Gung Ye (bertahkta 901–918) merupakan raja dari kerajaan yang singkat Hugoguryeo (901-918) (lihat Tiga Kerajaan Akhir Korea) di Semenanjung Korea. Meskipun ia merupakan anggota keluarga kerajaan Silla, ia menjadi korban dari pertikaian kekuasaan di antara keluarga kerajaan selama akhir abad ke-9.[1][2]Ia menjadi seorang pemimpin pemberontakan melawan pemerintahan Silla yang tidak populer, yang mengabaikan hampir seluruh urusan-urusan rakyatnya untuk perselisihan kekuasaan di antara anggota keluarga kerajaan.[3]
Kelahiran
Tanggal lahir Gung Ye yang tepat tidak diketahui, tetapi catatan menyinggung bahwa ia adalah putra Raja Heonan atau Raja Gyeongmun;[4] ibundanya konon adalah seorang wanita kesayangan di dalam istana.[2][3]
Menurut legenda, Gung Ye dilahirkan pada hari raya tradisional Dano; peramal kerajaan meramalkan bahwa bayi yang lahir pada hari raya Dano akan mendatangkan bencana bagi negara, dan para pejabat istana dan anggota keluarga kerajaan mendesak raja untuk memusnahkan bayi iblis itu. Lalu raja memerintahkan para pelayannya untuk membunuhnya. Namun ketika pasukan bergegas menuju tempat tinggal ibu Gung Ye, ia membuang bayinya dari lantai dua, dengan pelayannya bersembunyi di dekat semak-semak untuk menangkap bayi tersebut. Meskipun rencananya dapat mengelabui para pasukan, pelayan itu secara tidak sengaja menusuk mata bagian kiri sang bayi, menyebabkan Gung Ye kehilangan sebelah matanya. Ia menyembunyikan Gung Ye dan membesarkannya diam-diam; ketika pelayan tersebut meninggal, Gung Ye menjadi seorang biarawan Buddha di kuil Sedalsa (세달사).[2][3]
Kehancuran
Gung Ye mengganti nama negaranya menjadi Majin pada tahun 904, dan memindahkan ibu kotanya ke Cheorwon pada tahun berikutnya. Karena Cheorwon merupakan sebuah benteng yang berlokasi di area pegunungan, ia memindahkan rakyat dari kota populasi di Cheongju dan memperluas pemerintahannya ke wilayah Chungcheong, mengendalikan hampir 2/3 wilayah yang pernah dimiliki oleh Silla. Di dalam tahun yang sama Gung Ye mengambil alih Pyeongyang dan memanggil destruksi total negara Silla.[3][4]
Namun, Gung Ye mulai tidak disukai oleh para pendukung sebelumnya. Ia memutuskan apa yang diperlukan untuk mempersatukan rakyat dibawah kekuasaannya adalah kepercayaan agama, dan menggunakan pekerjaan terdahulunya sebagai biarawan Buddha, ia menganggap dirinya sendiri sebagai Budha Maitreya, yang turun ke dunia untuk memimpin dan menyelamatkan rakyat dari segala penderitaan, dan menjadi seorang tiran yang otoriter.[5] Ia mengganti nama kerajaannya menjadi Taebong pada tahun 911.[3][4]
Pada masa akhir pemerintahannya, Gung Ye mulai meragukan kesetiaan hampir semua orang terhadapnya. Ia menuduh sembarang orang berkhianat dan mengeksekusi mereka yang menentangnya, termasuk istrinya sendiri dan kedua putranya.[3] Akibatnya, pada tahun 918 empat dari para jenderalnya yang terkenal – Hong Yu (hangul:홍유, hanja:洪儒), Bae Hyeongyeong (hangul:배현경, hanja:裵玄慶), Shin Sunggyeom (hangul:신숭겸, hanja:申崇謙) dan Bok Jigyeom (hangul:복지겸, hanja:卜智謙) – menggulingkan Taebong dan memahkotai Wang Geon, kepala menteri sebelumnya, sebagai raja.[2][5] Segera setelah itu Dinasti Goryeo diproklamasikan dan Wang Geon pergi untuk mengalahkan negara tetangganya Silla dan Hubaekje untuk menyatukan kembali Tiga Kerajaan pada tahun 936.[6]
Warisan
Meskipun Gung Ye tidak dapat menjaga pimpinannya dan mencapai penyatuan kembali Semenanjung Korea di bawah kepemimpinannya, banyak pelajar hari ini berupaya untuk memeriksa kembali karakter Gung Ye yang sebenarnya. Di dalam catatan sejarah mengenai Gung Ye kebanyakan adalah perspektif yang negatif, karena banyak sejarawan selama masa Dinasti Goryeo mecoba untuk membenarkan kudeta yang dilakukan Wang Geon menggulingkan Gung Ye, dengan upaya untuk memberikan kesahan dinasti tersebut. Namun bahkan setelah Goryeo didirikan, banyak orang yang menolak pemerintahan Wang Geon dan memberontak melawan dinasti yang baru dibentuk itu; beberapa malah dengan sukarela membelot pada Gyeon Hwon dari Hubaekje. Ini dapat diartikan oleh banyak orang bahwa meskipun setelah kudeta terjadi, Wang Geon menghargai pemerintahan Gung Ye dan ia bukan orang yang memerintah secara sewenang-wenang seperti yang diceritakan di dalam sejarah. Beberapa pelajar menerangkan proklamasi pribadi Gung Ye sebagai Buddha sebagai upaya untuk mengkukuhkan kekuasaannya, karena ia merupakan anggota kerajaan Silla, tidak memiliki pengaruh atas tuan tanah dan pedagang lokal, jadi ia berusaha untuk menggunakan kekuasaan agama untuk menjaga pemerintahannya yang terbukti tidak efektif.[3]
Referensi
- The Academy of Korean Studies, Korea through the Ages Vol. 1, The Editor Publishing Co., Seoul, 2005. ISBN 89-7105-544-8