Ie beuna


Halaman ini berisi artikel terkait pengetahuan lokal masyarakat dalam definisi kemendikbud.

Ie Beuna

Ie Beuna adalah gelombang tinggi yang berasal dari laut melanda daratan yang disebabkan karena gempa. Ada juga definisi lain yang disampaikan orang-orang Aceh tentang Ie Beuna yang bermakna air bahaya, yang datang dari tengah laut dengan ketinggian setinggi pohon kelapa.

Sejarah Ie Beuna

Di zaman kesultanan Aceh kawasan pesisir di Kota Banda Aceh seperti Ulee Lheue, Meuraksa, Banda Aceh, Peukan Bada, Aceh Besar, Lambaro Skep, Kajhu dan daerah lain yang diterpa Ie beuna dulunya dipenuhi tanaman mangrove dan pohon nipah.

Sangat berbeda jika dibandingkan dengan zaman sekarang, telah banyak berdiri bangunan pertokoan dan perumahan di daerah itu. Konon, pada zaman dahulu orang Aceh yang belajar ilmu agama di dayah yang berada di pinggir pantai, para santri diwajibkan oleh guru/syekh, setiap berpergian, para santri diwajibkan selalu membawa pohon bakau untuk ditanam di daerah pinggir pantai, hal ini agar tidak naik, air laut naik ke daratan.[1]

Ie Beuna merupakan pengetahuan lokal yang pernah didapatkan dari para nenek moyang orang Aceh sebelumnya, namun pengetahuan itu hilang dan tidak diwariskan lagi pada masyarakat sekarang.

Seharusnya disaat gempa dan Ie Beuna terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tidak banyak menelan korban jiwa, tetapi karena ketidaktahuan masyarakat Aceh akan tanda-tanda Ie Beuna, pada saat itu masyarakat yang berada di sekitar pantai melihat surutnya air dan mengambil ikan-ikan yang terdampar, mereka tidak tahu setelah air laut surut akan datang gelombang yang sangat besar ke daratan.

Istilah Lain Ie Beuna

Smong di Simeulue

Peristiwa ini sangat berbeda dengan kejadian gempa dan Ie Beuna di Kabupaten Simeulue, padahal pusat gempa terjadi di dekat Pulau Simeulue, seharusnya di Simeuluelah banyak korban jiwa akan tetapi korban jiwa hanya berjumlah 6 orang saja.

Mengapa ini bisa terjadi? Ini terjadi karena masyarakat Simeulue masih memiliki pengetahuan lokal yaitu Smong. Smong dalam arti luas dapat diartikan kekacauan yang terjadi diakibatkan bencana alam contohnya Ie Beuna atau Tsunami.

Sehingga setiap kejadian gempa bumi yang dahsyat, masyarakat Simeulue berlari menjauhi pantai ke tempat yang lebih tinggi, sesuai dengan pesan leluhur masyarakat Simeulue yang disampaikan dalam bentuk syair yang menyebutkan jika terjadi gempa kuat, disusul air laut surut, jangan ketepi pantai mengambil ikan yang bermunculan di tepi pantai, karena sebentar lagi akan datang Smong, Jika itu terjadi, larilah ke gunung selamatkan diri, anak-anak, perempuan dan orang tua menjauhi pantai, berteriaklah Smong, Smong, Smong.[2]

Gloro di Singkil

Menurut Yarmen Dinamika, yaitu seorang warga asal Singkil yang pernah menulis buku berjudul Tsunami Aceh Getarkan Dunia menyebutkan bahwa istilah gloro timbul sejak singkil dilanda Smong pada tahun 1907. Pada tahun 1907 Simeulue juga mengalami hal yang sama dan memunculkan istilah Smong. Menurutnya Gloro berasal dara bahasa Melayu yaitu Gelora, mayoritas warga Singkil penutur bahasa Aneuk Jame yang mirip dengan bahasa Minang sehingga gelora dilafalkan menjadi Gloro.

Penulis buku Singkil Dalam Konstelasi Sejarah Aceh, Sadri Ondang Jaya menyebutkan dalam tulisannya bahwa gempa yang terjadi tahun 1861 mengakibatkan Kampung Fansur tenggelam digerus ombak. Sekarang hanya tinggal beberapa makam yang membuktikan bahwa di bibir pantai Gosong Telaga pernah terdapat kampung yang bernama Fansur.[2]

Referensi

  1. ^ Nur, Aslam, dkk (2018). Ensiklopedia Kebudayaan Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. hlm. 228. ISBN 978-602-73380-0-5. 
  2. ^ a b Dadek, Teuku, dkk. (2019). Smong Purba Jejak Gempa dan Tsunami Aceh. Banda Aceh: Badan Penanggulangan Bencana Aceh. hlm. 25. ISBN 978-623-90210-0-9.