Ismail Marzuki tampil bersama grup keroncong Lief Java pada sekitar tahun 1940 sebagai penyanyi dan penulis lagu di Studio Orkes NIROM II di Tegalega, Bandung, sebagai bagian dari siaran radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio-omroepmaatschappij).[2][4] Ismail Marzuki kembali ke kota Batavia setelah menikahi rekan sesama penyanyi di grup, Eulis Zuraidah. Namun kenangan indah selama menetap di kota Bandung selalu melekat dalam ingatannya. Hal tersebut mendorongnya untuk menciptakan lagu berbahasa sunda berjudul "Hallo Bandung",[2] serta beberapa lagu bertema serupa seperti "Bandung Selatan di Waktu Malam" dan "Saputangan dari Bandung Selatan". Pada waktu itu ungkapan "Hallo Bandoeng" sudah sangat dikenal sebagai tanda panggil dan sapaan pembuka oleh Radio Kootwijk saat melakukan panggilan radio telegraf dengan kota Bandung. Ungkapan tersebut menjadi semakin terkenal melalui lagu berbahasa Belanda berjudul "Hallo Bandoeng" oleh Willy Derby, yang penjualannya mencapai lebih dari 50.000 kopi, suatu jumlah yang luar biasa pada zaman itu.[5]
Versi awal dari lirik lagu "Hallo Bandung" menunjukkan bahwa pada awalnya lagu ini lahir sebagai ungkapan rasa rindu yang sentimental, bukan dimaksudkan sebagai lagu perjuangan. Kemudian selama masa pendudukan Jepang lagu ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari propaganda pihak tentara Jepang, yang antara lain berusaha mengikis pengaruh budaya Belanda serta mendorong penggunaan bahasa Indonesia di penjuru wilayah jajahan. Walaupun begitu, versi kedua hasi terjemahan lagu tersebut tetap menggambarkan maksud aslinya sebagai lagu kenangan.[2][3]
Setelah pernyataan kekalahan Jepang, para pejuang kemerdekaan Indonesia kemudian menghadapi masuknya tentara NICA Belanda serta tentara Sekutu dari Kerajaan Inggris, yang berlangsung hingga selama empat tahun. Masa ini dikenal sebagai periode Revolusi Nasional. Pada awal masa ini Ismail Marzuki bersama istri mengungsi ke Bandung demi menghindari pendudukan tentara Inggris dan Belanda di Jakarta. Namun sayang tidak lama setelah mereka menetap di Bandung, terbit ultimatum dari pihak Inggris yang memerintahkan pihak tentara pejuang Indonesia untuk segera meninggalkan kota. Kemudian pihak pejuang Indonesia membalas dengan sengaja membakar bangunan dan gedung di penjuru wilayah selatan kota Bandung sebelum mereka meninggalkan kota pada 24 Maret 1946, yang kemudian dikenal sebagai Bandung Lautan Api . Peristiwa ini mengilhami Ismail Marzuki beserta para pejuang Indonesia saat itu untuk mengubah dua baris terakhir dari lirik lagu "Hallo Bandung" menjadi lebih patriotis dan membakar semangat perjuangan. Segera setelah itu, lagu "Halo, Halo Bandung" menjadi sangat dikenal dan menjadi salah satu lambang perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah[2][3][6]