Kamaruddin Abubakar
Teungku H. Kamaruddin Abubakar, dikenal sebagai Abu Razak (lahir 1 Mei 1967) adalah mantan tokoh pejuang GAM. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Panglima Gerakan Aceh Merdeka. Biografi
APAKAH pemberontak, gerilyawan, atau pejuang? Untuk menjawabnya tergantung pada sudut mana melihatnya dan dari sisi mana kita berada. Namun Kamaruddin Abubakar, mantan Wakil Panglima Gerakan Aceh Merdeka, tak ingin mencari kata yang pas untuk kiprahnya. “Bagi kami yang penting apa yang kami lakukan di masa lalu itu dengan niat memperjuangkan keadilan bagi rakyat Aceh,” kata Kamaruddin yang akrab disapa Aburazak saat ditemui di rumahnya di Ulee Kareng, Banda Aceh. Aburazak kini adalah Wakil Ketua Umum Partai Aceh dan juga menjadi Wakil Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA), dua lembaga yang dipimpin Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM yang kini menjabat Wakil Gubernur Aceh. Dia juga dipercaya menjadi Ketua Pelaksana Dewan Pengawas Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA). Bagi Aburazak, jabatan bukan segalanya. “Kendati demikian, setiap amanah harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi amanah,” katanya. Misalnya, kata Aburazak, rakyat Aceh sudah mempercayai pemimpin Partai Aceh untuk memegang tampuk kepemimpinan di Aceh, bahkan di 13 kabupaten lainnya, “Karena itu kita harus menjalankan amanah itu dengan penuh tanggung jawab.” Ketika pilkada Aceh 2012 yang lalu, Aburazak adalah Ketua Tim Pemenangan Pusat Partai Aceh yang mengusung mantan tokoh GAM Zaini Abdullah yang berpasangan dengan Muzakir Manaf. Di tangan Aburazak semua sentral strategi pemenangan pilkada itu, bahkan termasuk ke daerah-daerah tingkat dua yang mencalonkan kader Partai Aceh sebagai calon bupati dan wali kota. Kemenangan dalam pilkada Aceh untuk pasangan Zaini-Muzakir dan juga untuk 12 kabupaten dan kota ternyata bagi Aburazak bukan berarti pekerjaan sudah selesai. “Sebenarnya, kini kita melaksanakan pekerjaan yang lebih berat tantangannya,” katanya. Urusan pemenangan, tampaknya Aburazak memang jagonya. Ia ibarat motor penggerak bagi partainya. Buktinya, menjelang pemilu legislatif April 2014, Abu Razak kembali mendapat tugas serupa. Ia mengepalai Komite Pemenangan Partai Aceh (KPPA). “Rakyat Aceh menaruh harapan besar untuk PA (Partai Aceh) agar ada perubahan untuk masa depan Aceh. Marilah kita sama-sama menjaga amanah. Apalagi tanggung jawabnya langsung atas pundak kita, atas Pemerintah Aceh.” RUMAH di salah satu pojok Ulee Kareng itu sangat asri. Ada sebuah jambô di pojok kanan halaman. Di beberapa sudutnya dicat merah, putih, dan hitam, tiga warna kombinasi bendera Partai Aceh. Tokoh masyarakat Aceh mengunjungi rumah ini silih berganti. Di situlah Aburazak bermukim bersama istri dan dua buah hatinya. “Ini anak saya dari istri saya yang kedua,” kata Aburazak. Pertama menikah pada 1995, Aburazak menyunting Mariyana Muhammad yang memberinya empat buah hati. “Saya kehilangan mereka pada tsunami 2004,” kata Aburazak. Sejenak ruang tamu terasa sunyi. Dia menarik nafasnya, dan melepasnya perlahan-lahan. Aburazak menikah kedua kalinya pada 2006 dengan Rita Satria binti Syarboyni. Mereka dikaruniai dua buah hati, Naiza Nafira (Ela) dan M. Muntazar bin Kamaruddin Jika di rumah Aburazak bermain-main dengan Naiza dan Muntazar, maka begitu melangkah ke luar pagar dia langsung bergelut dengan beragam kesibukan. Di antaranya, mengurusi partai dan organisasi mantan kombatan. Kini sudah bertambah lagi, yaitu ke kantor gubernur. Maklumlah, di sinilah kantor PDPA berada. Di lantai tiga. “Tak mengapa jika untuk kebaikan,” katanya. Dia bertekad membantu peningkatan pendapatan daerah. Lahir di Teupin Raya pada 1 Mei 1967, Aburazak adalah keluarga besar Syamaun Gaharu. Berpangkat terakhir brigadir jenderal, Syamaun adalah Panglima Kodam Iskandar Muda pertama periode 1956 – 1960. Dari salah satu adik perempuan Syamaun Gaharu, lahirlah kakek Aburazak. Jadi Aburazak ini generasi ketiga dari keluarga besar Syamaun Gaharu. Aburazak adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Ia menghabiskan masa kecilnya di kampung. Begitu juga dengan sekolahnya, mulai dari MIN hingga SMA. Pulang sekolah, dia membantu ayahnya, Abubakar, yang membuka toko kelontong. Setelah menamatkan SMA pada 1986, dia merantau ke Banda Aceh. “Saya kuliah di akademi akuntansi,” katanya. Namun tak selesai. “Pada semester tiga saya mengurus paspor untuk keluar dari Aceh,” katanya. Rupanya dia sudah menjalin kontak dengan Gerakan Aceh Merdeka. Ia ke luar negeri untuk bergabung dengan GAM dan ditampung oleh Malik Mahmud yang kini adalah Wali Nanggroe. Pada 1988, Aburazak berangkat ke Libya. “Kami ditempatkan di kamp Tajura, Tripoli. Di sinilah kami mengikuti latihan militer,” katanya. Enam bulan latihan, Aburazak terpilih menjadi pengawal Muammar Khadafi, pemimpin Libya. “Waktu itu, saya di Benghazi, bertugas selama 15 hari,” katanya. Usai menjaga Khadafi, dia ditugaskan menjaga senjata dan alat-alat tempur, hingga kemudian pada 1989 dia kembali ke Malaysia. Berselang setahun, Aburazak sudah berada di Aceh. “Kami berjumpa dengan tokoh-tokoh senior GAM yang sudah bergabung sejak 1976,” katanya. “Misalnya Pawang Rasyid, Uma, Tengku Usuf, Teungku Yusuf Husen, Teungku Yahya, dan lain-lain, semuanya ada sekitar 30 orang. Kami melapor bahwa sudah menjalankan pendidikan di luar, dan amanah Wali (Hasan Tiro) untuk memberi penerangan kepada rakyat Aceh.” Tentu saja Pawang Rasyid menyambut Aburazak dan teman-temannya dengan penuh semangat. Waktu itu, Pawang Rasyid adalah Panglima Pidie. “Begitu kami pulang, tiga daerah di Aceh bergolak, yaitu Aceh Timur, Pidie, dan Aceh Utara (Bireuen masih berada dalam wilayah Aceh Utara),” katanya. Kendati demikian, mereka tetap menjalankan tugas memberi penerangan itu. “Kami masih prajurit.” Dalam perjalanan waktu, Aburazak kemudian menjadi Panglima Pidie menggantikan Pawang Rasyid yang wafat pada 1998. Dua tahun kemudian, Panglima Abdullah Syafii mengangkatnya menjadi komandan operasi untuk seluruh Aceh. “Bersama Teungku Lah (Abdullah Syafi’i, dan Mualem (Muzakir Manaf yang waktu itu masih Wakil Panglima), kami memimpin gerilya berdasarkan arahan Wali,” katanya. Sepeninggalan Abdullah Syafi’i, Muzakir Manaf diangkat menjadi Panglima GAM, dan Aburazak menjadi Wakil Panglima GAM. Mereka tetap bersama-sama naik turun gunung. Helikpter berderu-deru terbang di pegunungan Tiro. Mereka merapat ke lokasi Mualem dan Aburazak berada. Dari heli yang mendarat, turun tiga orang dan mendekati para pemimpin gerilyawan GAM ini. “Mereka adalah tim yang sedang merumuskan perdamaian antara RI dan GAM,” kata Aburazak. Gagasan perdamaian memang sudah berlangsung sejak 2003. “Kita terus mengikuti perkembangan perdamaian. Kita tahu, kita berkoordinasi bersama dengan Zakaria Saman (salah seorang pemimpin GAM). Saya selaku komandan operasi memegang komando apakah terus berjuang atau stop, karena itu memang harus mengetahui instruksi dari pimpinan,” katanya. Aburazak sangat ingat tim yang menjumpainya itu. “Yang datang di antaranya adalah Peter Fieth dan Juha Cristensen, satu lagi dari Finlandia saya lupa namanya,” katanya. Tiga orang inilah yang bertanya bagaimana keputusan GAM yang berada di lapangan jika pimpinannya di luar negeri memutuskan berdamai. “Kami satu komando, kalau diperintah stop perang, kami stop perang. Kalau diperintah lanjut, kami lanjut. Itu saja,” katanya. Aburazak menjelaskan, bahwa komitmen mereka berada pada komando pimpinan. “Mereka adalah Wali, Malik Mahmud, dan Zakaria Saman. Jadi kalau perintah itu datang dari luar tiga pimpinan kami itu, kami tak menghiraukannya,” katanya. Setelah kedatangan ketiga orang itulah perdamaian pun terwujud pada 2005. Kemudian Aburazak bersama elite GAM merancang perubahan GAM menjadi partai politik dan satu organisasi untuk menampung mantan kombatan. Mulanya mereka membuat nama Partai GAM dengan bendera berlambang bintang bulan, tetapi tak kunjung disetujui. Akhirnya sebuah ide nama partai lahir dari diskusi Aburazak dan beberapa elite GAM di sebuah sudut Jakarta. “Waktu itu ada Meuntro Malik, Zakaria Saman, Mualem, dan Yahya Muadz,” katanya. Dari hasil mengutak-atik nama, tersebutlah Partai Aceh. “Jadi maknanya lebih luas, sebab kalau memakai nama Partai GAM kan seolah-olah partai hanya untuk kombatan saja. Kalau dengan nama Partai Aceh itu lebih luas, menjadi milik semua rakyat Aceh,” kata Aburazak. Lalu, mereka bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan langsung meneken satu surat rekomendasi untuk nama Partai Aceh pada 8 April 2008. “Sesampai di Aceh kami duduk bersama merembukkannya lagi. Waktu itu kami dipanggil Wali, dan ada juga Mualem (Muzakir Manaf),” katanya. Setelah semuanya sepakat, diumumkanlah nama partai lokal ini. “Alhamdulillah semuanya menerima dan menyambutnya dengan baik,” katanya. Maka lahirlah Partai Aceh pada 2008. Pada pemilu 2009, Partai Aceh menguasai parlemen di DPRA sampai 33 kursi, 48 persen. Bahkan pada pilkada 2012, 60 persen lebih rakyat Aceh memilih calon pemimpin dari Partai Aceh, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, dan 12 dari 23 kabupaten telah memilih kepala daerahnya dari Partai Aceh. KINI jam tidur Aburazak sudah berkurang drastis. “Terus terang, ketika konflik dulu saya dapat tidur delapan jam, sekarang cuma empat jam. Banyak tugas yang harus kita selesaikan, kita jalankan,” katanya. Para mantan kombatan yang kini berada di Partai Aceh memang sedang menanggung beban yang berat. Rakyat Aceh menggantung harapan masa depannya di sini. “Ini jelas tanggung jawab kita. Buruknya, majunya, kurangnya Aceh ini tanggung jawab kita. Tak ada kata-kata yang bisa disusun untuk beralasan,” katanya. Ia yakin, semua timnya akan bekerja dengan tulus ikhlas untuk sama-sama membangun Aceh. “Kita harap juga dari kampus-kampus, dari pengusaha-pengusaha Aceh di mana saja berada. Marilah bersama-sama membangun Aceh. Ini masa membangun,” katanya.[1] Riwayat Organisasi
Referensi
|