Hak fetus
Dalam bahasa Inggris, janin disebut fetus yang artinya vertebrata yang belum lahir atau belum menetas khususnya setelah mencapai struktur dasar dari jenisnya.[1] Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia memuat perlindungan hak janin.[2] Dalam pasal 53 dinyatakan bahwa, “Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Anak dalam kandungan yang dimaksud adalah janin yang nantinya akan tumbuh menjadi anak dan berkembang selayaknya manusia. Janin merupakan langkah awal kehidupan yang harus dihormati oleh setiap manusia dan dijaga karena janin nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang kelak juga akan menghasilkan hal yang sama. Di samping peraturan perundang-undangan tersebut, hukum adat dan hukum Islam juga mengatur tentang keberadaan calon anak. Namun janin tidak dapat melindungi hak-haknya saperti orang dewasa, oleh karena itu diperlukan bantuan orangtuanya untuk mengurusi hak-haknya. Memang dalam hukum tidak dijelaskan secara detail mengenai hak janin, lebih menjelaskan tentang anak, akan tetapi janin merupakan cikal bakal anak yang nantinya menjadi subyek hukum atau pelaku hukum. Menurut batasan usia, untuk hukum tertulis yang terdapat di dalam hukum perdata berbeda-beda tergantung dari perundang-undangannya.[3] Pengertian Anak dalam KandunganAnak dalam kandungan tidak bisa dilepaskan dari kehamilan seorang ibu. Terkait dengan hubungan tersebut, kehamilan dapat diartikan adanya bayi (anak), betapapun sederhananya, dalam rahim seorang ibu. Arti kata ‘betapapun sederhananya’ adalah semenjak terbuahinya sel telur oleh sperma, sehingga membentuk embrio. Tidak perlu bahwa bayi tersebut benar-benar telah berentuk sempurna seperti bayi yang dilahirkan. Penjelasan ini diperlukan untuk menganalisis ada atau tidaknya hubungan kewarisan antara pewaris dengan anak yang ada dalam kandungan.[4] Perkembangan sains dan teknologi berpengaruh mengembangkan keturunannya, sehingga bila diperhatikan ada 2 (dua) cara memperoleh keturunan. Pertama, dilakukan melalui hubungan langsung antara lawan jenis. Kedua, dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan teknologi. Periode Fetus Sejak Dimulai hingga Minggu KesepuluhPeriode fetus atau dikenal dengan priode janin dimulai sejak akhir bulan kedua sampai lahir. Pada minggu kesembilan punggung bayi akan sedikiit menegak dan tulang ekornya sedikit memendek. Proporsi kepala masih lebih besar dari anggota lainnya dan bagian kepalanya masih menekuk ke arah dada. Kedua mata telah berkembang dengan baik, namun masih ditutupi oleh membran kelopak. Janin dapat melakukan gerakan-gerakan kecil setelah otot-ototnya mualai berkembang, anggota badannya juga mulai berkembang. Perkembangan lengan dan jari tangan lebih cepat daripada tungkai dan jari kaki. Pada tahap ini kelopak tangan janin telah memiliki batas jari tangan yang jelas. Kelima jari tangan tampak terpisah satu sama lain. Minggu kesepuluh janin telah memiliki rancangan struktur tubuh yang sempurna, janin mulai berwujud seperti manusia.[5] AborsiIstilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus provocatus criminalis. Abortus provocatus medicinalis yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan medis. Sedangkan abortus provocatus criminalis yaitu penguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan melanggar ketentuan hukum yang berlaku.[6] Secara definisi aborsi adalah berhentinya (mati) dan dikeluarkannya kehamilan sebelum 20 minggu (dihitung dari hari terakhir) atau berat janin kurang dari 500gr, panjang kurang dari 25 cm. Definisi medis mengartikan bahwa aborsi adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum viability, sebelum janin mampu hidup sendiri di luar kandungan, yang diperkirakan usia kehamilannya di bawah usia 20 minggu (WHO). Definisi ini jelas mengandung makna bahwa perbuatan aborsi dilakukan terhadap janin yang tidak dapat hidup di luar kandungan. Dalam terminologi fiqih, aborsi pun dipahami dalam berbagai pengertian. Ibrahim an-Nakhai menjelaskan aborsi sebagai pengguguran janin dari rahim ibu hamil baik sudah berbentuk sempurna atau belum. Dalam perspektif jinayah Abdul Qadir Audah sebagaimana dikutip Maria Ulfa anshar menyatakan bahwa aborsi adalah pengguguran kandungan dan perampasan hak hidup janin atau perbuatan yang memisahkan janin dari rahim ibunya. Secara substantif Nasarudin Umar coba mengkongklusikan bahwa aborsi adalah upaya pengakhiran masa berlangsungnya kehamilan melalui pengguguran kandungan (janin), sebelum janin itu tumbuh dan berkembang menjadi bayi. Dengan bahasa yang berbeda Rahmi yuningsih mendefinisikan aborsi sebagai tindakan terminasi kehamilan yang tidak diinginkan melalui metode obat-obatan atau bedah. Dapat dipahami bahwa aborsi adalah upaya mengakhiri kehamilan dengan mengeluarkan janin sebelum waktunya, baik secara alamiah/spontan atau dengan menggunakan alat-alat sederhana maupun teknologi.[7] Aborsi erat kaitannya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita tersebut. Aborsi selalu menjadi perbincangan baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lainnya. Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik bagi diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Berbicara tentang persoalan aborsi saat ini bukan lagi merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya terjadi di mana-mana serta dapat dilakukan oleh siapa saja baik itu secara legal maupun ilegal.[8] Legalitas Aborsi dalam Hukum Hak Asasi Manusia InternasionalJika membicarakan mengenai legalitas aborsi, terdapat banyak keragaman pandangan di dalamnya. Ada yang pro dan ada yang kontra, dan keduanya mengatas dasari sudut pandang mereka dengan “Hak Asasi Manusia.” Pada beberapa negara masih menganggap aborsi merupakan tindakan yang ilegal sehingga dapat dijatuhi hukuman mati. Sedangkan di dalam hukum internasional terdapat aturan yang menyatakan semua orang berhak untuk hidup dan dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi seseorang untuk hidup, sehingga terdapat konflik antara kedua aturan tersebut. Banyak aturan mengenai aborsi yang dapat ditemukan di dalam aturan nasional maupun internasional. Menurut hukum internasional aturan mengenai aborsi dapat ditemukan dan didukung di dalam African Women’s Protocol, African Charter, ICCPR, dan CEDAW, di mana mereka menyatakan bahwa aborsi merupakan HAM internasional. Legalitas hukuman mati terhadap orang yang melakukan aborsi seharusnya mengacu kepada ICJ Statute, yang menyatakan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati hanya kejahatan yang paling serius dan aborsi bukan salah satunya, serta UDHR dan ICCPR yang menjamin tiap manusia memiliki hak untuk hidup dan harus dilindungi. Apakah membela hak keselamatan ibu yang mengandung janin atau membela hak hidup janin. Di Amerika Serikat dikenal dua kubu yang disebabkan dari polarisasi perbedaan pandangan dalam aborsi yang disebut sebagai pro-live (kontra terhadap aborsi) dan pro choice (pro terhadap aborsi).[9] Keadaan menjadi sangat memanas dan membingungkan pada saat kubu pro dan kontra tersebut bersaing atas sudut pandang mereka dengan mengatasdasari “Hak Asasi Manusia”. Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia yang ”diperoleh” dan dibawa secara bersamaan dengan kelahirannya dalam hidup masyarakat. Hak ini terdapat pada manusia tanpa membedakan ras, bangsa, agama, jenis kelamin, dan kelompok karena itu bersifat asasi dan universal.[10] Pengaturan Aborsi Menurut Hukum InternasionalPengertian aborsi menurut World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia adalah sebuah operasi atau prosedur untuk mengakhiri kehamilan atau janin yang tidak dapat hidup,[11] Lalu menurut Black’s Law Dictionary, aborsi adalah keguguran dengan keluarnya embrio yang tidak semata-mata karena terjadi secara alamiah, akan tetapi juga disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan atau provokasi manusia.[12] Pada setiap negara di dunia ini memiliki hukum nasionalnya masing-masing, salah satunya adalah aturan mengenai aborsi. Aturan mengenai aborsi di Prancis pada awalnya disahkan oleh Law No. 75-17 of January 1975 Regarding Voluntary Interruption of Pregnancy, namun sebagian besar aturan terkini dapat ditemukan di Public Health Code atau Kode Kesehatan Masyarakat. Hukum di Prancis mengizinkan perempuan untuk melakukan aborsi hingga akhir dari minggu kedua belas kehamilan, jika sudah lebih dari dua belas minggu maka hukum Prancis hanya mengizinkan melakukan aborsi jika mendapat konfirmasi dari dokter dan setelah berkonsultasi bahwa dengan mengandung hingga waktunya akan membahayakan kesehatan sang ibu, atau terdapat kemungkinan akan bermasalah kesehatan sang anak jika dilahirkan. Mengenai aborsi di Indonesia sendiri sebenarnya dilarang menurut Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 di mana pasal – pasal tersebut menyatakan bahwa aborsi merupakan perbuatan kejahatan dan dapat dipidana. Namun menurut pasal 75 ayat (2) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang selanjutnya disebut UU Kesehatan dan pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang disebut UU Kesehatan Reproduksi, menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan jika berindikasi kedaruratan "medis" yang mengancam nyawa ibu dan janin, kehamilan yang diakibatkan oleh perkosaan, serta dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari, dihitung dari hari pertama datang bulan terakhir. Dalam Hukum Internasional sebenarnya belum terdapat aturan yang menyatakan secara eksplisit bahwa aborsi merupakan hak asasi manusia. Namun, pernyataan yang paling jelas dan tegas mengenai hak perempuan untuk mengakses aborsi dalam teks perjanjian hak asasi manusia di dalam Protocol on the Rights of Women in Africa atau dikenal juga sebagai African Women’s Protocol yaitu Protokol Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat tentang Hak Perempuan di Afrika, yang diadopsi oleh Union Afrika atau Uni Afrika pada 11 Juli 2003.[13] Bertujuan untuk mengisi kesenjangan atau celah dari African Charter on Human and People’s Rights 1981 atau biasa disebut African Charter atau tingkat kesadaran publik. Protokol tersebut menyatakan: Negara pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi hak reproduksi wanita dengan mengizinkan aborsi medis dalam kasus-kasus seperti kekerasan seksual, pemerkosaan, inses, dan di mana kondisi kehamilan yang berlanjut membahayakan kesehatan mental dan fisik dari sang ibu atau kehidupan sang ibu atau janinnya. African Women’s Protocol pada saat itu merupakan satu-satunya instrumen HAM yang mengikat secara hukum yang menyatakan bahwa aborsi merupakan hak asasi manusia dan meyakinkan bahwa hak reproduksi wanita adalah hak asasi manusia.[14] Terobosan yang terjadi pada tahun 2008 mengenai hak perempuan untuk aborsi dikeluarkan pada 16 April 2008 oleh Parliamentary Assembly of the Council of Europe yang mewakili 47 negara bagian Eropa, yang kebanyakan dari anggota parlemen mengadopsi sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Committee on Equal Opportunities for Women and Men yang berjudul ‘Access to Safe and Legal Abortion in Europe’ atau disebut juga ‘the Report’. Yang di mana the Report tersebut memanggil negara-negara anggota untuk mendekriminalisasi aborsi, menjamin hak perempuan untuk melakukan aborsi yang aman dan legal, dan mengadopsi strategi dan kebijakan kesehatan seksual dan reproduksi, seperti akses untuk kontrasepsi dengan biaya yang masuk akal dan jenis yang sesuai. Selain itu, menurut General Comment No. 36 (2018) on article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) on the right to life menyatakan bahwa anggota negara bagian harus menyediakan akses yang aman, legal, dan efektif untuk aborsi di mana kehidupan dan kesehatan wanita hamil berada dalam bahaya, dan di mana kehamilan tersebut akan menyebabkan wanita hamil sakit atau menderita, terutama jika kehamilan tersebut hasil dari pemerkosaan atau inses. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) adalah perjanjian hak asasi manusia yang secara khusus menegaskan hak-hak reproduksi wanita. Terdapat dua pasal di dalam CEDAW secara khusus dapat dibilang mendukung hak asasi perempuan untuk melakukan aborsi, yaitu: pasal 12 ayat (1) dan pasal 14 ayat (2) huruf (a) dan (b). Pada pasal 12 ayat (1) yang berbunyi: “States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in the field of health care in order to ensure, on a basis of equality of men and women, access to health care services, including those related to family planning.” Dalam pasal ini, Komite CEDAW memberi mandat kesetaraan dalam layanan kesehatan dan mencirikan “penolakan prosedur medis yang hanya dibutuhkan oleh wanita, seperti aborsi, sebagai diskriminasi jenis kelamin”,[15] menunjukkan bahwa kurangnya hak aborsi merupakan layanan kesehatan yang tidak setara. Sedangkan pasal 14 ayat (2) huruf (a) dan (b) yang berbunyi: “States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in rural areas in order to ensure, on a basis of equality of men and women, that they participate in and benefit from rural development and, in particular, shall ensure to such women the right: (a) To participate in the elaboration and implementation of development planning at all levels; (b) To have access to adequate health care facilities, including information, counselling and services in family planning.” Pada intinya ketentuan tersebut mengharuskan wanita di daerah pedalaman untuk mendapat hak dan manfaat dari pengembangan atas layanan perawatan kesehatan. Menurut General Comment No. 36 Article 6 ICCPR ketentuan CEDAW tersebut secara implisit dapat diartikan sebagai memberi jaminan kesehatan wanita terhadap reproduksi yang mana dijelaskan dalam kata family planning atau penyuluh keluarga berencana. Kemudian dalam Article 12 (1) of the The Committe on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) mengakui hak setiap orang menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai. Aturan tersebut dengan tegas mengkonfirmasi hak perempuan atas kesehatan dan badan pengawas dari perjanjian tersebut telah menafsirkan dan menerapkan hak tersebut dalam konteks aborsi.[16] The Beijing Platform for Action atau Platform Aksi Beijing, muncul dari United Nations Fourth World Conference on Women yang diadakan pada tahun 1995, mengamati bahwa "kemampuan wanita untuk mengendalikan kesuburan mereka sendiri merupakan dasar yang penting untuk menikmati hak-hak lainnya". Legalitas Hukuman Mati Terhadap Orang yang Melakukan Aborsi Dalam Hukum Internasional Hak Asasi ManusiaLegalitas hukuman mati di dalam hukum internasional dipertanyakan karena terdapatnya hukuman mati atas tindakan aborsi di beberapa negara, yang hukuman tersebut merupakan pelanggaran dari HAM internasional. Hak asasi manusia internasional sendiri adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Mereka dilindungi oleh perjanjian hak asasi manusia internasional dan prinsip – prinsip hukum internasional yang sudah lama ditetapkan. UDHR menetapkan hak asasi manusia sebagai "standar umum dari pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa". Kegagalan untuk memberikan perlindungan yang menghargai martabat yang melekat dari mereka yang dihukum sampai mati, merupakan pelanggaran dari standar internasional. Standar internasional yang dimaksud di sini ialah yang melarang penyiksaan atau segala bentuk kekejaman, biadab, atau perlakuan atau hukuman yang merendahkan.[17] Larangan penyiksaan adalah norma yang harus ditaati yang ditetapkan, tanpa syarat atau pengecualian, dalam instrumen dasar hak asasi manusia, yaitu UDHR, beserta 2 (dua) ketentuan ICCPR, dan berbagai instrumen HAM regional. Menurut hukum internasional saat ini tidak ada larangan yang absolut mengenai penerapan hukuman mati yang mengikat semua negara di dunia. Sebagai negara yang mengakui dan menghormati HAM beberapa diantaranya menyetujui untuk tidak menjatuhkan hukuman mati di dalam keadaan apapun. Meski begitu, masih terdapat sebagian kecil negara yang tetap mempertahankan hukuman mati dan menegaskan legitimasi, legalitas, dan efektifitasnya. Namun, bahkan untuk negara-negara yang menjatuhkan hukuman mati, terdapat pembatas hukum internasional atas kejahatan dan kepada siapa yang dapat dijatuhi hukuman mati, serta prosedur yang harus diikuti jika hukuman mati akan diizinkan berdasarkan hukum internasional. Menurut ICC Statute, kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati hanya merupakan kejahatan yang paling serius[18] yang menjadi perhatian komunitas internasional secara keseluruhan, yaitu: kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.[19] Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa aborsi bukan merupakan kejahatan yang luar biasa dan merugikan banyak orang yang sehingga dapat dihukum mati, mengingat pada tahun 1948, PBB menyatakan di dalam pasal 3 UDHR bahwa “semua orang memiliki hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan seseorang”. Dan di dalam pasal 6 ayat (1) dari ICCPR memberikan: “Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun akan semena-mena kehilangan nyawanya”. Hukuman mati tidak pernah konsisten dengan prinsip hak asasi manusia yang mendasar, yaitu hak untuk hidup sesuai dengan Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa kehidupan adalah hak asasi manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukuman mati yang merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar, karena setiap orang di seluruh penjuru dunia memiliki hak yang melekat di dalam dirinya yang tidak dapat direnggut oleh siapapun kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi dihukum mati dengan alasan melakukan aborsi. Jerat Hukum Bagi Bidan yang Membantu AborsiDalam UU Kesehatan ada sanksi pidana bagi orang yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU Kesehatan, yaitu dalam Pasal 194 UU Kesehatan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Berdasarkan ketentuan di atas, dapat kita lihat bahwa UU Kesehatan tidak membedakan hukuman pidana bagi ibu si bayi maupun bidan yang membantu aborsi. Ini berbeda dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Merujuk pada ketentuan dalam KUHP, si bidan dapat dihukum dengan Pasal 349 dan Pasal 348 KUHP: Pasal 349 KUHP: “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.” Pasal 348 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Karena sudah ada ketentuan yang mengatur lebih khusus yaitu UU Kesehatan, maka yang berlaku adalah ketentuan pidana dalam UU Kesehatan bagi si bidan. Ini berarti si bidan dapat dihukum karena melanggar Pasal 75 UU Kesehatan dengan ancamana hukuman sebagaimana terdapat dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang telah disebutkan di atas.[20] Hak Hidup Janin dalam Proses Persalinan Ditinjau dari Profesi Dokter dan Bidan di IndonesiaJanin mempunyai hak untuk hidup. Perempuan yang menggunakan hak reproduksinya juga mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk mempertahankan hidup janin dengan mempertaruhkan hidupnya dalam proses persalinan agar janin dapat dilahirkan sebagai subjek hukum seutuhnya dalam kondisi sehat. Dokter dan bidan adalah profesional di bidang kesehatan yang berkompeten untuk memberikan pertolongan persalinan yang aman demi keselamatan ibu dan/ atau janinnya. Dalam upaya preventif untuk mencegah akibat terjadinya insiden keselamatan pasien yang membahayakan hidup ibu dan/ atau janinnya, sekalipun di hadapkan dengan situasi dilemma etik dan hukum, dokter dan/ atau bidan selaku profesional tetap dituntut mampu untuk memutuskan tindakan penyelamatan dengan berbagai pertimbangan yang dapat dibenarkan secara moral dan hukum dengan memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat bangsa Indonesia.[21] Peduli Hak JaninKelekatan ibu dengan janinnya disusun atas dasar data nasional mengenai tingginya angka kematian pada ibu melahirkan. Indonesia merupakan salah satu negara ASEAN dengan Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi, yakni sebanyak 305 jiwa dari 100.000 kelahiran. Data ini menunjukkan bahwa dalam setiap 6 jam, ada satu ibu yang meninggal pada saat melahirkan. Sepanjang tahun 2018, di Kabupaten Purwakarta khususnya, terdapat 32 orang ibu meninggal pada saat melahirkan. Berkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs), mengurangi AKI merupakan target yang harus dicapai oleh pemerintah. Akan tetapi tingginya angka kematian ini semakin mengkhawatirkan, dan target SDGs dalam penurunan angka kematian ibu saat melahirkan semakin sulit dicapai. Tingginya angka kematian ibu melahirkan dapat terjadi karena banyak hal. Penyebab pertama berkaitan dengan kondisi kesehatan ibu dan janin itu sendiri. Kondisi kesehatan ibu yang kurang baik dapat menimbulkan kematian saat melahirkan, seperti adanya tekanan darah yang tinggi selama kehamilan atau pada saat proses persalinan, mengidap penyakit tertentu (yang disebabkan karena bakteri, virus, atau gen), pendarahan, placenta previa, dan hal lainnya. Begitupula dengan kondisi kesehatan janin juga dapat menimbulkan kematian bagi ibu. Penyebab kedua adalah kondisi pada saat melahirkan. Pendarahan, eclampsia, infeksi, persalinan macet, dan komplikasi keguguran dapat menjadi penyebab bagi AKI, terutama jika terjadi di daerah-daerah yang minim fasilitas medisnya. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan kualitas pelayanan kesehatan di suatu daerah, yakni mengenai kebersihan persalinan dan pasca persalinan. Sementara itu, di sisi budaya, kita bisa melihat adanya ketimpangan dalam peran gender. Sebagaimana yang banyak ditemukan, terutama di daerah tertinggal, keputusan untuk memilih jenis persalinan sering kali ditentukan oleh suami dan keluarga pihak laki-laki, yang belum tentu sesuai dengan saran bidan atau dokter kandungan. Perempuan tidak memiliki hak untuk memilih jenis persalinan yang sesuai dengan kondisi kehamilannya. Dari berbagai penyebab yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu pendekatan baru untuk melengkapi pendekatan medis yang telah dilakukan selama ini. Pendekatan psikologis menekankan pada bagaimana orang tua mengembangkan kelekatan psikologis dengan janin, yang dikenal dengan istilah Maternal Fetal Attachment. Adanya interaksi antara orangtua dan janin yang mencerminkan kualitas perasaan dan perilaku emosional positif, yang dapat berdampak pada penguatan kesehatan fisik dan mental ibu dan janin. Sayangnya, pengetahuan ibu hamil mengenai perlunya membangun dan meningkatkan ikatan psikologis antara ibu dan janinnya masih kurang. Banyak ibu yang belum memahami bahwa terdapat ikatan antara ibu dengan janin, yang saling mempengaruhi. Ibu yang banyak memiliki perasaan positif selama kehamilannya akan lebih terjaga kesehatannya. Selain itu, perasaan positif membuat janin merasa tenang berada di dalam kandungan, menyerap makanan secara sempurna, bertumbuh dan berkembang secara optimal. Sementara ibu yang merasa tertekan dan diliputi emosi negatif selama kehamilannya, akan lebih sering mengalami kondisi kesehatan yang kurang baik. Dampak dari emosi negatif ibu juga turut dirasakan oleh janin, yakni membuat janin merasa gelisah dan cemas, sehingga akan memengaruhi penyerapan makanan, yang tentunya akan berdampak pada tumbuh kembang janin.[22] Hak-hak Keperdataan Janin dalam Hukum IslamMenurut hukum Islam, misalnya penetapan keabsahan status anak didasarkan pada rentang usia perkawinan dan kelahiran.[23] Keabsahan nasab anak dapat diketahui dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi saat ini. Bahkan, citra anak dalam kandungan dapat diamati melalui rekaman teknologi medis secara akurat. Berdasar perspektif hukum, memicu pertanyaan sejauh mana hukum positif memandang eksistensi janin sebagai subjek hukum terutama dalam bidang hukum perdata. Selain itu juga bagaimana fikih klasik mendiskusikan hal tersebut, misalnya dalam aspek kewarisan, wasiat, dan wakaf. Pertanyaan-pertanyaan ini menarik untuk dijawab, mengingat eksistensi janin ini lebih tampak dengan topangan teknologi mutakhir. Dengan demikian, eksistensinya dalam lalu lintas hukum perdata tidak dapat dipandang sebelah mata. Isu tentang anak ini merupakan salah satu topik pembahasan dalam berbagai literatur Islam klasik, baik dari perspektif ilmu kedokteran klasik, psikologi, pendidikan, dan bahkan hukum Islam. Beberapa literatur tersebut di antaranya yakni: (1) Kitāb Khalq al-Janīn wa Tadbīr al-Ḥabālā wa-al-Maūlūdīn karya 'Arīb bin Sa'īd al-Qurṭubī; (2) Kitāb Tadbīr al-Ḥabālā wa-al-Aṭfal karya Aḥmad bin Muḥammad bin Yaḥyā al-Baladī; dan (3) Tuḥfat al-Mawdūd fi Aḥkām al-Mawlūd karya Ibn Qayyim al-Jauziyya.[24] Kitab-kitab tersebut merupakan karya-karya klasik dengan multiperspektif. Buktinya kitab-kitab ini berisi berbagai pembahasan seputar perkembangan anak mulai dari embriologi, perawatan wanita hamil, hingga persalinan, dan pengobatan bayi, baik dari sudut pandang biologi, psikologi maupun pendidikan. Hak-hak Janin dalam Fikih KlasikJanin merupakan salah satu tahap awal kehidupan manusia sebelum ia lahir dan menjadi subjek hukum. Alquran telah menjelaskan bahwa manusia pertama-tama diciptakan dari tanah liat. Setelah itu pada penciptaan selanjutnya anak manusia diciptakan secara bertahap. Tahap-tahap penciptaan tersebut meliputi tahap annuṭfah, kemudian ‘alaqah, kemudian al-muḍgah, hingga berbentuk lebih sempurna sebagai calon bayi yang lalu berkembang menjadi “makhluk lain” (khalqan ākhar), yaitu makhluk manusia yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan insaniyah. Tahap-tahap perkembangan ini juga disebutkan oleh al-Ghazali. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) janin berarti bakal bayi (masih dalam kandungan), atau embrio setelah melebihi umur dua bulan.Janin dalam bahasa Arab berasal dari kata janīn (jamak: ajinnah) secara harfiah berarti “yang terselubung atau tertutup”. Alquran menyebut janin sebagai makhluk yang dilahirkan di dalam tubuh wanita, terlepas dari tahap perkembangannya. Berdasarkan ilmu kedokteran, janin telah terbentuk pada usia kehamilan delapan minggu. Pada usia ini barulah janin menunjukkan tanda vital manusia secara lengkap. Sebelum berbentuk janin seutuhnya terlebih dahulu ia menjadi zigot, blastokista, dan embrio. Berdasarkan perspektif hukum Islam, janin dilihat sebagai tahapan awal sebuah kehidupan manusia. Namun demikian, apakah janin yang ada dalam kandungan sudah bisa dikategorikan sebagai manusia, dengan segala hak yang melekat padanya, atau ia belum bisa dikatakan sebagai manusia sehingga hak-haknya juga tidak bisa disamakan dengan manusia yang telah lahir ke dunia. Berkaitan dengan hal ini, ada banyak pendapat di kalangan fukaha. Imam asySyafi’i, misalnya, memahami istilah janin sebagai sebuah simbol dari tahap akhir dari sebuah proses pembuahan sperma terhadap sel telur yang berujung pada lahirnya seorang anak kecil atau bayi dari kandungan ibunya. Sementara an-Nuwairi menyebutkan bahwa janin baru bisa disebut janin jika sudah ditiupkan ruh. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para juris Islam pada umumnya menyatakan bahwa proses kehidupan manusia sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, yakni bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur perempuan. Perlindungan hak-hak janin secara perspektif hukum Islam dapat diwujudkan dengan memanfaatkan asas dan kaidah fikih untuk merumuskan substansi hukum dan kemudian mentransformasikannya menjadi peraturan perundang-undangan nasional. Peran hukum Islam secara materi untuk mengatur dan mengikat sejatinya ada pada berbagai aturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam hukum pidana, hukum keluarga, maupun hukum keperdataan lainnya. Dalam literatur fikih klasik tidak ditemukan istilah khusus untuk pengertian perlindungan atas hak anak. Istilah yang mendekati adalah haḍānah, yang berarti memelihara dan mendidik anak. Selain haḍānah, terdapat istilah al-wilāyat yang memiliki makna perwalian. Menurut Wahbah az-Zuhaili, al-wilāyat dapat bermakna perwalian atas diri (wilāyat ‘ala an-nafs) dan perwalian atas harta (wilāyat ‘ala al-māl). Perwalian atas diri yakni perwalian atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan mental, termasuk haḍānah di dalamnya. Sedangkan perwalian harta merupakan perwalian dalam hal pengelolaan harta benda, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, dan hutang-piutang. Secara sederhana, perbedaan antara haḍānah dan wilāyat layaknya perbedaan antara physical custody dan legal custody yang di beberapa negara bagian Amerika. Secara umum, di antara hak-hak anak dalam Islam yakni: (1) hak hidup, (2) hak pengakuan nasab, (3) hak mendapat nama yang baik, (4) hak mendapatkan penyusuan, (5) hak memperoleh pengasuhan dan perawatan, (6) hak mendapatkan nafkah, (7) hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, dan (8) hak diperlakukan secara adil. Kedelapan hak anak ini bersifat general, tidak secara khusus melihat hak keperdataan anak. Sejatinya, kecakapan anak menerima hak dimulai sejak kelahiran, tetapi anak yang masih dalam kandungan dapat mewarisi dan menerima warisan, dapat menerima harta dengan jalan wasiat, berhak dibebaskan dari perbudakan, berhak mendapat nasab, dan hak wakaf. Tiga di antara hak ini (hak waris, wasiat, dan wakaf) merupakan hak keperdataan. Ketiga hak inilah yang akan dipaparkan lebih lanjut pada bagian berikut ini.[25] Hak Waris Janin dalam FikihAl Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memuat petunjuk-petunjuk untuk kehidupan dunia dan akhirat yang sebagian besar dijelaskan secara global. Di dalamnya terdapat hukum-hukum yang menjadi landasan umat Islam. Namun, diantara berbagai permasalahan hukum yang dijelaskan dalam al-Quran, terdapat satu permasalahan hukum yaitu mengenai aturan pembagian harta warisan yang diuraikan secara terperinci. Kata “warits” dari ‘yaritsu-irtsan-wamiratsan’ terdapat dalam al-Quran surah An-Naml: 16 “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud . Arti “mirats” menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lainnya. Mengutip definisi yang diberikan Wirjono Prodjodikoro, waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan faraidh yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya. Kata al-faraidh ini dalam bahasa Arab menunjukkan jamak dari mufradnya al-faridhah yang bermakna almafrudhah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.[26] Janin dapat dikatakan sebagai ahli waris yang sah apabila pada waktu meninggalnya pewaris, eksistensinya dapat dibuktikan, baik dengan cara klasik, seperti adanya gerakan yang bersumber dari janin yang dirasakan oleh ibu yang mengandung atau dengan cara modern, yakni memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis. Mayoritas ulama sepakat bahwa jika ibu mengandung janin kurang dari jangka waktu enam bulan sejak kematian pewaris, maka janin sah menjadi ahli waris. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa enam bulan adalah jangka waktu minimal umur sebuah kehamilan. Kelahiran janin dalam keadaan hidup setelah jangka waktu minimal itu berarti sebuah bukti akan wujud janin pada waktu meninggalnya pewaris. Apabila ibu mengandung kurang dari jangka waktu enam bulan dan tidak dalam suatu hubungan pernikahan, maka janin tersebut termasuk dari ahli waris yang sah apabila ahli waris yang lain mengakui keberadaannya pada waktu kematian pewaris. Syarat kedua agar janin dapat menjadi ahli waris yang sah adalah bahwa janin tersebut harus lahir dalam keadaan hidup. Sistem pembagian waris dalam Islam menegaskan bahwa janin termasuk dari ahli waris yang sah dan tidak tertutupi oleh ahli waris lainnya. Namun demikian, apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal maka dianggap tidak ada. Akan tetapi apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal sebagai akibat suatu tindak kekerasan terhadap sang ibu, menurut ulama Ḥanafiyyah, janin tersebut memiliki hak untuk menerima warisan. Hal ini berbeda dengan pendapat kalangan ulama Syāfi’iyyah, Ḥanābilah, ataupun Mālikiyyah. Pada sisi lain, kalangan ulama Ḥanafiyyah juga berpendapat bahwa apabila janin keluar sebagian kecilnya dalam keadaan hidup, tetapi kemudiaan meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Sebaliknya, jika janin keluar sebagian besarnya dalam keadaan hidup dan kemudian meninggal, maka ia berhak mewarisi, karena bagian besar janin mewakili keseluruhan bagian janin. Apabila janin lahir dalam keadaan hidup maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa janin termasuk ahli waris yang sah, sedangkan salah satu cara memastikan kehidupan janin adalah dengan terdengarnya suara tangisan. Hal ini tentu saja tidak menjadi perbedaan pendapat karena apabila janin tersebut lahir dalam keadaan selamat maka ia adalah bayi atau anak kecil. Akan tetapi yang menjadi persoalan apakah bayi tersebut lahir dalam waktu enam bulan setelah kematian atau tidak. Jika janin terlahir lebih dari enam bulan maka status keabsahannya menjadi dipertanyakan kembali mengingat ambang minimal usia kehamilan. Ini juga serupa bahwa anak yang lahir kurang dari enam bulan masa perkawinan dianggap sebagai anak di luar perkawinan (premarital child). Oleh karena itu ambang batas enam bulan menjadi faktor yang menentukan apakah anak tersebut dapat mewarisi atau tidak.[25] Hak Wasiat Janin dalam FikihTidak jauh berbeda dengan kewarisan, bentuk perlindungan hukum Islam tentang pewasiatan atas hak-hak janin adalah dengan meletakkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh janin tersebut. Diskusi tentang wasiat dan waris dalam literatur fikih sering dibahas bersama atau berurutan satu sama lain. Hal ini karena keduanya memiliki persamaan, di antaranya adalah dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menerima hak wasiat ataupun waris. Janin memiliki hak wasiat seperti halnya dalam hak menerima waris, apabila sudah dapat dipastikan nasabnya. Pada hak waris, apabila janin belum terkonfirmasi sebagai keturunan yang sah dari pewaris maka tidak dapat dilangsungkan proses pewarisan antara pewaris dan janin tersebut. Pengaturan dalam hal wasiat, janin juga harus memiliki status hukum yang sah bahwa janin tersebut tersambung nasabnya kepada bapaknya. Karena apabila nasab janin terhalang atau terputus oleh satu hal seperti li’ān maka wasiat terhadap janin dianggap batal. Seperti yang disebutkan dalam al-Mugni, apabila diwasiatkan kepada anak dalam kandungan seorang perempuan dengan suaminya atau tuannya (apabila perempuan tersebut seorang hamba sahaya), maka wasiat tersebut sah untuk dilakukan dengan syarat kepastian nasab anak tersebut. Apabila nasabnya terhalang oleh li’ān maka wasiat tidak sah dilakukan karena kepastian nasab yang disyaratkan tidak terpenuhi. Syarat kedua adalah adanya kepastian keberadaan janin. Ulama Syāfi’iyyah dan Ḥanābilah mensyaratkan kepastian keberadaan janin ketika dilangsungkannya wasiat, sedangkan sebagian lain menyaratkannya ketika kematian yang memberi wasiat. Hal ini berkaitan dengan batas bawah dan batas atas umur kehamilan. Adapun kaitannya dengan batas minimal usia kehamilan, para ulama Ḥanafiyyah, Syāfi’iyyah, dan Ḥanābilah berpendapat bahwa apabila kehamilan berlangsung kurang dari jangka waktu enam bulan dari berlangsungnya wasiat (baik masih dalam hubungan perkawinan atau tidak), maka janin tersebut berhak untuk mendapatkan hak wasiat. Apabila janin dilahirkan dalam jangka waktu enam bulan lebih dan masih dalam hubungan perkawinan, maka janin tidak berhak atas wasiat. Hal ini karena adanya kemungkinan awal kehamilan terjadi setelah wasiat berlangsung, sedangkan apabila terlahir dalam jangka waktu enam bulan dan tidak dalam hubungan perkawinan maka janin berhak atas wasiat. Berkaitan dengan batas maksimal usia kehamilan yang dapat diberikan wasiat, ada dua pendapat yang berbeda. Ulama Ḥanafiyyah berpendapat, apabila seorang ibu mengandung janin kurang dari dua tahun dan tidak dalam satu hubungan perkawinan maka janin tersebut berhak atas wasiat. Sementara pendapat paling terkenal di kalangan ulama Syāfi’iyyah dan satu pendapat lain dari kalangan Ḥanābilah menyatakan, bahwa seorang perempuan apabila mengandung janin kurang dari jangka waktu empat tahun dan ia tidak dalam hubungan perkawinan maka janin tersebut berhak atas wasiat. Sama halnya dengan waris, batas minimal usia kehamilan menjadi syarat utama yang menentukan keabsahan wasiat.[25] Hak Wakaf Janin dalam FikihBerdasarkan hukum perwakafan Islam, terdapat beberapa pendapat ulama fikih yang menjelaskan wakaf terhadap janin. Ulama Ḥanafiyyah menjelaskan wakaf terhadap janin sebagai suatu tindakan yang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat ini dibagi menjadi dua, yakni syarat untuk batas minimal usia kehamilan dan syarat untuk batas maksimal usia kehamilan. Berkaitan dengan batas minimal usia kehamilan, wakaf diperbolehkan kepada janin yang sudah dapat dipastikan keberadaannya. Janin berhak atas barang yang diwakafkan dan yang dihasilkan dari barang tersebut. Janin juga berhak atas semua yang dihasilkan oleh benda wakaf, yang jarak antara waktu dihasilkannya sesuatu dari benda wakaf dengan kelahirannya kurang dari enam bulan. Hal ini karena rentang waktu tersebut merupakan waktu dapat dipastikan keberadaannya di dalam kandungan. Apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal, maka benda wakaf dan yang dihasilkannya diberikan kepada ahli waris sang janin. Pendapat lain dalam kalangan Ḥanafiyyah adalah apabila janin dilahirkan kurang dari jangka waktu enam bulan sejak barang wakaf menghasilkan sesuatu, maka janin tersebut tidak berhak atas sesuatu yang dihasilkan dari benda wakaf tersebut. Hal ini karena janin dalam kandungan tidak masuk dalam kategori yang membutuhkan. Begitu juga nafkah ibu yang mengandung tidak dialokasikan kepada janin yang di kandungannya. Apabila janin dilahirkan dua tahun sejak suatu harta diwakafkan kepadanya, lalu pemberi wakaf (wāqif) meninggal tanpa memberikan penjelasan tentang wakafnya kepada keluarga yang ditinggalkan serta rentang waktu yang cukup untuk klarifikasi, atau apabila wāqif menceraikan ibu yang mengandung janin tersebut setelah terjadinya proses wakaf maka janin dalam hal ini berhak atas barang wakaf yang diberikan oleh wāqif dan apa yang dihasilkan dari barang yang diwakafkan. Begitu juga apabila janin dilahirkan dalam jangka waktu kurang dari dua tahun sejak terjadinya proses wakaf dan wakaf dilakukan di atas ketentuan syara’, yaitu perceraian yang dikarenakan haramnya berhubungan selama masa ‘iddah. Dengan demikian maka dalam hal ini janin dianggap ada dan berhak atas sesuatu yang diwakafkan kepadanya dan sesuatu yang dihasilkan dari barang wakaf tersebut. Kalangan Mālikiyyah berpendapat bahwa hukum diperbolehkannya wakaf terhadap janin adalah mutlak dan tidak berasal dari hal lain. Dengan kata lain, hukum asal wakaf terhadap janin adalah benar dan sah (ṣaḥiḥ). Golongan ini tidak membenarkan kepemilikan janin terhadap barang yang diwakafkan sebelum kelahirannya. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan kepadanya dan segala macam yang dihasilkannya ditangguhkan hingga kelahiran janin. Apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal atau meninggal sejak masih dalam kandungan, maka wakaf dikembalikan kepada wāqif atau kepada ahli warisnya atau wakaf ini batal. Para ulama Mālikiyyah berdasar pada argumen bahwa hak kepemilikan janin atas wakaf menjadi sah di masa yang akan datang (ketika ia sudah dilahirkan), meski ketika wakaf dilangsungkan janin masih belum mencukupi syarat untuk terlibat dalam suatu transaksi kepemilikan atas suatu harta. Menanggapi pendapat kalangan Mālikiyyah dalam kaitannya dengan hukum asal wakaf terhadap janin, kalangan Syāfi’iyyah dan sebagian dari kalangan Ḥanābilah berpendapat bahwa hukum asal wakaf terhadap janin adalah tidak sah. Hal ini seperti seseorang mengatakan, “aku mewakafkan barang ini untuk yang akan lahir dari kandunganku”. Akan tetapi diperbolehkan jika wakaf terhadap janin dengan mengikuti yang lainnya, yakni apabila redaksinya, “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku dan keturunannya”, atau “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku” dan ternyata ia tidak memiliki keturunan. Mereka berargumen bahwa wakaf adalah kepemilikan dan janin belum memenuhi syarat untuk terlibat dalam sebuah transaksi kepemilikan. Berbeda dengan wasiat dan waris, wakaf adalah sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa transaksi itu dibuat, bukan sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa yang akan datang layaknya wasiat dan waris.[25] Pusaka Anak Zina, dan Anak Li’anDalam pokok hukum Islam waris-mewarisi adalah karena hubungan perkawinan dan hubungan nasab. Seorang suami isteri dapat waris-mewarisi karena keduanya terikat oleh perkawinan yang dibenarkan oleh hukum Islam, sebagai hak yang diperoleh karena perkawinan tersebut. Hubungan nasab seorang anak dengan ayah dalam hukum Islam juga ditentukan oleh sah dan tidaknya hubungan perkawinan antara seseorang laki-laki dengan seorang wanita, sehingga menghasilkan anak itu di samping ada atau tidaknya pengakuan ayah terhadap anak tersebut. Kalau hubungan nasab ayah dan anak tersebut sah maka antara ayah dan anak dapat waris-mewarisi. Ada dua hubungan anak dan ayah tidak diakui secara hukum, yaitu anak zina. Anak zina ialah anak yang dilahirkan karena hubungan seorang laki-laki dengan wanita tanpa nikah. Anak yang lahir karena hubungan tanpa nikah tersebut disebut walad ghairu syar’iy, dan laki-laki yang menimbulkan kandungan itu disebut ab ghairu syar’iy. Anak ghairu syar’iy atau anak zina tadi tidak ada hubungan darah dengan Ab ghairu syar’iy menurut hukum, karenanya tidak ada hubungan waris mewarisi. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan darah dengan ibu dan antara keduanya dapat waris-mewarisi. Demikian pula anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan kerabat ibunya, yang berarti juga mempunyai hubungan ahli waris.[27] Semua ulama empat madzhab sepakat bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Karena nasab itu mulia dan dimuliakan, sedangkan zina sesuatu yang keji dan haram, maka sesuatu yang mulia (yaitu nasab) tidak akan bisa disebabkan karena sesuatu yang keji dan haram (zina), sedang menurut si’ah anak zina tidak nasab kepada ibu dan ayahnya sehingga tidak dapat pula mewarisinya.[28]
Referensi
|