Jalan Diponegoro No. 21/23, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah
Pemilik
Keluarga Notosoegondo
Pengelola
Keluarga Notosoegondo
Rumah Tinggal Notosoegondo (bahasa Jawa: ꦲꦺꦴꦩꦃꦤꦠꦱꦸꦒꦤ꧀ꦢ, translit. Omah Natasuganda) adalah bangunan yang terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai cagar budaya, yang terletak di Jalan Diponegoro No. 21/23, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Bangunan ini dibangun awal abad ke-20 dan menjadi salah satu bukti fisik dari konsep kota modern arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain, yaitu GPIB Tamansari Salatiga, Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius, Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto, dan Toko Aneka Jaya.
Keadaan bangunan
Rumah ini dibangun awal abad ke-20 dan diperkirakan berusia lebih dari 100 tahun.[1] Lokasinya berada di Jalan Diponegoro (dahulu bernama Toentangscheweg) No. 21/23, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah.[2] Pada masa pemerintahan gemeente (kotapraja), kawasan tersebut dikenal dengan nama Europeesche Wijk.[3][4]
Menurut Prakosa dan Supangkat, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).[5][6] Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern, yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Gaya romantisme bangunan tersebut terlihat di fondasi batu belah yang kokoh, interior ruangan berbentuk garis melengkung, atap berbentuk perisai segi delapan, serta jendela-jendela yang simetris dengan dinding bangunan. Desain bangunan rumah itu memanfaatkan lahan yang sempit dan memanjang, tetapi letaknya lebih rendah dari jalan raya.[1] Setelah Revolusi Nasional Indonesia dan bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS), rumah ini ditempati oleh keluarga Notosoegondo, dosen ekonomi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), yang juga dipercaya untuk memimpin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kota Salatiga. Hingga tahun 2020, kondisi fisik bangunannya terawat dengan baik, meskipun ahli waris tidak menetap di rumah itu.[7]
Kompensasi pelestarian
Rumah tinggal yang berdekatan dengan Wisma BCA Salatiga tersebut terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/15.[a][8] Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari BPCB Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain di Kota Salatiga. Kompensasi tersebut diserahkan kepada Hendriani selaku pemilik dan pengelola bangunan. Adapun empat bangunan lain itu adalah GPIB Tamansari Salatiga (diserahkan kepada Marthinus Mijan Rukait selaku Ketua IV Pelaksana Harian Majelis GPIB Tamansari Salatiga), Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius (diserahkan kepada Suster Kepala Maria Gratia Surtinan), Rumah Tinggal Hasmo Sugiarto (diserahkan kepada Sri Kadarinah selaku pemilik dan pengelola bangunan), dan Toko Aneka Jaya (diserahkan kepada Heriyanto selaku pemilik dan pengelola bangunan).[1][9][10]
^Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 (Hatmadji, dkk 2009, hlm. 3).
Rujukan
^ abcSupangkat, Eddy (2019). Gedung-Gedung Tua yang Melewati Lorong Waktu Salatiga. Salatiga: Griya Media. hlm. 20–21.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Raap, Olivier Johannes (2015). Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 19.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Prakosa, Abel Jatayu (2017). Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917–1942. Semarang: Sinar Hidoep. hlm. 27.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Supangkat, Eddy (2012). Salatiga: Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media. hlm. 35.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Rahardjo, Slamet, dkk (2013). Sejarah Bangunan Cagar Budaya Kota Salatiga. Salatiga: Pemerintah Daerah Kota Salatiga. hlm. 133–134.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia (19 Juni 2015). "Pemberian Kompensasi Pelestari Cagar Budaya Kota Salatiga". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020.
Darmiati, dkk (1999). Otonomi Daerah di Hindia-Belanda (1903–1940). Jakarta: CV. Sejahtera.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Handjojo, M.S. (1978). Riwayat Kota Salatiga. Salatiga: Sechan Press.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Harnoko, Darto, dkk (2008). Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olah Raga Kota Salatiga.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Kartoatmadja, dkk (1995). Hari Jadi Kota Salatiga 24 Juli 750. Salatiga: Pemerintah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Oemar, Mohammad, dkk (1978). Sedjarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Purnomo, Daru, dkk (2015). Kajian Pemekaran Kota Salatiga. Salatiga: Pusat Kajian Kependudukan dan Pemukiman Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)