Gereja Santo Willibrordus, Cepu
Keberadaan Gereja Cepu merupakan suatu proses perkembangan dan perluasan dari gereja yang mendahuluinya. Maka berdasarkan studi historis, untuk mengetahui dan mempelajari sejarah serta perkembangan Gereja Katolik di Cepu, perlu mengetahui sejarah dan dinamika Gereja Katolik melalui karya-karya misionaris pertama yang masuk ke Jawa Tengah.Para missioner berkarya dengan gigih dan tekun meniti berbagai himpitan, baik keputusan yang berdimensi politik dari Pemerintah Belanda melalui Gubernur Jenderal yang bertugas di Indonesia, sikap antipati golongan Tionghoa pada waktu itu, wilayah yang sangat luas bila dibandingkan dengan jumlah imam yang harus melayani, maupun kondisi jalan yang sulit untuk melakukan kunjungan dan pelayanan umat. Sehubungan dengan hal diatas, sangat penting untuk mengetahui keberadaan, kehadiran, keuletan, kegigihan, kesabaran dan semangat pantang menyerahdari misionaris-misionaris Gereja Katolik Santo Yusup Gedangan Semarang. Sebab bermuara dari sana Gereja Cepu mulai tertanam, tumbuh dan berkembang dalam masanya. Untuk kesempurnaan historis, perlu disimak pula peranan Gereja Katolik Santa Perawan Maria Kepanjen - Surabaya sebagai penerus perjuangan para imam dari paroki Gedangan, yang merupakan induk Stasi Cepu masa itu. Cepu Sebagai Stasi Paroki Santo Yusup Gedangan SemarangBerdasarkan data yang terdapat pada Buku Baptis X, XI dan XII Paroki Santo Yusup Gedangan Semarang, tercatat bahwa di Cepu sudah ada baptisan baru yang terjadi pada tanggal 28 Februari 1912, sebanyak 3 orang oleh Romo HJJ. Janssen, SJ. Dalam Buku Penguatan 1911 – 1920, Paroki Santo Yusup Gedangan Semarang, tercatat bahwa pada tanggal 29 September 1912 serta tanggal 24 September 1917, Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Edmundus Luypen, SJ menerimakan Sakramen Krisma di Cepu terhadap 21 orang. Pada tahun 1908 – 1926 sudah ada kunjungan-kunjungan yang dilaksanakan oleh Pastor Hans van Beckhoven, SJ, Pastor Th. Madlener, SJ, Pastor Gerardus Minderop, SJ, Pastor Bartholomeus Hagdorn, SJ di daerah Cepu, Bojonegoro, Blora, Nglobo, Ledok, Kunduraan, dan Doplang. Dari peristiwa-peristiwa itu dapat disimpulkan bahwa pada saat itu sudah ada aktivitas gerejawi dan sudah mempunyai tempat khusus untuk peribadatan.Bahkan berdasarkan Buku Baptis X, XI, XII Pastor Hans van Beckhoven, SJ sangat dominan dalam memberikan baptisan, disamping Pastor HJJ. Janssen, SJ dan Pastor Hoevenaars, SJ yang juga pernah berkarya di Cepu. Berpijak pada kenyataan tersebut dapat dipastikan bahwa pada tahun 1912 (atau sebelumnya) sudah ada sejumlah umat katolik yang menetap di Cepu sebagai persekutuan umat beriman (Gereja). Dengan adanya perusahaan Minyak DPM yang mulai mengadakan pengeboran minyak di Cepu pada tahun 1893, di Jepon pada tahun 1899 di Tinawun, Dandangilo – Wonocolo, Kawengan, Kidangan pada tahun 1895 demikian pula di Ledok pada tahun yang sama, kiranya dapat memberi sumbangan yang cukup berarti bagi tumbuh dan berkembanganya suatu Gereja. Demikian pula pada tahun 1895/1896 di Cepu dibangun pabrik lilin, dikarenakan minyak di daerah Cepu banyak mengandung lilin. Sehingga pada tahun 1896 Peruasahaan Minyak DPM Surabaya dan Cepu berkembang menjadi Peruasahaan Minyak terkuat di Jawa. Situasi ini memungkinkan bertambahnya umat Katolik di Cepu, Bojonegoro, Blora dan sekitarnya semakin banyak, karena jumlah orang Belanda yang bekerja di Cepu semakin banyak pula. Pada tahun 1923, Pastor Jesuit masih memberikan Sakramen Baptis, kepada umat di Cepu sebanyak 6 orang, di Padangan sebanyak 1 orang dan di Bojonegoro sebanyak 2 orang.Berdasarkan data yang ada, pada tanggal 21 Maret 1923, merupakan peristiwa baptisan terakhir yang tercatat pada Buku Baptis Paroki Santo Yusup Gedangan Semarang. Tidak dapat diketahui secara pasti, di mana mereka (Gereja) mengadakan upacara-upacara liturgi atau kegiatan religiius lainnya, sebab menurut data sejarah gedung gereja baru dibangun (dan atau ada) baru pada tahun 1930/1931. Dinyatakan dengan jelas Vicaris Apostolic Batavia Mgr. ES. Luypen, SJ pernah datang di Cepu untuk memberikan Sakramen Krisma pada tahun 1912 dan 1917 tentu harus ada tempat yang memadai. Analisis yang dapat diajukan, aktivitas tersebut diatas dipastikan menempati rumah umat atau perumahan umum atau tempat-tempat yang bersifat umum, yang ada hubungannya dengan kepemerintahan Belanda C/Q Perusahaan Minyak DPM/BPM. Cepu Sebagai Stasi dari Paroki Santa Perawan Maria Kepanjen SurabayaDinamika umat beriman di Cepu semakin berkembang pesat, bersamaan dengan pesatnya Konsesi Perusahaan Pengeboran dan Pengolahan Minyak DPM yang diambil alih menjadi Konsesi Perusahaan Minyak BPM pada tahun 1923 yang menuai banyak sumur minyak di Cepu dan sekitarnya, serta pabrik kilang minyak. Situasi pesatnya perkembangan Perusahaan Minyak di Cepu, yang berkaitan erat dengan Perusahaan Minyak di Surabaya, memungkinkan pertambahan orang Belanda yang bekerja. Demikian pula pada tahun 1925 berdatangan umat katolik pribumi berasal dari daerah Semarang, Ambarawa, Magelang, Muntilan, Klaten, Yogyakarta dan Surakarta yang bekerja dibidang Perkereta-apian, Perminyakan dan Kehutanan. Disamping itu ada juga pendatang pribumi yang bekerja sebagai Guru dan Pamong Praja. Dari catatan yang terdapat pada Buku Baptis I Gereja Katolik St. Willibrordus Cepu dinyatakan permandian umat dari tanggal 15 September 1923 sampai dengan 12 Januari 1932 tercatat di Paroki Santa Perawan Maria Kepanjen Surabaya. Gereja Katolik Cepu dari Stasi menjadi ParokiAwal adanya benih Gereja sebagai Persekutuan Kaum Beriman kepada Kristus menjadi sebuah paroki merupakan harta benda gereja yang tak ternilaikan. Gereja Katolik mempunyai alasan dan pertimbangan yang kuat mengubah stastus Gereja dari Stasi menjadi sebuah Paroki. Beberapa alasan perubahan status stasi menjadi paroki adalah adanya jumlah umat yang cukup, pengalaman hidup menggereja yang lama. Tahun 1912 sampai tahun 1932, membuktikan kehidupan menggereja di Cepu telah memilik kekuatan, baik jumlah umat maupun pengalaman hidup menggereja untuk berdirinya sebuah paroki.Romo-romo Jesuit dapat dikatakan sebagai perintis awal Gereja Katolik di Cepu pada periode awal (dari masa awal adanya umat beriman di Cepu hingga tahun 1923). Gereja katolik di Cepu pada periode kedua (mulai tahun 1923 sampai berdiri sebagai paroki tahun 1932) hidup dan berkembang bersama Congregasi Misi. Para misionaris CM yang meneruskan karya misi Jesuit tersebut adalah Pastor Wolter, CM dan Pastor Kock, CM pada tanggal 15 September 1923 sampai dengan 12 Januari 1926, dilanjutkan Pastor Ravestijn, CM berkarya di Cepu sampai dengan 27 Februari 1929. Baptisan baru umat katolik Cepu dicatat dalam Buku Permandian Seri V part II Paroki Santa Perawan Maria Kepanjen Surabaya. Setelah jumlah umat bertambah besar, kebutuhan akan rumah ibadat (Gedung Gereja) mulai terasakan oleh umat. Timbul gagasan diantar umat Katolik di Cepu segera mewujudkannya. Mereka melakukan konsultasi dengan berbagai pihak, mulai dengan mengumpulkan dana.Perusahaan Minyak BPM memberikan sumbangan material dan dukungan moril, berupa penggunaan sebagian tanahnya untuk bangunan Gedung Gereja serta mengizinkan beberapa tenaga tekhnik BPM sebagai pelaksana. Adapun tenaga BPM yang diserahi sebagai pelaksana adalah Tn. C. Mooy dari Bagian Tehnik Sipil BPM. Diperkirakan Gedung Gereja Cepu didirikan bersamaan dengan pembangunan Gedung Soos Sasono Suko (sekarang) sekitar tahun 1930. Pemberkatan Gedung Gereja dilakukan oleh Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J. perfector Apostolic Batavia, pada tanggal 20 Mei 1931 dengan nama pelindung gereja Santo Willibrordus, seorang uskup dari daerah Nederland Selatan Belanda.Pada tanggal 15 September 1932 Cepu berdiri sebagai Paroki dibawah kegembalaan Pastor G. Ravestijn, CM. Paroki Cepu termasuk wilayah kerja Keuskupan Dioces Surabaya dengan Mgr. Klooster, CM sebagai Uskupnya (perlu diketahui dia pernah menjabat sebagai Pastor Paroki Cepu). KEADAAN WILAYAH PAROKI SANTO WILLIBRORDUS - CEPUWilayah Paroki Kota
Wilayah Stasi Paroki
Pastor-Pastor Yang Pernah Berkarya di Paroki Cepu
Jadwal MisaHarian dan Mingguan Diarsipkan 2023-06-06 di Wayback Machine. Catatan Kaki
|