Kesenian Hadro
SejarahOrang yang pertama kali memperkenalkan kesenian Hadro ini adalah seorang Kyai Haji Ahmad Sayuti, Pak Sura dan Pak Sastra yang berasal dari Kampung Tanjung Singuru, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut pada tahun 1917. Pada awalnya kesenian Hadro hanya sebatas lingkungan pesantren saja. Bagi para santri hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang harus dilakukan setelah mereka mendapatkan ilmu tentang agama Islam. Kegiatan tersebut bertujuan untuk lebih percaya serta mensyukuri atas nikmat yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta-Nya. Mereka pun belajar ayat-ayat Al-Qur’an dari kitab Al-Barjanji, yang dipakai dalam kesenian Hadro untuk melantunkan pujian-pujian yang isinya mengagungkan Allah SWT dengan segala ciptaan-Nya. Dengan keuletan KH. Ahmad Sayuti dan Pak Sura dalam menarik perhatian masyarakat agar berminat dan berkeinginan untuk mempelajari Bahasa Arab sebagai permulaan memeluk agama Islam, maka dilakukannya dengan media kesenian yaitu kesenian Hadro yang di dalamnya membahas komunikasi dengan menggunakan kata-kata Bahasa Arab.[3] PanggungKesenian tradisional Hadro senantiasa tampil dalam setiap kesempatan, baik pada upacara hari besar Nasional maupun acara-acara penting di tingkat desa, kecamatan, kabupaten bahkan tingkat provinsi. Di samping itu, ditampilkan pula dalam acara perkawinan, khitanan, pesta adat menyambut datang panen dan dalam acara keagamaan seperti dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW yang disebut Muludan, Rajaban dan dalam acara keagamaan lainnya. Namun pada kenyataannya, kesenian Hadro sudah jarang dijumpai di acara-acara penting di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten.[3] PemainDalam satu penambilan biasanya Hadrah diiringi oleh 10 rebana. 5 pemain rebana di kanan dan 5 pemain rebana di kiri. Bisa pula menggunakan 8 rebana (4 di kanan dan 4 di kiri) atau 6 rebana (3 di kanan dan 3 di kiri). Secara garis besar, Hadrah terdiri dari tiga komponen, yaitu nyanyian, tari atau silat, dan tabuhan.[4] Referensi
|