Prof Ir Hardjoso Prodjopangarso (09 Mei 1923 – 10 Agustus 2013) adalah seorang guru besar Teknik Sipil, Fakultas Teknik UGM yang juga dikenal sebagai penemu teknologi tangki septik untuk daerah rawa (pasang surut) bernama Tripikon-S pada tahun 1989 dimana teknologi ini telah diimplementasikan dibeberapa kota seperti Jakarta, Palembang, Kudus, Semarang, Pontianak, Banjarmasin hingga Papua. Hardjoso mendapatkan gelar Guru Besar Teknik pada tahun 1968, Penghargaan Satyalancana Pembangunan pada tahun 1974 dan Penghargaan di Bidang Ilmu dan Teknologi dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 1977 bersama Prof. Dr-Ing. Ir. BJ Habibie dan Prof. Dr. Teuku Jacob[1][2].
Kehidupan dan Perjuangan Pertahankan Kemerdekaan
Hardjoso lahir di Surakarta pada tahun 1923, ia memiliki ketertarikan terhadap ilmu teknik sipil yang mempelajari penyediaan sarana dan prasarana seperti Jalan, Jembatan dan gedung umum untuk masyarakat umum. Pada tahun 1945, ia mendaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik (STT) Jogjakarta yang kemudian bergabung menjadi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1949. Dengan adanya penggabungan STT Jogjakarta kedalam UGM mengharuskan seluruh mahasiswa termasuk Hardjoso untuk mendaftar ulang. Ia menjadi mahasiswa pertama yang mendaftar ulang dan membuat dirinya sebagai mahasiswa pertama UGM[3].
Kondisi Indonesia pasca proklamasi 1945 belum stabil dimana suasana peperangan masih lebih terasa, hingga terjadinya Agresi Militer Belanda I (1947) & Agresi Militer Belanda II (1948). Dimana kondisi ini menjadikan Hardjoso ikut mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan bersama mahasiswa lainnya. Hingga pasukan khusus dari Mahasiswa ini dijuluki sebagai Korp M (Mahasiswa). Hardjoso menjadi Kepala Staf Korp M Brigadir 17 dengan pangkat terakhir Letnan Satu. Ia bersama teman seperjuangan bertugas di Gunung Wilis hingga ditangkap oleh Belanda karena membunuh pasukan Belanda dan dimasukkan ke penjara selama 6 bulan. Sebelum dimasukkan ke penjara, Pimpinan Pasukan Belanda yang mengetahui tahanannya adalah mahasiswa sempat mengajak diskusi tahanannya. Bukan mengenai hal yang berhubungan dengan perang, namun mengenai pengetahuan matematika yaitu diferensial integral karena ingin membandingkan pengetahuan antara di Belanda dan di Indonesia. Hardjoso dilepaskan dari penjara setelah adanya serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Ia kembali menjadi mahasiswa pada awal 1950 dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1953[3].
Hardjoso kemudian bekerja di Departemen Kesehatan yang diselingi dengan mengajar di kampus sejak 1956. Baru pada tahun 1958 ia menjadi dosen penuh di Teknik Sipil UGM[4] dan ikut serta dalam bebeberapa penelitian yang di danai pemerintah diantaranya Desain Pembersihan Air/Distribusi Air dibeberapa Kota di Indonesia (1958), Saluran Air 7 Kilometer Menggunakan Bambu (1960), Kegiatan Survai di Pulau Seram (1963) dan Studi Pengairan Pasang Surut di Kalimantan, Irian Jaya dan Sumatera (1968 - 1990)[2].
Penemuan
Hardjoso menemukan beberapa teknologi yang dapat digunakan secara langsung oleh masyarakat diantaranya adalah
Tripikon-S
Saat mempelajari pengairan pasang surut di Kalimantan, Irian Jaya dan Sumatera, Hardjoso mendapati kondisi masyarakat seringkali terkena penyakit Muntaber atau Gastroenteritis saat musim kemarau. Dimana masyarakat pada wilayah tersebut belum banyak memiliki tangki septik karena mengalami kesulitan untuk membangun tangki septik konvensional akibat tiadanya lahan dan lahannya yang selalu tergenang air (pasang surut) ataupun air tanah dangkal[5].
Di Laboratorium Proyek Pengairan/Pembukaan Persawahan Pasang Surut P4S PU-FT UGM, Hardjoso menemukan teknologi tangki septik baru untuk daerah rawa yang menggunakan Tiga Pipa Konsentris atau Tripikon-S pada tahun 1989. Teknologi ini memiliki prinsip perombakan dalam 3 pipa yang berbeda diameternya, dimana Limbah Padat atau Cair masuk melalui pipa kecil yang terhubung dengan jamban dan mengalami perombakan di dalam pipa sedang. Pada bagian atas pipa sedang ini terjadi proses aerobik, bagian tengah pipa sedang merupakan lintasan dan bagian bawah pipa sedang terjadi proses anaerobik. Dari pengetesan oleh Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR di Banjarmasin, hasil Tripikon-S ini memuaskan hingga memenuhi standar baku mutu air limbah[5].
Penemuan Lain
Beberapa temuan lainnya adalah Nalareksa (Alat Analisa Udara)[6], Subromarto (Bangunan Pembakar Sampah), Jumantara (Stasiun Cuaca Kecil), Alat Pembersih Air Tanpa Bahan Kimia dan Pinastik (Pipa Tunas Septik)[7][8].
Pensiun Dini
Pada tahun 1980 atau saat berusia 56 tahun, Hardjoso mengajukan pengunduran diri sebagai dosen UGM karena ingin menghasilkan karya keilmuan. Sebagian besar senat UGM awalnya menentang pengunduran dirinya dikarenakan sebagai seorang Guru Besar masih diperbolehkan aktif mengajar hingga usia 70 tahun. Hanya dua senat yang kala itu mendukung keputusannya yaitu Prof. Sukadji Ranuwihardjo (Rektor UGM) dan Prof. Dr. Ir. Herman Johannes[1].
Dan Hardjoso membuktikan janjinya dengan menghasilkan beberapa temuan seperti Tripikon-S, Nalareksa dan Subromarto beberapa tahun setelah pengunduran dirinya tersebut. Ia tetap melanjutkan pengembangan keilmuannya di Laboratorium P4S PU-FT UGM hingga menjelang akhir hayatnya pada tahun 2013[9].
^Soeparman, Author (2002). Pembuangan Tinja dan Limbah Cair : Suatu Pengantar. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. ISBN979-448-551-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)