Haidar al-Abadi
Haidar Jawad Kadhim Al-Abadi (atau al-'Ibadi; Bahasa Arab: حيدر جواد كاظم العبادي , lahir 25 April 1952) adalah seorang politikus Irak yang saat ini menjabat sebagai Perdana Menteri Irak sejak September 2014. Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Komunikasi dari tahun 2003 hingga 2004, di pemerintahan pertama setelah Saddam Hussein. Seorang Muslim Syiah, ia ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Presiden Fuad Masum pada 11 November 2014 untuk menggantikan Nouri al-Maliki[2] dan disetujui oleh parlemen Irak pada 8 September 2014.[3] Masa mudaAl-Abadi, yang dapat berbicara bahasa inggris, lulus dari SMA pada tahun 1970 dari Sekolah Tinggi Markaziyah (bahasa arab: الإعدادية المركزية ) di Bagdad.[4] Pada tahun 1975, ia meraih gelar Sarjana di bidang Teknik Listrik dari Universitas Teknologi di Bagdad.[5] Pada tahun 1980, ia meraih gelar PhD di bidang teknik Listrik dari Universitas Manchester.[6] Karier politik, 1977-2014Al-Abadi bergabung dengan Partai Dakwah Islam pada tahun 1967.[4] Tiga saudaranya ditangkap pada tahun 1980, 1981 dan 1982 karena bergabung dengan Partai Dakwah Islam.[5] Pada tahun 1977, ia menjadi ketua partai saat bersekolah di London.[7] Pada tahun 1979, ia menjadi anggota eksekutif partai.[8] Pada tahun 1983 pemerintah mencabut paspor al-Abadi atas tuduhan bersekongkol melawan Partai Ba'ath.[8] PengasinganAl-Abadi tinggal di Britania Raya, dalam pengasingannya secara sukarela, hingga invasi Irak 2003.[9] Selama ia di pengasingan, ia menjabat sebagai:[4]
Al-Abadi diberi hibah oleh Departemen Perdagangan dan Industri Britania Raya pada tahun 1998. Saat bekerja di London pada tahun 2001 Al-Abadi mendaftarkan hak paten penemuannya yang berkaitan dengan sistem angkutan cepat. Kembali ke IrakPada tahun 2003, Al-Abadi menjadi skeptis terhadap rencana privatisasi yang diajukan Pemerintahan Koalisi Sementara (PKSI), mengusulkan pada Paul Bremer bahwa mereka harus menunggu hingga pemerintahan yang sah terbentuk. Pada bulan Oktober 2003, Al-Abadi dengan seluruh anggota Dewan Pemerintaan memprotes Paul Bremer dan menolak permintaan Pemerintahan Koalisi untuk memprivatisasi BUMN dan infrastruktur sebelum pemerintahan yang sah terbentuk. Pemerintahan Koalisi, yang dipimpin Bremer, jatuh oleh Al-Abadi dan Dewan Pemerintahan. PKSI bekerja di sekitar Dewan Pemerintahan untuk membentuk pemerintahan baru yang tetap terikat pada PKSI sampai pemilihan umum, mendorong aksi bersenjata yang lebih agresif terhadap pemberontak yang melawan personel koalisi.[10] Ketika Al-Abadi menjabat sebagai Menteri Komunikasi, PKSI memberikan lisensi bagi tiga operator seluler untuk melayani komunikasi di seluruh wilayah Irak. Meskipun dianggap hampir tak memiliki kekuasaan oleh CPA,[11] Al-Abadi tidak siap untuk menjadi tukang stempel dan memberikan lebih banyak persyaratan untuk lisensi, yang menyebabkan friksi dengan PKSI. Pada tahun 2003, laporan pers mengindikasikan para pejabat Irak berada di bawah penyelidikan atas kesepakatan yang melibatkan Orascom, perusahaan telekomunikasi asal Mesir, yang di akhir tahun 2003 diberi kontrak untuk menyediakan jaringan seluler di Irak tengah. Al-Abadi menegaskan bahwa tidak ada yang kesepakatan gelap dalam pemberian kontrak.[12] Pada tahun 2004, terungkap bahwa tuduhan tersebut direkayasa, dan hasil tinjauan Departemen Pertahanan Amerika Serikat menemukan bahwa kontrak telekomunikasi telah secara ilegal dipengaruhi oleh Deputi Wakil Menteri Pertahanan AS John A. Shaw dan bukan oleh Irak.[13] Antara Januari sampai Desember 2005, ia menjabat sebagai penasihat Perdana Menteri Irak pada pemerintahan pertama yang dipilih langsung.[14] Ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Irak setelah pemilihan parlemen Desember 2005 dan mengetuai komisi Ekonomi, Investasi dan Rekonstruksi di parlemen. Al-Abadi terpilih kembali di tahun 2010 sebagai anggota Parlemen Irak yang mewakili Bagdad. Pada tahun 2013, ia menjadi ketua Komite Keuangan dan berada di tengah-tengah sengketa mengenai alokasi APBN Irak 2013.[15] Nama Al-Abadi beredar sebagai kandidat perdana menteri selama pembentukan pemerintahan Irak pada tahun 2006 selama masa Ibrahim al-Jaafari digantikan oleh Nouri al-Maliki sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 2008, Al-Abadi tetap mendukung kedaulatan Irak, bersikeras pada kondisi tertentu untuk perjanjian mengenai adanya personel militer AS di Irak.[16] Ia adalah anggota aktif Komite Penasihat Minyak Irak, berpartisipasi dalam Konferensi Minyak Irak 2009-2012 yang diselenggarakan oleh Nawar Abdulhadi dan Phillip Clarke dari CWC Group .[17] Ia merupakan salah satu dari politikus Irak yang mendukung gugatan terhadap Blackwater sebagai hasil dari ditutupnya kasus kriminal terhadap personel Blackwater yang terlibat dalam pembantaian 17 warga sipil Iran di 2007.[18] Al-Abadi kembali menjadi kandidat kuat Perdana Menteri selama negosiasi alot antarblok politik Irak setelah pemilu tahun 2010 untuk memilih pengganti Perdana Menteri Petahana Nouri Al-Maliki. Dan di 2014, ia dicalonkan oleh partai politik Syiah sebagai calon alternatif Perdana Menteri.[19] Perdana Menteri (2014–sekarang)Pada 24 Juli 2014, Fuad Masum menjadi presiden Irak terbaru. Dia menominasikan Al-Abadi sebagai perdana menteri pada tanggal 11 Agustus.[20] Agar pengangkatan tersebut sah, Al-Abadi perlu untuk membentuk pemerintahan yang akan dikonfirmasi oleh Dewan Perwakilan Irak dalam waktu 30 hari.[21] Namun, Al-Maliki menolak untuk menyerahkan jabatannya dan melaporkan masalah tersebut ke pengadilan federal dengan klaim nominasi presiden adalah "pelanggaran konstitusional" Ia berkata, "akan bertahan sampai akhir untuk melindungi negara."[22] Pada 14 Agustus 2014, setelah mendapat kecaman dari para pemimpin negara lain dan anggota partainya sendiri, ia mengundurkan diri. Dewan Perwakilan Irak menyetujui pemerintahan al-Abadi dan program kepresidenannya pada 8 September 2014.[23] Sejak dilantik pada September 2014, Abadi telah gigih mengupayakan untuk meningkatkan partisipasi Sunni di pemerintahan Irak.[24] Abadi menunjuk Khaled al-Obaidi, seorang politikus Sunni asal Mosul, sebagai Menteri Pertahanan, dan penunjukkan ini diratifikasi Dewan Perwakilan Irak dua bulan setelahnya.[24] Pada pertengahan Desember 2014, Abadi membuat kesepakatan bagi hasil dengan Kurdi, di mana Bagdad sepakat untuk membayar Pemerintah Daerah Kurdi dari semua pendapatan yang diperoleh dari minyak di wilayah Kurdi.[24] Untuk melawan korupsi di tentara, Abadi mengumumkan bahwa 50.000 "tentara bayangan" teridentifikasi dan akan dihapus dari sistem pembayaran gaji tentara.[24] "Tentara bayangan" adalah tentara yang tidak pernah muncul pada penugasan, tetapi membayar perwiranya sebagai bagian gaji perwira, sehingga terjadi tindak korupsi.[25] Presiden irak Fuad Masum mengunjungi Arab Saudi pada November 2014. Sebagai tanggapan kunjungan tersebut, Arab Saudi siap untuk membuka kembali kedutaan besarnya di Bagdad, yang ditutup sejak dimulainya Perang Teluk pada tahun 1990.[24] Abadi juga telah mengunjungi Mesir, Yordania, dan Turki untuk membahas strategi regional untuk memerangi pasukan Islam militan.[24] Majalah Foreign Affairs melaporkan bahwa setelah empat bulan berkuasa, upaya Abadi untuk mengatasi konflik sektarian Irak membuat kepemimpinanya "menyambut perubahan dari gaya skismatik pendahulunya". Sebagai hasil dari reformasi Abadi, Amerika Serikat telah menjanjikan $1,5 miliar untuk melatih pasukan Irak dan akan melanjutkan penjualan jet temput F-16, yang diberhentikan setelah invasi Irak 2003.[24] Memerangi korupsi menjadi fokus utama pemerintahan Al-Abadi. Pada Agustus 2015, Al-Abadi mengumumkan rencana untuk memperkuat pemerintahan dengan, menghilangkan rincian keamanan bagi para pejabat senior dan pemotongan tunjangan bagi pejabat tinggi.[26] Al-Abadi telah dipaksa berperang dengan Negara Islam di Irak dan Syam sejak menjadi Perdana Menteri. Dia telah mengkritik respons Barack Obama dan militer Amerika Serikat terhadap ancaman dari NIIS.[27] Selain itu, Al-Abadi lebih mendekat ke Rusia dan Iran untuk memerangi ancaman dari ISIL dan telah mendorong kerjasama antarnegara tersebut pada operasi militer di wilayah tersebut.[27][28] Pada April 2016, keusulitan Al-Abadi dalam melaksanakan reformasi politik berakibat pada penyerbuan parlemen Irak oleh para pendukung ulama Syiah Muqtada al-Sadr.[29] Aksi pengunjuk rasa melanggar Zona Hijau dan mengganggu parlemen telah digambarkan sebagai bukti dari semakin tidak bekerjanya sistem politik di Irak dan masalah al-Abadi untuk mengendalikan korupsi.[30] Referensi
Pranala luar
|