Kampung Adat Jalawastu (Aksara Sunda: ᮊᮙ᮪ᮕᮥᮀ ᮃᮓᮒ᮪ ᮏᮜᮝᮞ᮪ᮒᮥ) adalah sebuah kampung adat masyarakat Sunda yang berada di Desa Ciseureuh, Ketanggungan, Brebes di Provinsi Jawa Tengah. Wilayah bagian barat Jawa Tengah dahulunya merupakan bagian dari Kerajaan Sunda, masyarakat disana masih memegang teguh tradisi leluhur.[1]
Sejarah
Dalam Narasi Mitos Dayeuh Lemah Kaputihan adalah mitos yang berkembang dalam masyarakat Jalawastu.[2] Secarara garis besar narasi mitos Lemah Kaputihan adalah sebagai berikut; Dahulu ada seorang pengembara sakti bernama Ragawijaya, bertapa di Gunung Sagara (Gunung Kumbang), tempat dia bertapa adalah di Gedong Sirap. Ragawijaya bertapa untuk meningkatkan kesaktian ilmunya.
Saat Ragawijaya bertapa dan ilmunya semakin tinggi, saat itu Batara Windu Buana merasa sudah waktunya memberi Ragawijaya pusaka. Kemudian Batara Windu Buana menyuruh Guriang Pantus untuk memberikan pusaka mempersembahkannya kepada Ragawijaya. Pusaka tersebut berupa tiga buah guci.
Guci tersebut adalah Guci Belanda, Cina dan Guci Sunda / Jawa. Setelah mendapat pusaka tersebut, maka Ragawijaya harus tinggal ditempat tersebut karena telah terhubung dengan Batara Windu Buana. Ragawijaya disuruh turun dari Gunung Sagara karena tempat tersebut merupakan tempat tinggal para dewa. Setelah turun, kemudian Ragawijaya membuat tinggal di Pasarean Gedong Petilasan.[3]
Ia mengetahui bahwa Gunung Sagara dan Pasarean Gedong merupakan tanah Lemah Kaputihan yang artinya tanah tersebut merupakan tanah suci tempat tinggal para dewa dan wali, sehingga tidak boleh bersikap dan berperilaku kotor karena yang diucapkan menjadi nyata. Tantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak boleh memakai genteng, batu-bata dan semen, tidak boleh menanam bawang dan kacang tanah, dan tidak boleh naik angsa, kerbau dan kambing.[4]
Agama
Secara kontruksi budaya komunitas adat Jalawastu terbuka, memberikan ruang antara budaya dan agama, berjalan secara sinergi. Proses interaksi masuknya Islam di tanah Jalawastu tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran Sunda Wiwitan dengan nuansa Islami.[5]
Tradisi
Upacara adat ngasa diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas karunia yang diberikan berupa hasil pertanian. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk memohon berkah atas usaha yang akan dilaksanakan pada tahun selanjutnya. Upacara adat ngasa dilaksanakan setahun sekali, sedangkan pelaksanaannya dilakukan pada hari-hari tertentu,yaitu pada hari Selasa Kliwon atau Jum'at Kliwon. Sehari sebelum upacara tersebut dilaksanakan, masyarakat Jalawastu biasanya akan membuat nasi jagung dan mencari lalapan berupa daun-daunan. Nasi jagung dan lalapan ini merupakan hasil bumi yang akan dihidangkan sebagai menu utama dalam pelaksanaan upacara adat ngasa.[6]
Lihat Pula
Referensi