Front Persatuan Pertama di Tiongkok (disebut juga Aliansi KMT-PKT, bahasa Inggris: KMT-CPC Alliance) adalah sebuah front persatuan antara Kuomintang (KMT) dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dibentuk pada tahun 1923 sebagai aliansi untuk mengakhiri pemerintahan panglima perang di Tiongkok. Aliansi ini mendirikan Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok dan melaksanakan Ekspedisi Utara pada tahun 1926. Anggota-anggota PKT bergabung dengan KMT sebagai individu dan menggunakan jumlah anggota KMT yang lebih banyak sebagai cara untuk menyebarkan komunisme. Di sisi lain, KMT hendak mengendalikan para komunis dari dalam. Kedua partai memiliki tujuan mereka masing-masing, dan front ini kemudian pecah. Chiang Kai-shek menghabisi para komunis ketika Ekspedisi Utara masih berjalan. Hal ini menciptakan perang saudara antar keduanya yang berjalan terus hingga Front Persatuan Kedua dibentuk pada tahun 1936 untuk bersiap melawan Jepang di Perang Tiongkok-Jepang Kedua.
Penghidupan kembali Kuomintang
Ketika era panglima perang, Sun Yat-sen tetap bermimpi akan adanya republik Tiongkok yang bersatu. Tujuan akhir Sun adalah mendirikan pemerintahan tandingan di Guangzhou, Tiongkok selatan, serta melancarkan pemberontakan dari situ ke Tiongkok utara di Beiyang. Ketika kembali dari pembuangan pada tahun 1917, Sun mendirikan kembali partai nasionalisnya yang dilarang, Partai Kuomintang, tapi kini dengan nama baru, yaitu Partai Kuomintang Tiongkok. Rencananya adalah bahwa setelah para panglima perang dikalahkan, partai ini akan mengantar Tiongkok hingga ambang demokrasi. Namun begitu, pemerintahan tandingan yang didirikan Sun ini tidak sebanding kekuatan militernya dengan pemerintahan panglima perang. Meskipun sudah berkali-kali meminta bantuan dari Barat, dukungan militer dan finansial tidak pernah datang. Pada tahun 1920, Kuomintang pada akhirnya mendapatkan dukungan dari sumber yang tidak terduga, yaitu para Bolshevik di Rusia. Dukungan materi dari Rusia cukup membantu bagi Sun. Ia sebelumnya juga menunjukkan fleksibilitas mengenai konsep republiknya. Ia tidak pernah simpatik terhadap konsep Marxisme, dan tidak menganggap komunisme sebagai jawaban berbagai permasalahan di Tiongkok. Menurut Sun, Tiongkok bukanlah negara orang kaya dan miskin, melainkan negara orang miskin dan yang lebih miskin. Prinsip Kuomintang bergantung pada "Tiga Prinsip Rakyat" (三民主义) yang ia konsepkan sendiri: nasionalisme, demokrasi, serta penghidupan masyarakat (sosialisme).
Di bawah panduan Rusia, Kuomintang pada akhirnya menjadi partai yang kuat serta disiplin. Faktor penentunya adalah bantuan Bolshevik kepada Kuomintang ketika membentuk tentaranya sendiri, yaitu Tentara Revolusioner Nasional. Akademi Militer Whampoa pun didirikan di dekat Guangzhou. Sun Yat-sen menentukan pendukungnya yang setia, Chiang Kai-shek, sebagai pimpinan akademi baru ini. Secara finansial, Akademi Militer Whampoa beroperasi dengan bantuan Uni Soviet. Kualitas pendidikan di akademi ini sering diinspeksi oleh pejabat tinggi Rusia. Banyak pimpinan Kuomintang serta PKT yang merupakan lulusan akademi ini. Lebih lanjut, pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat, Lin Biao, juga merupakan lulusan Whampoa. Zhou Enlai, yang kemudian menjadi Perdana Menteri Tiongkok, juga pernah bekerja di akademi ini.
Bersama-sama melawan kaum panglima perang dan imperialis
Uni Soviet memiliki kepentingannya sendiri dalam dukungannya terhadap Kuomintang. Sebagai ganti dari bantuan ini, kaum Bolshevik meminta Kuomintang untuk membangun sebuah aliansi dengan kaum komunis Tiongkok. Pemerintahan Rusia di Moskwa tidak percaya bahwa partai komunis ini cukup kuat untuk mengadakan revolusi di Tiongkok, yang sebelumnya diperkirakan sudah siap untuk komunisme segera setelah kaum borjuis meruntuhkan sistem dinasti. Pada awal tahun 1920an, Partai Komunis Tiongkok yang baru berdiri hanya punya ratusan anggota, sementara Kuomintang memiliki lebih dari 50 ribu. Rencana Moskwa adalah untuk mendapatkan dukungan masyarakat, lalu setelah itu mengambil alih tampuk kepemimpinan dari Kuomintang. Berdasarkan permintaan dari Rusia, para komunis Tiongkok, termasuk di antaranya Mao Zedong, menjadi anggota Kuomintang, dan koalisi pertama kedua partai ini pun dibangun.
Dengan bantuan Uni Soviet, Kuomintang berhasil mendapatkan dukungan dan melanjutkan ambisinya mempersatukan republik dengan semangat baru. Kuomintang siap untuk menyatukan negara dengan kampanye militer melawan kaum panglima perang di utara setelah mengamankan posisinya di Tiongkok selatan. Koalisi dengan kaum komunis ini adalah sebuah koalisi yang dipaksakan, yang terjadi hanya karena mereka punya musuh bersama, yaitu kaum panglima perang dan imperialisme. Setelah kematian Sun Yat-sen pada tahun 1925, koalisi ini melemah, dan sayap kanan Kuomintang pun mengakhiri hubungan dengan Uni Soviet dan para komunis Tiongkok.
Akhir
Front Persatuan Pertama dibentuk agar KMT dan PKT dapat bersatu membangun Tiongkok. Tujuan utamanya adalah untuk menghabisi ancaman dari kaum panglima perang, melalui Ekspedisi Utara pada tahun 1926-28, tetapi sesungguhnya kedua belah pihak punya motif tersembunyi. PKT membentuk aliansi ini agar mereka dapat menyebarkan komunisme melalui anggota-anggota KMT, dan sebaliknya tujuan Chiang Kai-shek adalah untuk mengendalikan PKT dari dalam. Chiang adalah alasan terbesar berakhirnya hubungan damai ini, akibat keinginannya mengendalikan partai komunis yang pada akhirnya menghabisi Front Persatuan. Kondisi demikian diperparah dengan pembunuhan besar-besaran anggota komunis di pertengahan tahun 1927, yang disebut Pembantaian Shanghai. Pembantaian ini dilakukan oleh Chiang di tengah-tengah Ekspedisi Utara. Chiang ingin menguasai seluruh Tiongkok, dengan mengendalikan partai Komunis akan membuat hal ini jauh lebih mudah baginya. Pembersihannya pada akhirnya menghancurkan persatuan ini, dan mengakibatkan perang saudara Tiongkok yang tertunda ketika kedua belah pihak membentuk Front Persatuan Kedua untuk memerangi Jepang dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua.