Holocaust di Indonesia adalah sebuah perencanaan upaya pemusnahan massal atau genosida terhadap orang-orang Yahudi atau yang lebih dekat dikenal sebagai Holocaust, namun Holocaust ini bukan dilakukan oleh Jerman Nazi, melainkan dilakukan oleh tentara pendudukan Kekaisaran Jepang - yang merupakan sekutu Jerman Nazi dalam Blok Poros selama Perang Dunia II - di Asia, terutama Indonesia ( yang pada saat itu masih bernama Hindia Belanda). Kekaisaran Jepang dan Jerman Nazi yang merupakan dua dari tiga negara penanda tangan Pakta Tripartit, adalah negara Blok Poros yang paling aktif dalam jalannya Perang Dunia II, sehingga sedikit banyak kesamaan diantara keduanya, dan Holocaust terhadap Bangsa Yahudi menjadi salah satu kebijakan bersama antara Jepang dan Jerman. Namun, rencana Holocaust di Indonesia adalah salah satu rencana Holocaust yang gagal dilaksanakan.[1]
Latar Belakang
Pada 1921, saat Belanda masih berkuasa atas Hindia Belanda (sekarang Indonesia), terdapat sedikitnya 2000 orang Yahudi atau keturunan Yahudi yang bermukim di Pulau Jawa. Orang-orang Yahudi atau keturunan Yahudi yang ada di Jawa itu sudah bermukim di Nusantara sejak awal penjajahan Belanda pada abad 17, kebanyakan dari orang-orang Yahudi atau keturunan Yahudi yang ada di Jawa itu berprofesi sebagai pedagang. Namun, orang-orang Yahudi yang ada di Nusantara pada saat itu lebih memilih untuk tidak menunjukkan secara eksplisit identitas Yahudinya, orang-orang Yahudi itu kemudian lebih memilih untuk menunjukkan identitas kewarganegaraannya, dan kebanyakan berasal dari Belanda, Jerman, Austria, Rumania, dan Irak. Semua orang Yahudi ataupun keturunan Yahudi yang ada di Nusantara pada saat itu kemudian berasimilasi dengan warga koloni lainnya, terutama Belanda.[2]
Perubahan sikap tentara pendudukan Kekaisaran Jepang terhadap orang Yahudi di Hindia Belanda dimulai pada 1943, tepatnya setelah adanya kunjungan dari sekelompok perwira Jerman Nazi yang melakukan kunjungan ke Surabaya, Jawa Timur. Para perwira Jerman Nazi itu kemudian menemui otoritas tentara pendudukan Kekaisaran Jepang - yang merupakan sekutu mereka - kemudian menanyakan perihal siapa saja yang menjadi tawanan perang Jepang. Tentara pendudukan Jepang kemudian memberikan jawaban kepada para perwira Jerman, bahwa Jepang hanya menahan orang-orang berkewarganegaraan asing yang berasal dari negara-negara Blok Sekutu, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Britania Raya. Para perwira Jerman yang mengetahui bahwa orang Yahudi masih dibiarkan bebas oleh Kekaisaran Jepang kemudian menjadi marah, para perwira utusan Jerman itu kemudian merekomendasikan kepada unit polisi khusus Kekaisaran Jepang, Kempetai untuk mengikuti jejak Jerman Nazi, yaitu ikut menangkap dan memburu orang-orang Yahudi. Akhirnya, melalui Kempetai, tentara pendudukan Kekaisaran Jepang kemudian membangun sebuah kamp interniran baru bagi orang Yahudi di daerah Tangerang dan di kamp itu kemudian tertulis sebuah banner besar yang bertuliskan "Banksa Jehudi", sebagai penanda bahwa kamp itu diperuntukan bagi tawanan yang berasal dari keturunan Yahudi.[3]
Kekaisaran Jepang yang sudah mematuhi usulan dari Jerman Nazi untuk memburu orang-orang Yahudi, kemudian mengadopsi ide anti-semitisme yang dipopulerkan oleh Partai Nazi dan menjadikannya sebagai propaganda anti-Yahudi di Indonesia, salah satu propaganda anti-Yahudi itu dilakukan oleh seorang perwira Kempetai bernama Murase pada 2 April 1943 melalui sebuah siaran radio. Selain melalui radio, Kekaisaran Jepang kemudian juga menyebarkan isu tentang "Konspirasi Dunia Yahudi" dalam sebuah surat kabar, Jawa Shimbun edisi 10, 11, dan 12 Agustus 1943, dalam surat kabar itu Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah bagian dari komplotan Yahudi Internasional, demikian pula dengan perusahaan milik Belanda yang dikaitkan dengan organisasi-organisasi Yahudi Internasional, seperti Freemason, Rotary Club, dan Lions Club.[3]
Setelah Perang Dunia II berakhir, para tawanan Yahudi di Tangerang kemudian dipindahkan ke Jakarta, sebagian dari orang-orang Yahudi yang ditahan Jepang itu kemudian ada yang memilih untuk pulang ke Eropa atau pergi ke Israel atau Amerika Serikat, namun sebagian lainnya, terutama orang Yahudi Irak yang memiliki kemiripan fisik dengan Bangsa Arab memilih untuk kembali ke Surabaya dan wilayah Jawa Timur yang lain,[4] karena banyak orang Indonesia yang mengira orang Yahudi Irak itu adalah orang-orang Arab. Orang-orang Yahudi yang menetap di Surabaya itu kemudian mendirikan sebuah sinagog kecil yang menjadi kontroversi pada 2009 dan akhirnya ditutup.[3]