Entamoeba histolytica

Entamoeba histolytica adalah protozoa parasit, bagian dari genus Entamoeba.[1] Entamoeba memiliki beberapa spesies antara lain E. histolytica, E. dispar, E. moshkovskii, E. polecki, E. coli, E. hartmanni, Jadamoeba butschii, Dientamoeba fragilis dan Endolimax nana. Semua spesies tersebut dapat ditemukan dalam rongga usus besar tetapi hanya E. histolytica yang bersifat patogen terhadap manusia dan infeksi invasif.[2] Jenis parasit golongan protozoa usus ini oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) diklasifasikan sebagai patogen biodefense prioritas kategori B karena dosis infeksinya yang rendah, resistensi klorin, dan stabilitas lingkungan, sifat yang dapat menimbulkan ancaman penyebaran yang mudah melalui kontaminasi persediaan makanan dan air [3] oleh karena itu E. histolytica ini sering hidup sebagai bakteri komensal (apatogen) di jaringan usus besar manusia, namun pada kondisi tertentu dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus. Pada kasus yang parah, patogen tersebut dapat menembus dinding usus sehingga besar kemungkinan akan timbul ulserasi Diarsipkan 2021-07-09 di Wayback Machine.. E. histolytica diperkirakan telah menginfeksi sekitar 35-50 juta orang di seluruh dunia.[4]

Entamoeba histolytica ini memiliki bentuk trofozoit dan kista.

Trofozoit[5][6]

  1. ukuran 10-60 µm
  2. sitoplasma bergranular dan mengandung eritrosit yang merupakan penanda penting untuk diagnosisnya,
  3. terdapat satu buah inti entamoeba, ditandai dengan karyosom padat yang terletak di tengah inti, serta kromatin yang tersebar di pinggiran inti,
  4. bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar, disebut pseudopodia,
  5. di dalam dinding usus besar, trofozoit terbawa aliran darah menuju ke hati, paru, otak dan organ lain,
  6. trofozoit dalam saluran pencernaan melakukan pemadatan dan berubah bentuk menjadi metakista yang akan keluar bersama tinja.

Kista[5][6]

  1. bentuk memadat mendekati bulat, ukuran 10-20 µm,
  2. kista matang memiliki 4 buah inti entamoba,
  3. tidak dijumpai lagi eritrosit di dalam sito-plasma,
  4. kista yang belum ma-tang memiliki glikogen (chromatoidal bodies) berbentuk seperti cerutu, namun biasanya meng-hilang setelah kista matang,
  5. stadium kista sangat tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk dan tetap bertahan di tanah selama 8 hari pada suhu 28–34 °C, 40 hari pada suhu 2–6 °C, dan 60 hari pada suhu O°C,
  6. kista sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu namun dapat dihancurkan dalam asam asetat 5-10% dan iodine 200 ppm. Sedangkan dalam air dapat bertahan sampai 1 bulan dan dalam tinja kering sampai 12 hari,
  7. kista dapat dihilangkan dengan filtrasi pasir atau dimatikan dengan direbus, filtrasi dilakukan dengan menggunakan tanah yang mengandung diatomaceaus.
Entamoeba histolytica
Kista Entamoeba histolytica
Klasifikasi ilmiah
Domain:
Kerajaan:
Filum:
Subfilum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
E. histolytica
Nama binomial
Entamoeba histolytica
Schaudinn, 1903

Dalam daur hidup Entamoeba hystolitica mempunyai 2 stadium yaitu trofozoit dan kista. Trofozoit sebagai tahap aktif hanya ada di inang dan dalam feses segar seperti kista bertahan hidup di luar inang di air, di tanah, dan di makanan, terutama di bawah kondisi lembab.[7] Terdapat kejadian dimana sebagai respons terhadap rangsangan yang tidak diketahui, trofozoit bergerak melalui lapisan lendir di mana mereka bersentuhan dengan lapisan sel epitel dan memulai proses patologis. E. histolytica memiliki lektin yang mengikat gula galaktosa dan N-asetilgalaktosamin pada permukaan sel epitel. Lektin biasanya digunakan untuk mengikat bakteri untuk pencernaan. Parasit memiliki beberapa enzim seperti protein pembentuk pori, lipase, dan protease sistein, yang biasanya digunakan untuk mencerna bakteri dalam vakuola makanan tetapi dapat menyebabkan lisis sel epitel dengan menginduksi nekrosis seluler dan apoptosis ketika trofozoit bersentuhan dengan mereka. dan mengikat melalui lektin. Enzim yang dilepaskan memungkinkan penetrasi ke dinding usus dan pembuluh darah, terkadang ke hati dan organ lain.[8] Trofozoit kemudian akan menelan sel-sel mati ini. Kerusakan pada lapisan sel epitel ini menarik sel kekebalan manusia dan ini pada gilirannya dapat dilisiskan oleh trofozoit yang melepaskan enzim litik sel kekebalan itu sendiri ke jaringan sekitarnya, menciptakan jenis reaksi berantai dan menyebabkan kerusakan jaringan. Penghancuran ini memanifestasikan dirinya dalam bentuk 'ulkus' di jaringan, biasanya digambarkan sebagai berbentuk labu karena penampilannya di bagian melintang yang akan menginduksi proses inflamasi di kolon sehingga menimbulkan gejala-gejala amebiasis kolitis. Selain melakukan penempelan sel, trofozoit juga akan mensekresikan modulator sel imun yang akan meningkatkan produksi sitokin dan infiltrasi sel inflamatori.[9][10]

Infeksi dapat terjadi ketika seseorang memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya yang telah menyentuh kotoran orang yang terinfeksi E. histolytica. Bila kista matang tertelan, kista tersebut dan bertahan terhadap asam lambung. Kista yang masuk ke dalam rongga terminal usus halus, dinding kista dicernakan dan terjadi ekskistasi sehingga menjadi stadium trofozoit yang kemudian masuk ke rongga usus besar. Stadium trofozoit dapat patogen. Melalui aliran darah trofozoit dapat menyebar ke jaringan hati, paru, otak kulit dan vagina.[2] E. histolytica, seperti namanya histo-lytic yang berati perusakan jaringan, bersifat patogen artinya infeksi dapat terjadi tanpa gejala yang dapat menyebabkan disentri amuba atau abses hati amuba.[11] Gejalanya bisa termasuk disentri fulminan, diare berdarah, penurunan berat badan, kelelahan, sakit perut, dan amoeboma. Amuba dengan bantuan gerakan peristaltik yang cepat akan masuk kembali ke lumen usus dan keluar bersama tinja dalam bentuk trofozoit, tetapi bila gerakan peristaltik normal trofozoit dapat berdiferensiasi menjadi bentuk kista. Bentuk kista tiap hari dikeluarkan melalui tinja hingga 15 juta kista oleh individu carrier. Amoebiasis kolon bila tidak diobati akan menjalar keluar dari usus menyebabkan amebiasis ekstra-intestinal yang terjadi secara hematogen dan perikontunuitatum. Cara hemotogen terjadi bila amoeba telah masuk submukosa kemudian ke kapiler darah. Cara perikontinuitatum terjadi bila abses hati pecah dan amoeba keluar menembus diagfragma, masuk ke rongga pleura dan paru dan menimbulkan suatu abeses paru atau empiema.

Faktor Resiko

Kondisi sanitasi yang buruk diketahui meningkatkan risiko tertular amebiasis E. histolytica.[7] Di Amerika Serikat, ada tingkat kematian terkait amebiasis yang jauh lebih tinggi di California dan Texas, yang mungkin disebabkan oleh kedekatan negara bagian tersebut dengan daerah endemik E. histolytica, seperti Meksiko, bagian lain Amerika Latin, dan Asia.[12] Data terkait infeksi E. histolytica masih terbatas di Indoneisa. Data yang ada menunjukkan prevalensi amebiasis di Indonesia berkisar antara 10 – 18%. [20] Sebuah studi di Jakarta pada tahun 2009 – 2010 menemukan bahwa 6,5% anak yang mengalami diare berdarah memiliki trofozoit di dalam fesesnya.[10][13]

E. histolytica juga diakui sebagai patogen menular seksual yang muncul, terutama pada hubungan homoseksual pria, yang menyebabkan wabah di daerah non-endemik.[14] Dengan demikian, perilaku seks bebas yang tidak ama berisiko tinggi juga merupakan sumber infeksi yang potensial.[15] Meskipun belum pasti apakah ada hubungan sebab akibat, penelitian menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk terinfeksi E. histolytica jika seseorang juga terinfeksi HIV.[16] Masih perlu pengkajian ulang supaya bisa didapat data yang maskimal. Sumber lain juga mengatakan keterlibatan paru terjadi akibat abses hepar yang ruptur ke dalam rongga pleura.[17] Penyebaran penyakit ini lebih banyak dijumpai di daerah tropis dan subtropis, terutama pada daerah yang tingkat perekonomiannya rendah serta buruknya sistem sanitasi. Penyakit ini sering ditemukan di tempat-tempat pelayanan umum seperti penjara, rumah sosial, dan rumah sakit jiwa.[18]

Infeksi E. histolytica biasanya bersifat asimtomatik sehingga sangat sulit sampai tidak dapat ditemukan nya gejala pada pasien.[10][19][20] Maka untuk diagnosis harus dipastikan dengan pemeriksaan mikroskopis untuk trofozoit atau kista pada spesimen feses segar atau yang disimpan terlebih dahulu sehingga masih dalam kondisi yang baik, pemeriksaan dengan menggunakan proktoskopi, dan aspirasi abses atau spesimen jaringan lainnya. Tes darah juga bisa untuk dillakukan tetapi hanya disarankan ketika penyedia layanan kesehatan yakin bahwa infeksi mungkin telah menyebar di luar usus (abses) ke beberapa organ tubuh lainnya, seperti hati. Namun, hasil tes darah tersebut mungkin tidak akurat jika digunakan untuk mendiagnosis penyakit yang disebabkan E. histolytica karena hasil tes ini bisa juga positif apabila pasien pernah mengalami amebiasis di masa lalu, bahkan jika mereka tidak terinfeksi pada saat pengecekan.[7] Deteksi antigen tinja dan pengunaan cara menggunakan PCR bisa untuk dilakukannya diagnosis, hasil yang didapat akan lebih sensitif dan spesifik daripada menggunakan mikroskop.[3]

Pengobatan

Rekomendasi WHO/PAHO menyatakan bahwam bila memungkinkan, E histolytica harus dibedakan dari spesies yang secara morfologis serupa dan diperlakukan dengan tepat. Mengingat risiko penyakit invasif yang kecil namun substansial dan potensi untuk menularkan infeksi ke orang lain, WHO/PAHO merekomendasikan untuk mengobati semua kasus terbukti E. histolytica, terlepas dari gejalanya.[21] Di negara-negara miskin sumber daya, pendekatan standar tetapi kurang optimal adalah untuk mengobati semua pasien dengan kista dan trofozoit yang diidentifikasi pada pemeriksaan tinja tanpa pengujian tambahan untuk spesiasi. Metode ini menghasilkan pengobatan yang berlebihan dan dapat mempercepat perkembangan resistensi obat pada E. histolytica.[22] Dengan demikian, WHO/PAHO merekomendasikan untuk menahan pengobatan dari pasien tanpa gejala ketika hanya diagnosis morfologis dengan pemeriksaan tinja yang tersedia yaitu E. histolytica/E. dispar/E. moshkovskii, kecuali ada alasan lain untuk mencurigai adanya infeksi E. histolytica. Bahkan jika pasien didiagnosis sebagai terinfeksi E. histolytica/E. dispar/E. moshkovskii memiliki gejala, penyebab penyakit lain, seperti kolitis bakteri, tidak boleh dikecualikan sampai pengujian lebih lanjut dilakukan.[21] Profilaksis untuk infeksi E histolytica dengan amebisida tidak dianjurkan dalam keadaan apapun.

Obat-obatan yang direkomendasikan untuk mengobati amebiasis yang dikonfirmasi bervariasi dengan manifestasi klinis. Infeksi usus tanpa gejala dengan E. histolytica harus diobati dengan amebisida luminal, seperti paromomycin dan diloxanide furoate.[23] Obat-obat ini akan membasmi amoeba luminal dan mencegah invasi jaringan berikutnya dan penyebaran infeksi melalui kista. Paromomycin, lebih banyak tersedia di Amerika Serikat, memiliki keuntungan karena tidak terserap di usus. Kram perut dan mual adalah efek samping yang paling sering dilaporkan. Selain itu, diberikan pengobatan 10 hari dengan 30 mg/kg per hari (dibagi menjadi 3 dosis harian). Beberapa merekomendasikan pemeriksaan tinja lanjutan untuk mengkonfirmasi pemberantasan kista. Dibandingkan dengan infeksi tanpa gejala, penyakit invasif usus dan ekstraintestinal adalah proses aerobik dan harus diobati dengan amebisida jaringan, seperti 5-nitroimidazole (misalnya, metronidazol), yang mudah diserap ke dalam aliran darah.[21] Terapi utama untuk amebiasis simtomatik membutuhkan hidrasi dan penggunaan metronidazol dan/atau tinidazol. Kedua agen ini diberi dosis sebagai berikut:

  • Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 500 mg per oral setiap 6 sampai 8 jam selama 7 sampai 14 hari,
  • Dosis dewasa Tinidazole adalah 2 g per oral setiap hari selama 3 hari.

Agen luminal seperti paromomycin dan diloxanide furoate juga digunakan. Abses hati amuba dapat dikelola dengan aspirasi menggunakan panduan CT dalam kombinasi dengan metronidazol. Pembedahan terkadang diperlukan untuk mengobati perdarahan gastrointestinal masif, megakolon toksik, perforasi kolon, atau abses hati yang tidak dapat dilakukan drainase perkutan.[24][25][26][27]

Pencegahan

Amebiasis adalah infeksi parasit yang relatif umum. Komponen penting dari perawatan adalah pengetahuan pasien. Masyarakat harus mengetahui mengenai pentingnya menjaga kebersihan di tingkat individu yang baik, sanitasi, dan menghindari perilaku seks bebas yang bisa berisiko tinggi. Kista E. histolytica relatif tahan terhadap desinfeksi air dengan klorin maka anjuran untuk minum air matang atau air kemasan lsangat disarankan. Semua makanan harus dicuci. Jika gejala sakit perut, kram, dan diare berlanjut, disegerakan datang ke penyedia layanan kesehatan.[28]

Referensi

  1. ^ Ryan KJ, Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th ed.). McGraw Hill. hlm. 733–8. ISBN 0838585299. 
  2. ^ a b Sutanto I, Ismid I.S, Sungkar S. (2011). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Dept. Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm. 107:17. 
  3. ^ a b Shirley DT, Farr L, Watanabe K, Moonah S (Juli, 2018). "A Review of the Global Burden, New Diagnostics, and Current Therapeutics for Amebiasis". Open Forum Infectious Diseases. 5 (7). doi:10.1093/ofid/ofy161. 
  4. ^ Rawat, Aadish; Singh, Parikshit; Jyoti, Anupam; Kaushik, Sanket; Srivastava, Vijay Kumar (April, 2020). "Averting transmission: A pivotal target to manage amoebiasis". Chemical Biology & Drug Design. doi:10.1111/cbdd.13699. 
  5. ^ a b Yulia, Hemma (2006). Protozoa Intestinalis (PDF). USU Repository©. 
  6. ^ a b T.P, Aliyanda Martha., M, Tri Dewi., Widyasari, Asti Fitri., Azhari, Fadil., dan Senja, Faiza. (Agustus, 2018). "Amebiasis". LAB Sistematika Hewan Sub Parasitologi Fakultas Biologi UGM. Diakses tanggal 25 Juni 2021. 
  7. ^ a b c "Entamoeba histolytica Infection". Center for Disease Control & Prevention. Juli, 2015. Diakses tanggal 15 Juni 2021. 
  8. ^ Anderson, Cindy (2010). "Pathogenic Properties (Virulence Factors) of Some Common Pathogens" (PDF). Mt. San Antonio Collage. Diakses tanggal 27 Juni 2021. 
  9. ^ Moonah SN, Jiang NM, Petri WA Jr. (2013). "Host Immune Response to Intestinal Amebiasis". PLoS Pathog. 9 (8): e1003489. doi:10.1371/journal.ppat.1003489. PMC 3749964alt=Dapat diakses gratis. PMID 23990778. 
  10. ^ a b c Nisrina Luthfiyani, Shofa. "Amebiasis". ALOMEDIKA Khusus untuk Dokter. Diakses tanggal 15 Juni 2021. 
  11. ^ Ryan KJ, Ray CG. (eds. (2004).). Sherris Medical Microbiology (4th ed.). McGraw Hill. hlm. 733. ISBN 978-0-8385-8529-0. 
  12. ^ Gunther J, Shafir S, Bristow B, Sorvillo F. (2011). "Amebiasis-Related Mortality among United States Residents, 1990–2007". Am J Trop Med Hyg. 85 (6): 1038–1040. doi:10.4269/ajtmh.2011.11-0288. PMC 3225148alt=Dapat diakses gratis. PMID 22144440. 
  13. ^ Purnomo B, Hegar B. (2011). "Intestinal amebiasis in children with bloody diarrhea" (PDF). The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy. 12 (2): 104–108. 
  14. ^ Escolà-Vergé L, Arando M, Vall M, Rovira R, Espasa M, Sulleiro E; et al. (2017). "Outbreak of intestinal amoebiasis among men who have sex with men, Barcelona (Spain), October 2016 and January 2017". Euro Surveill. 22 (30): 30581. doi:10.2807/1560-7917.ES.2017.22.30.30581. PMC 5553055alt=Dapat diakses gratis. PMID 28797327. 
  15. ^ Stark D, van Hal SJ, Matthews G, Harkness J, Marriott D (2008). "Invasive Amebiasis in Men Who Have Sex with Men, Australia". Emerg Infect Dis. 14 (7): 1141–1143. doi:10.3201/eid1407.080017. PMC 2600324alt=Dapat diakses gratis. PMID 18598643. 
  16. ^ James R, Barratt J, Marriott D, Harkness J, Stark D (2010). "Seroprevalence of Entamoeba histolytica Infection among Men Who Have Sex with Men in Sydney, Australia". Am J Trop Med Hyg. 83 (4): 914–916. doi:10.4269/ajtmh.2010.10-0231. PMC 2946768alt=Dapat diakses gratis. PMID 20889891. 
  17. ^ Ringel, E. (2012). Buku Saku Hitam Kedokteran Paru Alihbahasa: dr. Elfiawati Resipirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Kedokteran EGC. 
  18. ^ Salah, S., Hadi, A., Magdi, B., Ameer, S., & Gunnar, S (2015). "Prevalence of Protozoa Species in Drinking and Environment Water Source in Sudan". Biomed Res Int. doi:10.1155/2015/345619. 
  19. ^ Pritt BS, Clark CG. "Amebiasis". Mayo Clin Proc. 83 (10): 1154–1160. 
  20. ^ Ximénez C, Morán P, Rojas L; et al. (2011). "Novelties on amoebiasis: a neglected tropical disease". J Glob Infect Dis. 3 (2): 166–174. doi:10.4103/0974-777X.81695. PMC 3125031alt=Dapat diakses gratis. PMID 21731305. 
  21. ^ a b c WHO/PAHO/UNESCO (1997). "Report: a consultation with experts on Amoebiasis: Mexico City, Mexico 28-29 January, 1997". Epidemiol Bull. 18 (1): 13–14. 
  22. ^ Fotedar R, Stark D, Beebe N, Marriott D, Ellis J, dan Harkness J. (2007). "Laboratory diagnostic techniques for Entamoeba species". Clin Microbiol Rev. 20 (3): 511–532. doi:10.1128/CMR.00004-07. PMC 1932757alt=Dapat diakses gratis. PMID 17630338. 
  23. ^ Gill GV, Beeching NJ. (2014). Tropical Medicine. 5th ed. Oxford, UK: Blackwell Publishing. hlm. 153–159. ISBN 9780323417426. 
  24. ^ Chacín-Bonilla L. (2013). "An update on amebiasis". Rev Med Chil. 141 (5): 609–615. doi:10.4067/S0034-98872013000500009. PMID 24089276. 
  25. ^ González-Alcaide G, Peris J, Ramos JM. (2017). "Areas of research and clinical approaches to the study of liver abscess". World J Gastroenterol. 23 (2): 357–365. doi:10.3748/wjg.v23.i2.357. PMC 5236515alt=Dapat diakses gratis. PMID 28127209. 
  26. ^ Burchard, GD. (2014). "Treatment of diseases acquired abroad". Internist (Berl). 55 (9): 1100–1012. doi:10.1007/s00108-014-3546-2. PMID 25070614. 
  27. ^ Zulfiqar, Hassam., Mathew, George., Horrall, Shawn. (Maret, 2021). "Amebiasis". NCBI. Diakses tanggal 25 Juni 2021. 
  28. ^ Anwar, A,. Khan, NA., dan Siddiqui, R. (2018). "Combating Acanthamoeba spp. cysts: what are the options? Parasit Vectors". Affiliations. 11 (1): 26. doi:10.1186/s13071-017-2572-z. PMC 5759203alt=Dapat diakses gratis. PMID 29316961. 

Pranala luar