John Wattilete
Johannes Gerardus (John) Wattilete[1] (lahir 25 Januari 1955)[2] adalah Presiden Republik Maluku Selatan (RMS) kelima dan petahana di pengasingan mulai 2010.[3][4] Ia didahului oleh Frans Tutuhatunewa.[5][6] BiografiWattilete lahir di Belanda dari ayah Maluku Selatan dan ibu Belanda. Ia dibesarkan di Bemmel dan belajar hukum di Universitas Katolik Nijmegen (sekarang berganti nama menjadi Universitas Radboud Nijmegen). Dia lulus pada tahun 1983 dan menjadi pengacara di firma hukum Amsterdam Wattilete Advocaten. Ia terlibat dalam Gerakan Pemuda Maluku Collectief '91, yang menilai kebijakan pemerintah Republik Maluku Selatan di pengasingan (RMS) terlalu lunak. Pada pertemuan pertama mereka, presiden pengasingan Johan Manusama tiba-tiba masuk untuk mendengar kritik mereka. Tak lama kemudian, John Wattilete menjadi eksekutifnya. Kunjungan ke IndonesiaSejak tahun 1995, ia menduduki posisi Urusan Umum dalam kabinet RMS di pengasingan. Pada tahun 1999 ia melakukan perjalanan ke Indonesia dua kali dengan Pendeta Otto Matulessy sebagai delegasi RMS. Mereka bertemu dengan presiden Indonesia B.J. Habibie dan kemudian dengan penggantinya Abdurrahman Wahid. Selama periode tersebut, terjadi ketegangan yang hebat di Kepulauan Maluku antara penduduk beragama Kristen dan Muslim di wilayah tersebut dan sebagai akibat dari konflik sipil, banyak orang terbunuh dan terluka di kedua sisi. Presiden RMS saat itu Frans Tutuhatunewa tidak begitu senang dengan delegasi yang dipelopori oleh Wattilete dan Matulessy. Dalam retrospeksi, Wattilete yang lebih pragmatis juga mengakui bahwa percakapan itu sia-sia dan tidak menghasilkan apa-apa. Presiden RMSSekitar tahun 2003, Wattilete menggantikan Pieter Thenu sebagai Perdana Menteri / Wakil Presiden RMS. Pada bulan April 2009, diumumkan bahwa Presiden Tutuhatunewa akan segera pensiun dan bahwa Wattilete akan menjadi penerus presiden Tutuhatunewa yang kini berusia 85 tahun. Wattilete menjadi presiden RMS dan dilantik pada 17 April 2010. Hampir seluruh pengurus RMS terdiri dari orang Maluku yang lahir atau bertempat tinggal di Belanda. Dia membuat pernyataan dalam sebuah wawancara dengan Nederlands Dagblad yang mengatakan bahwa orang Maluku harus dapat berbicara dengan bebas tentang masa depan politik pulau mereka dan bahwa baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah RMS di pengasingan harus mematuhi hasil tersebut. Jika orang Maluku menunjukkan bahwa mereka tidak lagi berjuang untuk negara mereka sendiri, Wattilete akan siap untuk memberikan konsekuensi padanya, seperti yang dia katakan. Jika kemerdekaan langsung tidak diinginkan, ia berpendapat bahwa pemerintahannya akan menerima status otonom tetapi sebagai bagian dari negara Indonesia untuk saat ini (situasi yang mirip dengan Aceh), dengan lebih banyak suara oleh orang-orang Maluku dalam urusan Maluku mereka sendiri. Tuntutan kepada Presiden SBYPada Oktober 2010, John Wattilete menyatakan melalui media bahwa Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) di pengasingan telah mengajukan tuntutan penangkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui mekanisme kort geding (prosedur dipercepat/pengadilan singkat) pada pengadilan Den Haag atas tuduhan pelanggaran HAM. Dengan proses mekanisme kort geding, John Wattilete berkeyakinan bahwa putusan pengadilan akan keluar sebelum atau selama kunjungan Presiden Republik Indonesia berada di Belanda. Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Junus Effendi Habibie, menyatakan bahwa keamanan Presiden SBY tetap dijamin oleh Pemerintah Belanda melalui Perdana Menteri Jan Peter Balkenende, bahkan Pemerintah Belanda tidak mengakui keberadaan RMS.[7][8] Pada 5 Oktober 2010, SBY menggelar jumpa pers guna mengumumkan pembatalan dirinya ke Belanda. SBY mengatakan bahwa kunjungan atas undangan Ratu Belanda itu dibatalkan karena adanya tuntutan penangkapan dirinya saat berkunjung ke Belanda. Bagi SBY, tuntutan penangkapan Presiden Republik Indonesia saat berkunjung ke Belanda mengusik harga diri bangsa Indonesia. Dengan jumpa pers yang dilakukan SBY, media-media di Belanda, termasuk De Telegraaf, menyebut sikap SBY merupakan penghinaan kepada Pemerintah Belanda dan Ratu Beatrix selaku pihak yang mengundang SBY dan telah menjamin keamanannya.[7][8][9][10] Referensi
|