Kesenian Hadro


Hadro merupakan kesenian tradisional Garut yang memadukan tabuhan, solawatan, dan tari.[1] Tapi secara spesifik, hadro adalah nama alat musik yang terdiri dari empat buah terebang (rebana) dan satu buah gendang.[2] Bentuk pertunjukannya mirip pembacaan wawacan yang diiringi rebana dan beduk. Sementara tari yang dipertunjukan cenderung memperlihatkan jurus-jurus penca. Kesenian ini berkembang di Desa Bojong, Kecamatan Bungbulang. Jika dilihat dari gaya dan lagunya, Hadro sangat dipengaruhi oleh budaya Parsi dan Arab yang diadumaniskan dengan kesenian Sunda. Pengaruh Arab terlihat dari puisi solawatan yang dijadikan syair lagu, sementara unsur Sunda sangat kentara dari irama lagu yang dinyanyikan para pemain dan jenis tabuhan yang digunakan. Alat-alat yang digunakan adalah rebana, tilingtit, kempring, kompeang, bangsing, terompet serta bajidor.

Sejarah

Orang yang pertama kali memperkenalkan kesenian Hadro ini adalah seorang Kyai Haji Ahmad Sayuti, Pak Sura dan Pak Sastra yang berasal dari Kampung Tanjung Singuru, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut pada tahun 1917. Pada awalnya kesenian Hadro hanya sebatas lingkungan pesantren saja. Bagi para santri hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang harus dilakukan setelah mereka mendapatkan ilmu tentang agama Islam. Kegiatan tersebut bertujuan untuk lebih percaya serta mensyukuri atas nikmat yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta-Nya. Mereka pun belajar ayat-ayat Al-Qur’an dari kitab Al-Barjanji, yang dipakai dalam kesenian Hadro untuk melantunkan pujian-pujian yang isinya mengagungkan Allah SWT dengan segala ciptaan-Nya. Dengan keuletan KH. Ahmad Sayuti dan Pak Sura dalam menarik perhatian masyarakat agar berminat dan berkeinginan untuk mempelajari Bahasa Arab sebagai permulaan memeluk agama Islam, maka dilakukannya dengan media kesenian yaitu kesenian Hadro yang di dalamnya membahas komunikasi dengan menggunakan kata-kata Bahasa Arab.[3]

Panggung

Kesenian tradisional Hadro senantiasa tampil dalam setiap kesempatan, baik pada upacara hari besar Nasional maupun acara-acara penting di tingkat desa, kecamatan, kabupaten bahkan tingkat provinsi. Di samping itu, ditampilkan pula dalam acara perkawinan, khitanan, pesta adat menyambut datang panen dan dalam acara keagamaan seperti dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW yang disebut Muludan, Rajaban dan dalam acara keagamaan lainnya. Namun pada kenyataannya, kesenian Hadro sudah jarang dijumpai di acara-acara penting di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten.[3]

Pemain

Dalam satu penambilan biasanya Hadrah diiringi oleh 10 rebana. 5 pemain rebana di kanan dan 5 pemain rebana di kiri. Bisa pula menggunakan 8 rebana (4 di kanan dan 4 di kiri) atau 6 rebana (3 di kanan dan 3 di kiri). Secara garis besar, Hadrah terdiri dari tiga komponen, yaitu nyanyian, tari atau silat, dan tabuhan.[4]

Referensi

  1. ^ Suhardiman,Budi&Darpan.2007.Seputar Garut.Garut:Komunitas Srimanganti (Indonesia)
  2. ^ Ismail, Dian Henrayana & Yus R. (2019-08-26). Kamus Basa Sunda - Indonesia , Indonesia - Sunda Untuk Pelajar & Umum. Bhuana Ilmu Populer. hlm. 66. ISBN 978-623-216-412-3. 
  3. ^ a b http://repository.upi.edu/21736/4/S_SDT_1102885_Chapter1.pdf
  4. ^ irvansetiawan (2017-12-11). "Darussalam, Tokoh Seni Hadroh dari Pesisir Barat". Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-16.