Perjalanan leluhur dimulai di tanah kuno Nunusaku yang mana banyak orang yang berpencar dari sana dalam kelompok-kelompok menurut kaumnya masing-masing. Salah satu kelompok yang keluar adalah Inama Haulaleipesia. Kisah berpencarnya orang dari Nunusaku dilantunkan dalam sebuah kapata : "Tui-tuiya hei lete, hei lete Hei lete Nunusaku o, Nunusaku o".[2]
Inama Haulaleipesia merupakan golongan persekutuan adat Patasiwa yakni Patasiwa Putih[3]. Mereka keluar melalui Wae Haulalei yang merupakan percabangan dari Wae Sapalewa menuju ke arah timur Pulau Seram hingga pada akhirnya mendiami di sekitar pegunungan Lumute tepatnya pada Gunung Koli-Kolia yang terdapat Wae Sune Marakuti. Kisah ini dilantunkan dalam kapata : "Upu kupa nia lewe matu wane e, matu wane lete koli-kolia.[4][2]
Penamaan Wae Sune Marakuti tempat dimana kelompok Inama Haulaleipesia berdiam berasal dari gelar leluhur yakni "Puti" (penyebutan lain : Putio, Pui, Putine, Putile) yang mana kata Mara berarti gelar dan Kuti berasal dari bahasa Wemale Kutile yang artinya putih.[5] Kata sune berarti tempat istirahat sementara berupa rumah kecil yang dibuat didekat sungai.
Seiring tahun berganti, terjadilah peperangan dengan kelompok Patarima. Yang mana penguasa Patarima yakni Marihuni sejak keluar dari Nunusaku membawa lambang Patasiwa yakni "Manumake" yaitu kasturi raja (manu) dan kuskus putih (makele puiro). Pada akhirnya Marihuni dikalahkan dan lambang Patasiwa Manumake dipikul oleh seorang Upu dengan julukan "Puti". Kisah ini dilantunkan dalam kapata : "Lei manu o, hatu lei manu o! Patasiwa kuru, hatu lei manu o! Ria molo nusa ria molo. Siwa sipameri toi yama rima o! Siwa reu o, yana siwa reu o, yana siwa reu, saka manu make".[6]
Sejak itu orang-orang mulai turun ke arah timur dan selatan Pulau Seram. Kelompok Inama Haulaleipesia yang merupakan Patasiwa Putih turun ke arah Wae Tone dan lanjut ke arah Wae Tana. Kisah ini dilantunkan dalam kapata : "Kamu kamu lumute kuru lena-lena, lena tone tana waile pele pele o".[2]
Kemudian mereka menempati wilayah yang dikemudian hari disebut Amahai. Dalam sebuah Musyawarah atau Amarale terucap kalimat "AMA MAHAI NAMA NAMAKALA"[7]. Yang mana seorang Upu Ama yang sebagai pemimpin Inama Haulaleipesia yakni sebagai Upu Latu yang sejak dulu masih hidup telah memimpin mereka sampai dengan selamat ke tempat tujuan mereka. Dari Amarale ini disepakati lah bahwa kekuasaan kepemimpinan diserahkan kepada seorang Upu dengan julukan "Puti" yang telah berhasil merebut dan memikul lambang Patasiwa. Maka Upu tersebut disebut "Hala Latu" yakni memikul kepemimpinan dari Inama Haulaleipesia.
Inama Haulaleipesia disebut juga Inama Amahai yang mula-mula memiliki teung atau teuno "IRALATU". Kata ini berasal dari akar kata Ira (e'ira) yang artinya besar, dan kata Latu yang artinya Pemimpin; Kepala Suku; Tuan; Penguasa dalam suatu masyarakat adat. Jadi Iralatu berarti Pemimpin Besar dalam suatu masyarakat adat.
Etimologi
Kata Hallatu berasal dari akar kata "Hala" dan "Latu". Dalam bahasa Seram Maluku, kata Hala artinya pikul, memikul. Latu artinya Pemimpin; Kepala Suku; Tuan, Raja, Penguasa dalam suatu masyarakat adat.[9] Jadi Hallatu berarti yang memikul kekuasaan atau kepemimpinan dalam suatu masyarakat adat.
Soa
Mata Rumah Hallatu sebagai Mata Rumah Asli Amahai Lounusa Ma'atita berada pada Soa (Usu) Lesi. Dengan simbolnya 5 Daun Keladi dan juga perahu yang dalam bahasa Amahai disebut Haka.
Warna Soa Lesi mulanya bewarna hijau, yang mengacu pada perlambangan akan tumbuh-tumbuhan atau hutan. Namun akhirnya kembali kepada makna sesungguhnya akan kata Lesi, maka warna kuning menjadi ciri khas. Warna kuning bermakna Lesi, yang dalam bahasa Amahai (Kouro) berarti kemenangan, kelimpahan. Hal ini didasari ketika jaman dulu setelah menang dalam peperangan, maka mereka akan menabur bunga cempaka kuning. Peristiwa ini dilantunkan dalam kapata : one mana one, yeti sampaka'lo.[6]
Selain itu pemaknaan warna kuning didasari oleh posisi Soa (Usu) Lesi pada Baileo (Utaro) berada di sebelah timur dekat dengan batu pamale. Posisi timur menandakan matahari terbit, sinar cahayanya menjadi pemaknaan akan warna kuning.
5 Daun Keladi melambangkan 5 Mata Rumah dalam Soa Lesi yaitu :
Hallatu, Pu'u Lesi Ruma Iralo Teuno Maserua Ruma Hau'ro (Mata Rumah Parentah / Raja)
Hallatu Maweno, Pu'u Lesi Maweno Teuno Maserua
Hallatukilang, Pu'u Kilang HatuputiTeuno Polomahu
Hallatu Pele, Pu'u Pele Sapulete Teuno Uralesi
Wakano, Pu'u Waka Paliama Teuno Hakalesi (Mata Rumah ini leluhurnya menikah dengan perempuan dari mata rumah Hallatu, dikemudian hari karena suatu hal pergi mengasingkan diri, itulah kenapa pada simbol 5 daun keladi, ada 1 daun yang tertutup).
Negeri Lama dari Soa Lesi terletak di Gunung Kerai atau Bulu Kapur, Wae Ura.
Pada bangunan rumah adat atau yang disebut Baileo yang dalam bahasa Amahai disebut Utaro, posisi pintu Soa Lesi terletak di arah timur bagian belakang dekat dengan batu pamale atau disebelah kanan dari jantung yang merupakan simbol ditengah-tengah Baileo.
Adat
Dalam Adat di Negeri Amahai, mata rumah Hallatu yang masuk dalam Soa (Usu) Lesi bersama Soa (Usu) Latu memiliki gelar adat yakni Siamura Aherai yang juga disebut Soa Laki-Laki atau Manawa'lo.
Kata Siamura berarti mengacu pada daratan dan kata Aherai mengacu pada gunung yang sebagai tempat melihat atau memantau ke arah pesisir atau laut.
Mata Rumah Hallatu yang berada dalam Struktur Adat Negeri Amahai Lounusa Ma'atita :
Dari pengujian sampel DNA yang telah dilakukan terutama pada uji garis paternal (Y-DNA), garis laki-laki Hallatu berada pada Y-DNA Haplogroup S, tepatnya pada subclade S1d. Haplogroup S adalah haplogroup paling umum pada laki-laki di Dataran Tinggi Papua Nugini. Hal ini juga relatif umum terjadi di beberapa wilayah Oseania, Wallacea, dan di kalangan penduduk asli Australia, serta Mikronesia.
Dari daftar sampel penguji Y-DNA, sampel keturunan Hallatu berada sama-sama dalam Haplogroup S1d yakni berbagi garis leluhur yang sama dengan sampel keturunan seorang bangsawan yang adalah salah satu Pangeran Ternate yaitu Kyai Chili Daijan Mamoedij yang kemudian berpindah ke Sulawesi yang oleh otorisasi Belanda diasingkan sebagai budak ke Cape of Good Hope Afrika Selatan dan diberi julukan Jonker Van Makassar dan kemudian ia bersama isterinya menjadi budak merdeka.[10][11]
Sampel lain dalam proyek pengujian DNA yang berbagi garis leluhur paternal yang sama pada haplogroup S dengan Hallatu adalah sampel dari keturunan Raja Rurutu yakni Epatiana Teuruarii, yang mana keluarganya berasal dari garis keturunan utama di Huahine.[10]
^Sejarah Amahai, Panitia Seminar (1991). "Amahai Dalam Lintasan Sejarah". Negeri Amahai.
^U.S Army, Washington, D.C, Army Map Service (CV) (1944, Redrawn from a Dutch Sketch Map dated 1921). "AMAHAI - CERAM". U.S.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Stokhof, ed, W.A.L. (1981). "HOLLE LISTS: VOCABULARIES IN LANGUAGES OF INDONESIA VOL.3/2 CENTRAL MOLUCCAS: SERAM (II)". Department of Linguistics Research School of Pacific Studies. THE AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
^ ab"FamilyTreeDNA - Genetic Testing for Ancestry, Family History & Genealogy". www.familytreedna.com (dalam bahasa Inggris).Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
^Upham, Mansell G. "Uprooted Lives - Unfurling the Cape of Good Hope's Earliest Colonial Inhabitants (1652-1713)". South Africa.
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkankategori. Tag ini diberikan pada Oktober 2024.