria/wanita)
EC (pria/wanita)
Amerika Serikat
0,60/0,43
0,70/0,87
Jepang
0,23/0,10
5,87/5,20
Australia
0,70/0,53
0,90/1,23
Inggris
0,83/0,63
0,43/0,60
Skotlandia
1,17/1,00
0,60/0,73
Prancis
0,27/0,20
1,20/1,37
Italia
0,13/0,13
2,10/2,60
Referensi
^"cholangiocarcinoma". cancer (dalam bahasa Inggris). 2011-02-02. Diakses tanggal 2022-02-10.
^ abBosman, Frank T. (2014). World Cancer Report 2014(PDF). Bernard W. Stewart, Christopher P. Wild. Lyon, France: International Agency for Research on Cancer WHO. hlm. 403–12. ISBN978-92-832-0429-9. OCLC903962851.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Roche, Sean P.; Kobos, Rebecca (2004). "Jaundice in the Adult Patient"(PDF). American Family Physician. 69 (2). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2022-03-03. Diakses tanggal 2022-02-20.
^Fargo, Matthew V.; Grogan, Scott P.; Saguil, Aaron (2017). "Evaluation of Jaundice in Adults"(PDF). American Family Physician. 95 (3). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2022-02-20. Diakses tanggal 2022-02-20.