PT Philip Morris Indonesia PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas PT Sampoerna Indonesia Sembilan PT Taman Dayu Property PT SRC Indonesia Sembilan PT Golf Taman Dayu PT Wahana Sampoerna Sampoerna International Pte. Ltd. PT Harapan Maju Sentosa[1]
Liem Seeng Tee, seorang imigran Tiongkok dari Fujian, Tiongkok bersama istrinya, Siem Tjiang Nio, pada tahun 1912 mulai merintis usaha rokok kecil-kecilan di warung mereka di Ngaglik, Surabaya, yang dijajakan oleh dirinya dengan sepeda. Liem saat itu sudah memiliki pengalaman meracik dan melinting rokok dari pekerjaan sebelumnya di sebuah pabrik rokok yang ada di Lamongan.[3] Untuk memformalkan usahanya, pada tahun 1913, Liem memulai produksi rokoknya secara komersial dalam wadah Handel Maatschappij Liem Seeng Tee[4] dengan produk awalnya hanyalah kretek yang dilinting dengan tangan di Surabaya. Rokok kretek ini kemudian dikenal dengan nama "Dji Sam Soe" (234, jika dijumlahkan menjadi 9, "angka keberuntungan" Liem).[5] Konon, kemasan Dji Sam Soe, yang telah digunakan sejak 1914, tidak pernah direvisi hingga 2000.[6]
Awalnya, usaha "Pabrik Rokok Liem Seeng Tee" (Sigaretten Fabriek Liem Seeng Tee) ini menghadapi tantangan berupa terbakarnya warung mereka yang menghancurkan bisnis rokok ini di tahun 1916, meskipun belakangan ia bisa kembali memasuki dunia rokok setelah membeli pabrik rokok yang hampir bangkrut dengan tabungan Siem.[4] Di pabrik baru ini, selama 5 tahun, Liem berusaha meracik resep rokok yang tepat demi menarik pelanggan[3] dengan bantuan istrinya.[7] Resep ini kemudian digunakan bagi produk utamanya, Dji Sam Soe. Belakangan, perusahaan milik Liem juga mengedarkan merek seperti 123, 77, 720, 678, dan Djangan Lawan.[8]
Seiring pesatnya pertumbuhan usaha, Liem meresmikan perusahaannya dengan nama baru, yaitu NVBM Handel Maatschappij Sampoerna di tahun 1930.[9] Nama "Sampoerna" digunakan sebagai harapan agar produk-produk yang dihasilkannya memang yang terbaik.[10] Dua tahun kemudian, produksi rokok Sampoerna dipindahkan Liem ke bangunan yang berdiri di atas lahan 1,5 ha di Jembatan Merah, Surabaya yang dibelinya dari Jongens Weezen Inrichting, sebuah eks-panti asuhan.[3] Gedung ini kemudian diberi nama "Taman Sampoerna" yang juga difungsikan sebagai teater. Bisnis rokok Sampoerna selanjutnya berkembang pesat, dengan memiliki 1.300 karyawan dan memproduksi 3 juta batang/minggu.[11] Permintaannya bahkan membeludak sehingga pelanggan dan agen harus menunggu beberapa minggu demi mendapat pesanannya.[3]
Sayangnya, kedatangan Jepang pada tahun 1942 memporak-porandakan bisnis rokok Liem. Ia ditangkap oleh Jepang, dan pabriknya dipaksa memproduksi rokok secara gratis untuk tentara penjajah bermerek Fuji.[9] Liem juga dibawa kerja paksa ke Jawa Barat, sehingga ia tidak dapat mengelola bisnisnya. Praktis, setelah Jepang pergi dan Indonesia merdeka, Liem harus kembali membangun bisnis rokoknya dari nol. Bermodalkan merek Dji Sam Soe yang sudah terkenal di era sebelum perang, pabrik rokok Sampoerna memulai operasionalnya kembali di bawah PT Handel Maatschappij (HM) Sampoerna. Para penyalur pun datang kembali dan usaha Liem sudah pulih di tahun 1949.[3] Namun, menjelang akhir 1950-an, pabrik Sampoerna didera konflik internal antara buruh dan penurunan kinerja perusahaan, ditambah kematian Liem di tahun 1956 yang membuat perusahaan ini hampir tutup. Manajemen baru di bawah dua anak Liem tidak mampu menangani usaha Sampoerna,[8] dengan mesin-mesin tercatat tidak beroperasi dan karyawan Sampoerna turun menjadi 150 orang. Malah, pabriknya kemudian ditutup di tahun 1959 akibat mengalami kesulitan keuangan.[3][12]
Restrukturisasi dan pengembangan di bawah manajemen baru
Dalam situasi sulit seperti itu, putra Liem, Aga Sampoerna mengambilalih PT HM Sampoerna dan membangkitkan kembali perusahaan tersebut dengan manajemen yang lebih baik.[12] Aga bergabung setelah saudaranya, Liem Swie Hwa (Adi Sampoerna),[13] meminta agar dirinya mau membantu bisnis keluarga yang saat itu sedang sekarat. Sebelumnya, Aga sebenarnya sudah merintis bisnisnya sendiri, juga di bidang rokok dengan nama "Panamas" lewat PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas yang didirikan pada 19 Oktober 1963 dan berbasis di Bali.[3][10] Aga lalu memindahkan pabrik PT Handel Maatschappij Sampoerna ke Malang dan merintis semuanya kembali dari nol, dengan fokus pada bisnis Sampoerna meskipun ia sudah memiliki usahanya sendiri sebelumnya.
Nama Dji Sam Soe yang sudah terkenal, kembali membantu Aga mengembangkan usaha Sampoerna seperti semula. Puluhan tahun kemudian, PT HM Sampoerna sudah memiliki 1.200 karyawan dan produksinya mencapai 1,3 juta batang/hari. Aga berprinsip bahwa semua rokok yang diproduksi perusahaan, harus laku dijual pada hari itu juga.[10] Maka, dengan segala upaya, rokok Sampoerna terjual 2,5 juta batang/hari dan mendatangkan keuntungan US$ 250.000/bulan. Pada tahun 1979, perusahaan juga mengeluarkan produknya yang kedua, bernama Sampoerna Hijau.[10] Belakangan, ada juga produk Sampoerna A Djingga dan 234 Filter. Walaupun demikian, saat itu Sampoerna bisa dibilang masih "kalah" dibanding produsen lainnya seperti Gudang Garam dan Djarum, diduga akibat kelemahan di bidang pemasaran. Di awal 1980-an, Sampoerna memiliki 7.000 karyawan dalam pabrik yang berlokasi di Bali, Malang dan Surabaya.[7]
Di tahun 1977,[13] Aga mulai mempersiapkan penerusnya, yaitu anak bungsunya bernama Putera Sampoerna yang terlibat dalam dua perusahaan rokok keluarga, yaitu PT Handel Maatschappij Sampoerna dan PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas. Putera kemudian membuat banyak terobosan dan modernisasi di berbagai sektor, seperti membangun pabrik baru seluas 153 hektar yang memproduksi rokok secara terpadu dan modern serta membeli tembakau langsung dari petani.[10] Tembakau-tembakau ini kemudian juga dikelola dengan cara yang baru, yaitu disimpan di sejumlah gudang dan pusat distribusi yang baru dibangun agar kebutuhan perusahaan bisa tercukupi setiap saat. Usaha produksi rokok Sampoerna di Surabaya sendiri kemudian dipusatkan di Rungkut untuk produksi rokok dengan mesin, sedangkan untuk rokok yang dibuat dengan tangan dipusatkan di Taman Sampoerna.[8]
Putera dan Aga kemudian juga mendiversifikasi usaha keluarga Sampoerna ke bidang transportasi, percetakan, periklanan, perdagangan, dan lainnya.[14] Tercatat, Sampoerna juga sampai memiliki saham di perusahaan supermarket Alfa, memiliki Sampoerna Bank dan hendak terjun ke industri mebel.[15] Putera juga berusaha mengembangkan sistem keagenan dan distribusi secara intensif dan membeli mesin-mesin produksi kretek baru.[10] Sampoerna dikembangkan untuk mendistribusikan produknya sendiri, tidak tergantung pada agen-agen seperti sebelumnya.[13] Di tahun 1989, salah satu terobosan penting dikeluarkan, yaitu rokok bernikotin rendah, A Mild yang diluncurkan sebagai bentuk modernisasi. Pengembangan usaha juga dilakukan lewat kerjasama dengan perusahaan besar dan melakukan ekspor ke Malaysia, Myanmar, Vietnam, Filipina dan Brasil.[16] Salah satu kerjasama itu seperti dengan R. J. Reynolds Tobacco Company, Amerika Serikat untuk memproduksi rokok Salem di Indonesia.[15] Sejak tahun 1986, Putera didapuk sebagai pimpinan Sampoerna menggantikan Aga.[17] Meskipun demikian, tidak semua langkah Putera sukses. Usaha perbankan Sampoerna Bank, misalnya gagal yang hampir membuat ia menutup semua lini bisnis non-rokoknya, walaupun kemudian tidak dilakukan.[18]
Pada Oktober 1988, keluarga Sampoerna melakukan restrukturisasi terhadap usaha rokok miliknya. PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas mengambilalih aset, operasional dan merek (seperti Dji Sam Soe dan Sampoerna Hijau)[19] dari PT Handel Maatschappij Sampoerna.[16][20] PT PD dan Industri Panamas kemudian berganti nama menjadi namanya saat ini, yaitu PT Hanjaya Mandala Sampoerna di waktu yang sama.[21] (Belakangan, didirikan perusahaan baru yang bernama sama (PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas) pada 8 Juli 1989 yang saat ini merupakan anak usaha HM Sampoerna di bidang distribusi).[1] Melangkah lebih jauh, pada tanggal 15 Agustus 1990, PT Hanjaya Mandala (HM) Sampoerna menjadi perusahaan publik dengan melepas 27 juta (15%) sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya dengan harga penawaran Rp 12.600/lembar.[15][22][23]
Di tahun 1990, PT HM Sampoerna tercatat memiliki 20.000 karyawan,[14] dan setahun setelahnya, tercatat Sampoerna memproduksi 64 juta batang rokok/minggu, naik dari 21 juta batang pada 1980.[3] Wafatnya Aga Sampoerna di tahun 1994 kemudian dimanfaatkan Putera untuk memasukkan profesional dari luar lingkungan Sampoerna menjadi pimpinan perusahaan dan merealisasikan apa yang ia inginkan bagi perusahaan ini.[17] Memasuki tahun 1995-1996, Sampoerna memiliki kapasitas produksi rokok 170 juta batang/minggu yang kemudian menjadi 660 juta dan dibantu 14 mesin produksi dan 21 mesin pengemasan.[24] Pada periode ini, Sampoerna baru bisa menjadi salah satu pemain yang mulai diperhitungkan, dengan berada di atas pabrikan seperti Bentoel dan Djarum,[18] dan merupakan salah satu perusahaan rokok paling menguntungkan di Indonesia menyaingi pemain lainnya.[13] Perkembangan lainnya adalah, di tahun 2000, putra Putera, Michael Sampoerna, masuk ke jajaran direksi dan menjabat sebagai CEO. Di tahun 2004, Sampoerna sudah memiliki 19,4% pangsa pasar rokok nasional, produksinya mencapai 41,2 miliar batang, dan memperoleh keuntungan Rp 15 miliar.[25] Promosi-promosi kreatif juga dilakukan baik below dan above the line untuk menggenjot penjualan kepada konsumen.[11] Sampoerna resmi mengeluarkan produk rokok superslim pertama di Indonesia, Avolution pada awal Januari 2008, untuk menyambut ulang tahun A Mild yang ke-19. Di tahun 2024, A Mild merupakan sebuah rokok kretek filter LTLN pertama di Indonesia yang sudah bertahan selama 35 tahun sejak peluncurannya. Pada Agustus 2024, A Zetta resmi diluncurkan untuk memperingati ulang tahun A Mild yang ke-35.
Penjualan perusahaan ke Philip Morris
Pada 15 Maret2005, perusahaan ini kemudian diakuisisi oleh Philip Morris International (PMI), yang dengan nilai transaksi diperkirakan mencapai US$ 5,2 miliar akan semakin mengukuhkan posisi Philip Morris di pasar rokok dunia.[26] Akuisisi ini terbilang mengejutkan, karena Sampoerna tercatat memiliki kondisi keuangan yang sangat baik ketika dijual oleh Putera Sampoerna. Putera tercatat mendapatkan dana Rp 18,5 triliun pasca penjualan ini, yang kemudian digunakannya untuk terjun ke bisnis lain yang terpisah/berbeda dari bisnis sebelumnya di bidang rokok, di bawah Sampoerna Strategic Group yang memfokuskan usahanya pada agroindustri.[25] Dari awalnya hanya mengakuisisi 40% saham Putera, dengan tender offer, kepemilikan PMI di perusahaan ini mencapai 97% pada 18 Mei 2005.[27]
Sempat tersiar kekhawatiran seperti bahwa PMI akan mengubah bisnis Sampoerna ke produksi mesin sehingga merumahkan ribuan karyawannya.[28] Sebelum akuisisi, di Indonesia Phillip Morris tercatat sudah memasarkan merek rokok seperti Marlboro dan Longbeach. Meski dibayangi keluarnya perda larangan merokok, Philip Morris tak gentar dan tetap meyakini pasar rokok di Indonesia yang saat itu menduduki peringkat kelima dunia akan terus tumbuh.[26]
Insiden
Pada tanggal 27 April 2020, pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk. yang berlokasi di Rungkut, Surabaya ditutup karena terdampak pandemi COVID-19. Kejadian ini bermula setelah 2 orang karyawan perusahaan tersebut meninggal dunia karena didiagnosis menderita penyakit Covid-19. Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, mengatakan bahwa sebelumnya dua karyawan Sampoerna yang saat itu berstatus sebagai pasien dalam pengawasan (PDP), tetap bekerja dan diduga telah menularkan Coronavirus ke ratusan karyawan lainnya. Akibatnya 323 karyawan yang sudah menjalani rapid test harus dikarantina.[29][30]
Pada Agustus 2020, HM Sampoerna memutuskan untuk merumahkan sebanyak 7.894 karyawan sebagai imbas dari pembatasan operasional pabrik. Seperti diketahui, perseroan telah menghentikan sementara kegiatan produksi di dua pabrik di Surabaya, yakni Rungkut 2 per 27 April 2020 dan Rungkut 1 pada 11 Mei 2020 setelah karyawan perusahaan dinyatakan positif terinfeksi virus Corona (Covid-19), dan kembali mulai beroperasi pada 9 Juni 2020.[31] Di bulan berikutnya, HM Sampoerna melihat perubahan perilaku konsumsi para perokok. Seiring dengan daya beli yang menurun, para konsumen terlihat beralih ke rokok dengan kadar tar tinggi dan cenderung membeli bungkus rokok yang lebih kecil akibat pandemi COVID-19.[32]