Hampir semua orang Salatiga secara lintas generasi tidak akan merasa asing dengan bangunan di sebelah timur Kelenteng Hok Tek Bio ini. Kendati demikian, antara generasi yang satu dengan generasi yang lain akan mengenalnya dengan nama yang berbeda. Pasalnya, sejak dibangun pertama kali pada tahun 1890 bangunan ini mengalami pergantian banyak fungsi. Ada generasi yang menyebutnya sebagai Gedung CHTI, Gedung C2, Perpustakaan Daerah, atau Gedung Dekranasda.
Dulunya gedung dengan arsitektur campuran antara Eropa dan China ini milik seorang Tionghoa yang mempunyai hubungan kekerabatan yang erat dengan Keraton Surakarta Hadiningrat. Antara kerajaan Mataram dan etnis China di Salatiga memang sudah terjalin baik sejak dulu. Pada masa seputar peristiwa Geger Pacinan, Laskar China di Salatiga bahu membahu dengan pasukan Mataram (yang waktu itu masih berada di Kartasura) melawan tentara VOC yang berbasis di Semarang. Meskipun akhirnya pasukan Mataram berbalik bersekutu dengan VOC, tetapi secara personal banyak warga China di Salatiga yang tetap membina hubungan baik dengan pihak Keraton Mataram di kemudian harinya.
Ciri arsitektur Eropa dari gedung Chung Hua Tsung Hui bisa ditilik dari model pintu luar yang tinggi-tinggi, pintu di dalam dengan model setengah lingkaran serta lantai bermarmer dengan aneka Sementara itu ciri arsitektur China bisa dilihat dari atapnya, sama seperti atap bangunan lain di Pacinan. Bangunan ini dari luar terkesan sangat sederhana, tetapi sebenarnya interior bangunan jauh lebih menarik dibanding yang terlihat dari bagian luar.
Pada tahun 1950-an bangunan ini berada di bawah pengelolaan ormas Chung Hua Tsung Hui (CHTI), dan mereka banyak melakukan kegiatan di bidang sosial budaya. Namun, karena adanya indikasi keterlibatan pengurus CHTI terkait peristiwa G-30S PKI membuat gedung ini sempat tidak bertuan, sebelum akhirnya diambil alih pemerintah. Gedung ini juga pernah dipakai untuk siaran radio amatir YDA 7 C2. Sesudah itu lama tak bertuan lagi, sampai akhirnya dipakai oleh Kantor Perpustakaan Daerah.
Pada bulan Maret 2010 gedung ini diresmikan sebagai gedung Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda), yang berfungsi sebagai ajang pameran, berjualan, serta tukar menukarinformasi bagi pelaku UMKM. beberapa produk kerajinan warga Salatiga di-display di sana, mulai dari handcraft,lukisan, produk seni rupa, batik Salatiga, dan sebagainya. Selain itu, bangunan ini juga dimanfaatkan sebagai sanggarseni lukis, di mana anak-anak bisa melukis atau mewarnai di sana. Namun, tampaknya perkembangan Dekranasda kurang begitu menggembirakan sehingga bangunan ini menjadi kembali sepi seperti gedung tak berpenghuni.[1][2][3][4]
Harnoko, Darto, dkk (2008). Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olah Raga Kota Salatiga.
Prakosa, Abel Jatayu (2017). Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917–1942. Semarang: Sinar Hidoep.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Raap, Olivier Johannes (2015). Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Rahardjo, Slamet, dkk (2013). Sejarah Bangunan Cagar Budaya Kota Salatiga. Salatiga: Pemerintah Daerah Kota Salatiga.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Supangkat, Eddy (2019). Gedung-Gedung Tua yang Melewati Lorong Waktu Salatiga. Salatiga: Griya Media.
Supangkat, Eddy (2012). Salatiga: Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hatmadji, Tri, dkk (2009). "Cagar Budaya Salatiga". Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-18. Diakses tanggal 2020-12-27.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)