Kampong Wisata Temenggungan

Belajar angklung Banyuwangi
Seni Budaya di Kampong Wisata Temenggungan. Paket belajar seni budaya bagi wisatawan untuk memperkenalkan dan melestarikan seni budaya di Banyuwangi

Kampong Wisata Temenggungan atau Desa Wisata[1] Temenggungan, adalah sebuah kelurahan yang berada di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang memiliki beragam potensi objek wisata, mulai dari wisata sejarah, wisata heritage, wisata spiritual, dan wisata seni budaya.

Kampong Wisata Temenggungan terletak di pusat kota Banyuwangi, dan merupakan salah satu kampung pertama yang dibangun pada saat dipindahkannya pusat pemerintahan Kadipaten Blambangan dari Ulupampang (Muncar) ke daerah hutan Tirtaganda, yang saat ini menjadi wilayah kota Banyuwangi, pada era Bupati Mas Alit (Raden Tumenggung Wiraguna I) pada tahun 1774. Pendopo Kabupaten Banyuwangi dulunya merupakan pendopo Kadipaten Blambangan, dan kampung Temenggungan merupakan area pendukung sebagai tempat bermukim bagi para pejabat pemerintahan maupun pengurus rumah tangga pendopo kabupaten.

Semenjak masa lalu, kampung ini telah dikenal sebagai salah satu pusat berbagai aktivitas seni dan budaya di Kabupaten Banyuwangi. Kerajinan batik di kampung ini telah berkembang secara turun-temurun, yang dulunya diadakan untuk memenuhi kebutuhan seragam bagi pejabat dan pegawai pemerintahan. Demikian pula kesenian gamelan yang sampai saat ini berkembang di kampung Temenggungan juga merupakan warisan turun-temurun dari para pendiri kampung ini.

Dengan adanya nilai-nilai sejarah yang tinggi, berbagai bangunan kuno, peninggalan-peninggalan kuno, potensi aktivitas spiritual, dan berbagai kekayaan seni dan budaya yang unik, maka saat ini dikembangkanlah berbagai hal tersebut dalam sebuah program pengembangan pariwisata[2] berbasis pengelolaan oleh masyarakat kampung (Community Based Tourism).[3]

Lokasi

aktivitas kesenian di depan kantor kelurahan Temenggungan
Suasana Kampong WIsata Temenggungan, gubug di depan kantor kelurahan Temenggungan

Lokasi Kampong Wisata Temenggungan terletak di tengah-tengah kota Banyuwangi, yang secara administratif berada di Kecamatan Kota, Kabupaten Banyuwangi. Kampung ini terletak di sebelah utara dan sebelah timur kawasan Taman Sri Tanjung (dulu bernama Lapangan Tegal Masjid). Kawasan ini pada masa lalu mengikuti pola kawasan yang diistilahkan sebagai "sistem pemerintahan Macapat", yaitu di tengah-tengah terdapat alun-alun sebagai lapangan tempat untuk berkumpulnya warga, yang disebut Lapangan Tegal Masjid (Taman Sri Tanjung). kemudian di sisi utara terdapat Pendopo Kabupaten sebagai pusat pemerintahan, pada sisi sebelah barat lapangan terdapat Masjid Jami’ sebagai tempat ibadah, di sebelah timur lapangan terdapat penjara sebagai perlambang keamanan (kini sudah berubah menjadi Mall of Sri Tanjung), dan pada di sisi sebelah selatan lapangan berdiri Pasar Banyuwangi sebagai pusat kegiatan ekonomi.

Sejarah

Kampung Temenggungan memiliki beberapa catatan perjalanan yang cukup penting dalam sejarah Kabupaten Banyuwangi. Catatan sejarah ini dimulai pada tahun 1774, saat diangkatnya Mas Alit (Raden Tumenggung Wiraguna I) sebagai bupati, pada tanggal 5 Februari 1774, yang mulanya pusat pemerintahan berkedudukan di Ulupampang (Muncar), kemudian Mas Alit menetapkan untuk dipindahkannya pusat pemerintahan ke wilayah baru yang sekarang menjadi area kota Banyuwangi, dulunya berupa hutan Tirtaganda (disebut juga Tirtoarum atau Toyoarum, dalam bahasa Jawa "tirta" atau "toyo" atau "banyu" artinya "air", sedangkan "gondo" atau "arum" atau "wangi" artinya "beraroma harum"). Hutan ini disebut hutan Tirtaganda atau Tirtoarum atau Toyoarum, konon disebabkan karena adanya sumber mata air yang beraroma harum yang terdapat di hutan tersebut, dan kemungkinan besar karena adanya sumber mata air inilah maka wilayah tersebut dianggap cocok untuk dibuka sebagai lokasi pusat pemerintahan dan area pendukungnya, yaitu wilayah pemukiman bagi pejabat dan pengurus rumah tangga kabupaten. Inilah yang menjadi cikal bakal munculnya nama Banyuwangi, dari istilah "Tirtaganda", "Tirtoarum", "Toyoarum", menjadi Banyuwangi. Kampung Temenggungan merupakan salah satu kampung pertama yang dibangun bersamaan dengan dibangunnya pendopo sebagai pusat pemerintahan.

Perpindahan pusat pemerintahan dari Ulupampang ini sangat terkait dengan sistem kepercayaan di masyarakat. Pusat pemerintahan sering kali dianggap sebagai ibu kota kerajaan yang dipercaya suci dan keramat. Pertumpahan darah akibat perang besar antara pasukan Blambangan dan VOC (tahun 1767 sampai 1772), serta wabah penyakit yang muncul akibat kehancuran kota karena perang, mengakibatkan banyak rakyat Blambangan tewas, hal ini dianggap menodai kesucian istana dan ibu kota. Kondisi ini diyakini dapat menimbulkan malapetaka berkelanjutan, oleh karena Mas Alit memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan. Pembangunan pendopo sebagai pusat pemerintahan selesai pada tanggal 14 Oktober 1774, tetapi baru pada tanggal 24 Oktober 1774, Mas Alit meninggalkan Ulumpampang dan berangkat ke Banyuwangi serta langsung menuju pendopo.[4] Semenjak saat itu pendopo berfungsi sebagai pusat pemerintahan.

Kampung Temenggungan pada masa lalu terbagi menjadi tiga lingkungan, yaitu lingkungan Keradenan, lingkungan Tumenggung, dan lingkungan Abdi Dalem. Pembagian lingkungan seperti ini pada masa lalu dibuat sesuai tugas dan pekerjaan dari mereka yang bermukim di sana. Lingkungan Keradenan merupakan wilayah pemukiman bagi para pejabat yang berdarah biru, lingkungan Tumenggung merupakan wilayah pemukiman bagi para tumenggung dan senopati, sedangkan lingkungan Abdi Dalem merupakan wilayah pemukiman bagi para pengurus rumah tangga pendopo kabupaten.

Kondisi pemindahan pusat pemerintahan ini membawa perubahan yang sangat besar bagi Banyuwangi. Kepandaian dan kebijakan Mas Alit dalam penataan pemerintahan, penataan politik, penataan perekonomian, dan penataan sosial budaya membawa perkembangan pesat bagi Banyuwangi. Terbukti bahwa sampai hari ini Banyuwangi masih eksis dan terus tumbuh berkembang sebagai pusat pemerintahan yang dinamis.

Pasca Kemerdekaan

Semenjak masa lalu Kampung Temenggungan dikenal sebagai pusat aktivitas seni dan budaya di kota Banyuwangi. Pada era pasca kemerdekaan Republik Indonesia, di Kampung Temenggungan ini berkembang beragam bentuk kesenian seperti Ketoprak, Wayang Orang, Ludruk, Angklung Banyuwangi, Ande-Ande Lumut, Keroncong Mawar Merah dan Ramona.[5] Banyak seniman-seniman besar Banyuwangi lahir di kampung ini, baik memang seniman yang asli warga kampung ini, ataupun seniman dari luar kampung Temenggungan namun mereka belajar berkesenian di kampung ini.

Salah satu kelompok kesenian besar di kabupaten Banyuwangi pada era tahun 50-60 an bernama Kelompok Kesenian Sri Muda (Seni Rakyat Indonesia Muda) dibawah pimpinan Muhammad Arif, yang mengembangkan lagu-lagu dan tarian Banyuwangi diiringi oleh angklung. Muhammad Arif dikenal sebagai pencipta lagu “Gendjer-Gendjer” yang kemudian dilarang dinyanyikan selama pemerintahan orde baru karena dianggap identik dengan PKI. Lagu "Gendjer-Gendjer" diciptakan Muhammad Arif pada tahun 1942, Lirik dalam lagu ini sebenarnya menggambarkan tentang sayuran genjer (limnocharis flava) yang menjadi makanan rakyat, karena keadaan rakyat yang melarat akibat pendudukan pasukan Jepang di Banyuwangi pada tahun 1942, yang menguras kekayaan alam Banyuwangi, kemudian rakyat menjadi miskin, kelaparan dan terpaksa memakan sayur genjer yang tumbuh liar di persawahan.[6] Sekitar tahun 1960-1965 an, lagu ini pernah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani di RRI Jakarta dan tenar hingga beberapa waktu.

Grup kesenian tradisional Banyuwangi Putra Junior
Banyuwangi Putra Junior, grup kesenian anak-anak dari Kampong Wisata Temenggungan. Grup Banyuwangi Putra berdiri sejak tahun 1977. Sedangkan grup Banyuwangi Putra Junior merupakan generasi keempat dari Banyuwangi Putra

Kelompok kesenian Sri Muda menjadi kiblat kesenian di Banyuwangi. Kelompok seni yang bernaung di bawah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebuah organisasi massa di bawah PKI ini kerap melatih musik dan tarian bagi kelompok kesenian dari kampung-kampung lain di Kabupaten Banyuwangi, bahkan dari luar Kabupaten Banyuwangi. Jumlah cabang organ kelompok seni daerah ini pun bertambah mencapai angka 34 cabang di seluruh Kabupaten Banyuwangi. Masa tahun 50-60an menjadi era emas bagi kesenian di Kampung Temenggungan. Kejayaan kesenian ini berlangsung sampai tahun 1965, di mana pasca meletusnya G-30S PKI, banyak seniman-seniman Lekra yang sebenarnya tidak tahu-menahu mengenai politik, tetapi pada saat itu mereka ditangkap, dibunuh, ataupun hilang, dan kegiatan berkesenian pun sempat dilarang di seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi, terutama di Kampung Temenggungan.

Setelah vakum selama bertahun-tahun, baru pada tahun 1977 kesenian di kampung ini mulai dihidupkan kembali oleh Kacung Tarmat, seorang pensiunan tentara. Kacung Tarmat membentuk grup kesenian bernama Banyuwangi Putra, yang bertujuan untuk membangunkan kembali kesenian yang telah lama tidur di kampung tertua di Kota Banyuwangi ini, khususnya untuk seni musik dan tari, Kesenian di kampung ini bangkit dan semarak kembali. Kemudian dalam perjalanannya, Banyuwangi Putra telah berhasil mencetak banyak seniman-seniman berbakat di Kabupaten Banyuwangi, dan sampai hari ini kelompok kesenian Banyuwangi Putra masih tetap ada dan eksis, diwariskan dari generasi ke genari, diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya, ketika anak-anak ini telah dewasa mereka meneruskan mengajarkan pada anak-anak di generasi selanjutnya. Saat ini kelompok kesenian Banyuwangi Putra telah diteruskan oleh generasi yang keempat.

Kampung Wisata Temenggungan

Sebagai kampung tertua di kota Banyuwangi, tentunya Kampung Temenggungan memiliki banyak sekali potensi pariwisata yang menarik untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai potensi pariwisata. Semenjak tahun 2014 telah dilakukan upaya untuk menggali berbagai potensi yang ada di kampung ini untuk dikembangkan menjadi objek wisata, tetapi upaya ini masih menemukan berbagai jalan buntu. Baru pada bulan Oktober 2015 mulailah dilakukan pendataan potensi wisata dengan lebih optimal, dan dilakukan perencanaan serta pengembangan program pariwisata berbasis pengelolaan masyarakat desa, dan program pengembangan ini diberi judul Kampong Wisata Temenggungan. Pada bulan Maret 2016 dibentuklah lembaga Kawitan (Kampong Wisata Temenggungan), sebuah lembaga yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat Kampung Temenggungan, yang bertujuan untuk pengelolaan pariwisata oleh warga Kampung Temenggungan.

Rumah Bupati kelima KRT Pringgokusumo

Rumah Kanjeng Raden Tumenggung Pringgokusumo. Rumah berusia lebih dari 150 tahun di Kampong Wisata Temenggungan

Rumah bupati kelima Banyuwangi, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Pringgokusumo, yang menjabat bupati Banyuwangi pada periode 1867-1881, Rumah ini terletak di kawasan pemukiman padat di Lingkungan Sri Tanjung, RT 03, RW III, kelurahan Temenggungan. Dulunya di lokasi tersebut bangunan bergaya arsitektural Belanda ini adalah satu-satunya bangunan yang ada, tetapi kini telah menjadi sebuah pemukiman yang sangat padat. Meski sudah ada beberapa perubahan akibat renovasi, sebagian besar ruangan di rumah utama berusia lebih dari 150 tahun ini masih tetap dipertahankan sesuai aslinya. Bangunan asli di rumah ini terbagi menjadi empat bagian utama, yaitu teras, ruang tengah, dan dua ruang di sayap kiri dan kanan bangunan.Masih dapat kita lihat tiang utama rumah berdiameter hampir satu meter berdiri megah di teras, daun pintu dari kayu jati dengan model kupu tarung dengan tinggi lebih dari dua meter, ukiran di atas ventilasi pintu dan daun jendela juga masih utuh. Beberapa perabot seperti meja dari marmer, lemari kuno beserta peralatan makan yang tersimpat di dalamnya, kursi dan meja untuk tempat sesaji juga masih ada. Sisa-sisa kemegahan rumah bupati kelima ini masih cukup bisa dilihat, walaupun dalam kondisi yang kurang mendapatkan perawatan.[7]

Rumah Kuno Berarsitektur Kolonial

rumah kuno di Kampong Wisata Temenggungan
Rumah-rumah kuno berarsitektur kolonial, yang tersebar di kampung Temenggungan

Kampung Temenggungan merupakan kelurahan di Kabupaten Banyuwangi yang memiliki luas wilayah paling sempit, tetapi karena kampung ini merupakan salah satu kampung tertua di kota Banyuwangi, maka di dalamnya masih banyak terdapat rumah-rumah kuno berarsitektur kolonial, yang tersebar baik di jalan utama kampung, maupun di dalam gang-gang sempit di tengah-tengah kampung. Beberapa rumah di kampung ini bahkan telah berusia lebih dari 100 tahun. Beberapa tahun yang lalu rumah-rumah kuno era kolonial keberadaannya masih banyak, sayangnya sebagian rumah-rumah kuno tersebut sekarang sudah hilang, karena direnovasi menjadi bangunan modern. Sebagian bangunan kuno yang sekarang masih ada juga dalam kondisi kurang terawat. Diharapkan dengan adanya program pengembangan pariwisata berbasis pengelolaan oleh masyarakat ini bisa menjadi sebuah cara untuk melestarikan keberadaan rumah-rumah kuno era kolonial sebagai heritage. Salah satu daya tarik dalam berwisata di kampung Temenggungan ini adalah berjalan-jalan, selfie, dan hunting foto rumah kuno di sepanjang gang-gang kampung, sambil menikmati suasana Banyuwangi tempo dulu.

Rumah Tradisional Osing

Rumah Tradisional Osing, berusia lebih dari 100 tahun

Di Kampong Wisata Temenggungan masih terdapat beberapa rumah Osing yang masih bisa dikunjungi oleh wisatawan. Rumah Osing sendiri adalah rumah tradisional masyarakat Banyuwangi asli dari suku Osing. Rumah Osing ini memiliki beberapa ciri khas yaitu struktur rumah berupa susunan rangka 4 saka (tiang) kayu dengan sistem tanding tanpa paku, tapi menggunakan paju (pasak pipih). Pembagian jenis rumah terdiri atas ruang utama dan ruang penunjang. Ruang utama yaitu bale (ruang tamu, ruang keluarga, ruang kegiatan seremonial), jrumah (ruang pribadi, ruang tidur), pawon (dapur, ruang tamu informal, ruang keluarga), ketiga bagian ini selalu ada pada rumah Osing. Sedangkan ruang penunjang meliputi, yaitu amper (teras depan), ampok (teras samping), pendopo (ruang besar di depan rumah), dan lumbung (ruang penyimpanan padi), tetapi bagian-bagian ruang penunjang ini tidak selalu ada. Biasanya rumah Osing berbahan kayu dan gedheg (anyaman kulit bambu). Konsep bentuk rumah Osing tidak mengenal hierarki dan identik dengan bentuk rumah kampung, ini terkait erat dengan struktur sosial masyarakat Osing yang cenderung egaliter dan mewakili lapisan masyarakat biasa. Nama-nama bagian-bagian rumah dan susunannya selain diberi nama berdasarkan fungsi bagian-bagian rumah tersebut, tapi yang lebih utama adalah merupakan pengungkapan pesan, makna, dan kehendak sebagai ekspresi rasa dan karsa masyarakat Osing. Rumah Osing tidak memiliki terlalu banyak ornamen, cenderung sederhana, hanya ada sedikit ornamen, tetapi terlihat berkarakter kuat.

Sumur Sri Tanjung

Ritual di Sumur Sri Tanjung.
Sumur Sri Tanjung, sumber mata air kuno yang dipercaya masyarakat Banyuwangi menjadi cikal bakal lahirnya kota Banyuwangi

Potensi wisata spiritual yang terdapat di kampung ini adalah Sumur Sri Tanjung, yang terletak di sebelah timur Pendopo Kabupaten Banyuwangi, di Jl. Sidopekso, sekitar 50 meter dari gapura gerbang masuk ke Kampong Wisata Temenggungan. Sumur ini berbentuk kotak, tidak terlalu dalam, dan sekarang sudah ditembok di dinding sumur sampai bibir sumurnya. Sumur Sri Tanjung dipercaya menjadi sumber cikal-bakal munculnya nama "Banyuwangi" (“banyu” artinya “air” dan “wangi” artinya “harum”), hal ini terkait dengan kisah legenda Putri Sri Tanjung dan Patih Sidopekso. Sampai hari ini, sumur Sri Tanjung diyakini masih sesekali menimbulkan aroma wangi pada kondisi peristiwa-peristiwa besar tertentu. Masyarakat Banyuwangi juga meyakini bahwa air sumur tersebut memiliki khasiat, sehingga tidak heran apabila sumur Sri Tanjung sering diziarahi masyarakat Banyuwangi bahkan dari luar kota Banyuwangi yang menggunakan air sumur untuk kepentingan mandi hajat ataupun sekadar cuci muka, saat mereka mempunyai sebuah rencana hajatan penting, sebagian masyarakat yang lain datang ke sumur Sri Tanjung dan mengambil airnya untuk kepentingan pengobatan alternatif.[8]

Musik Tradisional Banyuwangi

Anak-anak kecil Kampong Wisata Temenggungan bermain gamelan

Musik tradisional berkembang dan telah ada turun-temurun sejak berdirinya kampung ini. Berbagai jenis musik tradisional sampai hari ini tetap dilestarikan oleh warga kampung Temenggungan. Beberapa jenis musik tradisional yang berkembang di Temenggungan antara lain adalah musik gamelan Banyuwangi, musik angklung, musik patrol, dan hadrah. Musik gamelan Banyuwangi memiliki perbedaan dengan gamelan Jawa maupun gamelan Bali. Bila gamelan Jawa dimainkan dengan pentatonik laras pelog dan slendro, maka gamelan Banyuwangi hanya menggunakan pentatonik laras slendro, tetapi dimainkan dengan cepat seperti gamelan Bali. Pada gamelan Banyuwangi terdapat alat musik yang khas yaitu angklung Banyuwangi, kluncing (triangle), suling Banyuwangi, dan biasanya terdapat juga biola yang dimainkan oleh satu sampai dua orang.[9]

Turis belajar bermain musik angklung Banyuwangi

Selain gamelan Banyuwangi, di Kampung Temenggungan juga terdapat kesenian angklung Banyuwangi. Angklung Banyuwangi adalah alat musik melodis yang terbuat dari bambu yang nada-nadanya dilaras dengan nada pentatonik slendro sesuai nada pentatonik slendro gamelan Banyuwangi. Berbeda dengan angklung Sunda, angklung Banyuwangi memainkannya dengan cara dipukul. Biasanya kesenian angklung bisa dimainkan sendirian, atau dimainkan dengan dua angklung, atau dikombinasikan dengan suling Banyuwangi. Bisa dimainkan hanya sebagai musik instrumentalia, ataupun dimainkan untuk mengiringi penyanyi.

Alat musik katir dalam Musik patrol Banyuwangi,

Musik tradisional lainnya yang cukup banyak dikuasai seniman-seniman Kampong Wisata Temenggungan adalah musik patrol. Musik patrol adalah musik etnik khas Banyuwangi yang seluruh instrumennya terbuat dari Bambu dengan jenis-jenis alat musik yang dimainkan adalah kitir, gong, kempul, angklung renteng, keethuk, kendang, suling Banyuwangi, dan tak jarang dilengkapi pula dengan kluncing (triangle). Biasanya masyarakat Banyuwangi memainkan alat musik patrol pada malam hari di bulan Romadhan, baik untuk ronda siskamling maupun untuk membangunkan orang sahur. Syair-syair yang dinyanyikan mengambil dari kitab berjanji dan lagu-lagu daerah Banyuwangi dengan teknis tabuh sistem timpalan. Pada saat festival musik patrol, biasanya diikuti grup-grup patrol dari desa dan kelurahan se kabupaten Banyuwangi dengan jumlah personal dalam satu grup sekitar 15 orang.Musik patrol diperkirakan bersumber dari masyarakat pesisir Madura, tetapi di Banyuwangi musik patrol dikembangkan dengan irama ritmik yang sangat berbeda dengan musik patrol di daerah-daerah lainnya, termasuk alat musik yang digunakan pun juga berbeda dengan musik patrol daerah lain. Alat musik patrol Banyuwangi yang khas adalah katir dan gong bambu. Katir artinya cadik, jadi katir adalah alat musik yang terbuat dari bambu besar, yang sejarahnya dulu dibuat dari memotong cadik perahu (penyeimbang dan pelampung di kiri dan kanan perahu). Sedangkan gong bambu adalah alat musik dari bambu yang besar, yang suara dan fungsinya seperti gong pada musik gamelan.

Musik keroncong akustik Banyuwangi-an

Selain musik tradisional, di Kampong Wisata Temenggungan juga banyak dimainkan musik semi tradisional berupa keroncong akustik. Musik keroncong akustik ini dimainkan dengan alat-alat musik akustik seperti gitar akustik, bass cello, ukulele, angklung Banyuwangi, suling Banyuwangi, dan kluncing (triangle). Lagu-lagu yang dimainkan mulai lagu-lagu Banyuwangi kuno, lagu Banyuwangi modern, lagu Indonesia, sampai lagu barat, tetapi kesemuanya diaminkan dengan aransemen pentatonik Banyuwangi, sehingga memiliki ciri khas yang sangat unik.

Keberadaan berbagai kesenian musik tradisional Banyuwangi di Kampong Wisata Temenggungan ini sekarang dikembangkan menjadi paket-paket wisata seni budaya yang ditawarkan kepada wisatawan dalam bentuk paket menonton pertunjukan musik tradisional, ataupun paket belajar musik tradisional Banyuwangi.

Tari Tradisional Banyuwangi

Tari Gandrung Banyuwangi yang dipentaskan di Temenggungan

Selain kesenian musik tradisional, di Kampong Temenggungan juga berkembang tari tradisional yang juga telah secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Tari gandrung merupakan tari kebanggaan dan ciri khas Kabupaten Banyuwangi. Kesenian tari gandrung ini telah berusia ratusan tahun, dulu dimainkan sebagai ungkapan rasa syukur saat membuka hutan atau ketika panen pertanian, pada era peperangan kerajaan Blambangan dan VOC gandrung menjadi alat perjuangan, di mana pentas gandrung menjadi media untuk mengumpulkan logistik yang nantinya disalurkan pada pejuang-pejuang Blambangan yang bersembunyi di hutan. Dulu tari gandrung ditarikan oleh laki-laki, penari gandrung wanita pertama kali ada pada tahun 1895, dan era gandrung laki-laki berakhir pada tahun 1914, setelah meninggalnya penari gandrung laki-laki terakhir yaitu gandrung Marsan. Saat ini tari gandrung dikuasai oleh sebagian besar pelajar Banyuwangi. Termasuk di Kampong Temenggungan juga cukup banyak penari gandrung, baik dari anak-anak sampai dewasa.

Selain tari gandrung, di Kampung Temenggungan juga banyak warga yang menguasai berbagai jenis tari yang lain, karena memang pada era tahun 50-an sampai tahun 1965, di kampung ini menjadi pusat kesenian yang dikembangkan oleh kelompok kesenian Sri Muda. Pada era tahun 1977 sampai tahun 90-an kampung ini juga kembali menjadi pusat aktivitas kesenian yang dikembangkan oleh Kacung Tarmat melalui kelompok kesenian Banyuwangi Putra. Beberapa tari yang terkenal pada era tersebut antara lain tari "Perawan Sunthi", tari "Nelayan", tari "Jaran Goyang", tari "Nandur Jagung", dan lain-lain.

Saat ini potensi seni tari tradisional di kampung Temenggungan selain dipelajari oleh generasi muda dan pelajar, juga dikembangkan menjadi paket wisata seni budaya, baik dalam bentuk paket wisata menonton pertunjukan tari tradisional, maupun paket wisata belajar tari tradisional Banyuwangi.

Referensi

  1. ^ Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. ( Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 2-3) Village Tourism, where small group of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the local enviroment. ( Edward Inskeep, tourism Planning an Integrated and Sustainable Development Approach, hal. 166 )
  2. ^ Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10.Tahun 2009; Tentang Kepariwisataan Diarsipkan 2016-03-06 di Wayback Machine.)
  3. ^ Community Based Tourism (CBT) merupakan suatu pendekat an pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwisata yang berujung pada pemberdayaan politis melalaui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal; (Nicole Hausler); adalah bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pengembangan pariwisata; (Nicole Hausler: 2005; Tourism Forum International); adalah pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya. CBT merupakan alat pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan. Atau dengan kata lain CBT merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pari wisata yang berkelanjutan. Suansri (2003:14); merupakan pariwisata yang memperhitungkan dan menempatkan keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya, diatur dan dimiliki oleh komunitas, untuk komunitas. Anstrand (2006:14); merupakan usaha ekowisata yang dimiliki, dikelola dan diawasi oleh masyarakat setempat. Masyarakat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan ekowisata dari mulai perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Hasil kegiatan ekowisata sebanyak mungkin dinikmati oleh masyarakat setempat. Jadi dalam hal ini masyarakat memiliki wewenang yang memadai untuk mengendalikan kegiatan ekowisata. (Nugroho, 2011); merupakan integrasi dan kolaborasi antara pendekatan dan alat (tool) untuk pemberdayaan ekonomi komunitas, melalui assessment, pengembangan dan pemasaran sumber daya alam dan sumber daya budaya komunitas. Pantin dan Francis (2005:2); adalah pengembangan pariwisata yang mensyaratkan adanya akses, partisipasi, control dan manfaat bagi komunitas dalam aspek ekonomi, social, budaya, politik dan lingkungan. Demartoto dan Sugiarti (2009:19).
  4. ^ http://www.kompasiana.com/priya.purnama/sejarah-kota-banyuwangi_550f5b678133115334bc604c, diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  5. ^ http://planetkata.blogspot.co.id/2008/03/andang-cy-menggugah-semangat-lewat_22.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  6. ^ http://regional.kompas.com/read/2014/09/30/19465901/Lagu.Gendjer-gendjer.Siapa.Penciptanya., diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  7. ^ http://banyuwangi.merdeka.com/info-banyuwangi/mitos-rumah-kuno-bupati-ke-lima-banyuwangi-krt-pringgokusumo-160411u.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  8. ^ http://tourbanyuwangi.com/kawitan/, diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  9. ^ https://radiksacepek28.wordpress.com/banyuwangi/sejarah-seni-dan-budaya-kabupaten-banyuwangi/, diakses pada tanggal 4 Mei 2016