Kaundinya I
Kaundinya I (bahasa Khmer: កៅណ្ឌិន្យ; bahasa Oriya: କୌଣ୍ଡିନ୍ୟ; bahasa Sanskerta: कौण्डिन्य), juga dikenal sebagai Huntian (Hanzi: 混塡; Pinyin: Hùn Tián) dan Preah Thong (bahasa Khmer: ព្រះថោង) adalah pemimpin kedua Kerajaan Funan (memerintah pada abad ke-1 Masehi) yang terdiri dari sebagian besar Kamboja terletak di Daratan Asia Tenggara yang berpusat di Delta Mekong. Raja Kaundinya adalah suami dari Ratu Soma, pemimpin pertama Funan,[1] dan mereka bersama-sama mendirikan Kerajaan Funan dengan ibu kota terletak di Wyadhapura. AsalBanyak sumber dan cerita rakyat berbicara tentang kedatangan pedagang Brahmana Kaundinya dari India dan pernikahan berikutnya dengan putri kaum Naga Soma yang mengarah pada pendirian kerajaan Funan. Tetapi sebagian besar sumber menunjuk pada kedatangan Kaundinya dari India tanpa secara jelas menyebut asal-usulnya yang kemudian memperoleh banyak beberapa sumber legendaris dari cerita rakyat yang berbeda dibanding berbagai sumber yang tercermin dari sumber-sumber Tiongkok Kuno dan wilayah Asia Tenggara lainnya.[2][3][4] Persatuan tersebut dilambangkan dalam personifikasi nasional dan budaya Kamboja sebagai Preah Thong dan Neang Neak. Sejarah hubungan maritim bersama dengan analisis prasasti yang sesuai dengan wilayah tersebut dapat memberikan wawasan tentang asal-usul Kaundinya di India. Buku Sanjeev Sanyal berjudul The Ocean of Churn: How the Indian Ocean Shaped Human History, lebih dalam menjelaskan asal-usul nama Kaundinya, yang biasanya bukan nama depan yang umum di India tetapi sebuah gotra (yaitu garis keturunan patrilineal) dari sekelompok Brahmana yang tinggal di pesisir timur India terutama di sepanjang pesisir Odisha-Andhra Utara. Oleh karena itu, nama tersebut merujuk ke wilayah Kalingga (sekarang Odisha modern) mengingat para pelaut India awal berdagang dari wilayah ini sebagaimana terbukti dari catatan sejarah maritim kuno wilayah itu sekitar abad ke-3 SM[5][6] dan pelabuhan Palur (dekat Ganjam) yang disebut oleh Ptolemaeus sebagai pelabuhan internasional terkemuka selama abad ke-2 Masehi.[7] Kaitannya dengan Kalingga juga terlihat dari pemberian tanah pelat tembaga yang diberikan oleh penguasa Kalingga kepada para Brahmana Kaundinya yang tinggal di wilayah yang sekarang bagian dari Mahendragiri, Ganjam, Odisha dengan yang paling menonjol adalah hibah pelat tembaga prasasti Ragolu yang dikeluarkan oleh penguasa Nandaprabhanjanavarman dari Dinasti Pitrbhakta,[8][9] adat Saiwa yang disebutkan dalam catatan Sejarah Dinasti-Dinasti Selatan (南史) pada masa pemerintahan keturunan Kaundinya I bernama Jayawarman sehubungan dengan Gunung Mo-tan di Funan,[10][11] yang berhubungan dengan awal Saivisme dan hubungannya dengan gunung Mahendragiri yang merupakan agama umum pada masa pemerintahan berbagai dinasti Kalingga,[12] dan hubungan diplomatik antara Funan dan dinasti Murunda di Kalingga bagian utara selama abad ke-3 M, ketika Raja Dhamadamadhara (Dharmatamadharasya) dari Murunda menerima utusan Su-Wu mewakili Raja Fan Chan dari Funan (225-250 M).[12][13][14] FunanSesuai legenda, sebuah kapal dagang India diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Soma, putri kepala suku dari kaum Naga setempat. Para pedagang yang dipimpin oleh Kaundinya melawan dan menangkis para penyerang tetapi kapalnya telah rusak, terdampar, dan tidak dapat diperbaiki. Orang-orang India waspada terhadap serangan kedua tetapi Putri Soma terkesan dengan keberanian Kaundinya dan lamaran pernikahan diterima. Persatuan tersebut mengarah pada pendirian wangsa yang akan memerintah Funan selama beberapa generasi dan aturan pemimpin kerajaan diperoleh melalui garis perempuan (yaitu garis keturunan matrilineal) di kerajaan. Mitos pendiri juga menjelaskan alasan ular (naga) menjadi bagian penting dari ikonografi Khmer seperti yang terlihat ribuan tahun kemudian ketika kesatuan mistik ini tetap menjadi bagian penting dari upacara istana di Angkor selama era Kerajaan Khmer.[5][15][16] Referensi
|