Gending Karesmen (rinengga sari, opera sunda, atau dramaswara) adalah kesenian drama khas Sunda yang dialog-dialognya dinyanyikan disertai iringan karawitan (tergantung kebutuhan teks dan ceritanya).[1] Gending karesmen berasal dari kata gending yang berarti berbagai jenis lagu dan karesmen yaitu keindahan yang dihasilkan dari waditra atau gamelan.[2] Kesenian ini menitikberatkan pada perpaduan berbagai unsur seni, seperti seni dari karya sastra yang berupa naskah cerita dalam bentuk prosa liris. Seni suara atau tembang yang tampak dalam dialog tokoh yang dinyanyikan berdasarkan aturan pupuh atau sekaran. Seni drama yang diperankan oleh aktor sesuai dengan karakter yang dibutuhkan dalam cerita. Seni gamelan yang terdengar dari kecapi siter atau kecapi parahu (kacapi indung), suling atau rebab, goong dan gendang, dan waditra lengkap (gamelan degung, gamelan salendro, dan gamelan pelog).[3] Kemudian orang yang pertama kali memperkenalkan istilah gending karesmen kepada khalayak ramai adalah R. Machyar Angga Kusumadinata. Pada tahun 1926, beliau menampilkan gending karesmen yang berjudul Sarkam Sarkim yang dipertunjukkan di pendopo Bupati Sumedang yang menyukai kesenian lokal Sunda.[2] Setelah itu, istilah gending karesmen diperkuat dengan muncul pada Kongres Bahasa Sunda ke-2 tahun 1927 yang dilaksanakan di Societeit Ons Genoegen (sekarang Yayasan Pusat Kebudayaan) (YPK) Bandung.[4] Pada masa lalu, gending Karesmen sering ditampilkan di taman-taman untuk memeriahkan pesta kebun. Saat ini, seni pentas gending karesmen dapat disaksikan antara lain di Saung Angklung Udjo, Bandung dan di desa budaya Manglangyang, Bandung.[5] Gending karesmen termasuk ke dalam pagelaran drama yang mewah dan meriah. Judul pagelaran yang telah dilakukan dan menjadi populer adalah Galunggung Ngadeg Tumenggung karya Wahyu Wibisana, Lutung Kasarung karya R.T.A. Soenarja, Mundinglaya Saba Langit Karya Wahyu Wibisana, Ratu Inten Dewata karya R. Ading Affandie.[6]
Rujukan
Pranala luar