Kelenteng Caow Eng Bio
Klenteng Caow Eng Bio merupakan salah satu klenteng tertua yang berada di Bali. Klenteng ini terletak di ujung utara Tanjung Benoa dan berada di wilayah Banjar Adat Darmayasa. Klenteng ini didedikasikan kepada Dewi Shui Wei dan 108 Bersaudara dari Hainan, pelindung masyarakat Hainan terutama pada masa diaspora. Di seberang kelenteng terdapat sebuah bangunan teater dan disampingnya terdapat kuil kecil untuk perahu naga.[1] Klenteng buka tiap hari pada pukul 06.00-21.00 WITA, kecuali setiap tanggal 1 dan 15 Imlek hingga pukul 24.00 WITA. Arti namaPapan nama pada gerbang masuk Klenteng Caow Eng Bio memuat tulisan yang terdiri atas dua baris. Baris atas memuat aksara Tionghoa "應昭戎丹" sementara baris yang bawah memuat tulisan Latin "Caow Eng Bio". Tulisan 應昭戎丹 dibaca dari kanan ke kiri yaitu dān róng zhāo yìng. 丹 (dān) memiliki arti "merah, pil, bubuk, cinnabar"; 戎 (róng) memiliki arti "senjata, pasukan, militer"; 昭 (zhāo) memiliki arti "terang, jernih, manifestasi, cerah"; dan 應 (yìng) memiliki arti "setuju, keharusan, menjawab, merespon, menghadapi". Caow Eng Bio (Hanzi=昭應廟; pinyin=zhāo yīng miào) merupakan nama klenteng yang ditulis menggunakan aksara latin.[2] SejarahTahun pendirian kelenteng Caow Eng Bio tidak memiliki bukti historis yang kuat. Menurut cerita yang beredar di antara penduduk setempat, kelenteng ini sudah ada semenjak zaman Kerajaan Badung yaitu sejak tahun 1548. Lahan kelenteng diberikan oleh Raja Pemecutan Badung.[3] Namun, prasasti di samping kiri klenteng memuat tahun 1882, yaitu tahun ke-8 pemerintahan Kaisar Guangxu. Demikian pula dengan sebagian besar artifak yang dimiliki klenteng, semuanya berasal dari masa pemerintahan Kaisar Guanxu. Hanya beberapa yang dibuat pada masa republik Tiongkok.[1] Menurut AA Gede Ngurah Widiada, ketua penasihat Caow Eng Bio, klenteng ini didirikan oleh para saudagar Hainan yang berlayar ke wilayah Nusantara. Saat melewati Selat Malaka, mereka dirampok sehingga banyak yang tewas, sisanya melanjutkan perjalanan menuju ke Nusantara. Di tengah perjalanan, kapal mereka terkena badai, tetapi terdengar suara yang menenangkan agar mereka tidak panik. Suara tersebut dipercaya merupakan suara Dewa Baruna. Saat salah seorang di kapal menyalakan hio, badai menjadi reda sehingga seisi kapal berjanji akan membuat stana untuk Dewa Baruna setelah mereka sampai di daratan. Kapal akhirnya bersandar di Tanjung Benoa kemudian mereka membangun Klenteng Caow Eng Bio.[3] Prasasti di samping klenteng merupakan salah satu peninggalan kuno penting di Indonesia. Prasasti ini sempat disembunyikan selama masa Orde Baru karena memuat aksara Tionghoa. Meskipun patah menjadi tiga bagian, prasasti tersebut telah disatukan dan ditampilkan kembali.[1] Daftar altar
Galeri
Pranala luarLihat pulaReferensi
|