Disinformasi pada abad ke-19

Disinformasi pada abad ke-19 terutama dilakukan dengan penyebaran berita palsu khususnya di Amerika Serikat. Pada awal abad ke-19, berita palsu tersebar akibat dari persaingan pemberitaan dalam hal banyaknya jumlah berita yang dihasilkan dan kecepatan pemberitaannya. Persaingan tersebut kemudian memunculkan jurnalisme kuning dengan salah satu kasusnya yaitu Kebohongan Bulan Besar (1835). Pada akhir abad ke-19, jurnalisme kuning menghasilkan berbagai berita palsu yang memuat konten sensasional untuk manipulasi opini publik. Di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, jurnalisme kuning menjadi tradisi yang menghasilkan berita palsu yang menguntungkan politikus dan juru bicara yang didukung oleh suatu partai politik serta merugikan politikus dan juru bicara yang menjadi saingan politik.

Pengistilahan

Pada akhir abad ke-19, istilah yang berkaitan dengan disinformasi yaitu 'berita palsu'. Istilah ini mulai digunakan untuk pemaknaan disinformasi sekitar akhir abad ke-19.[1] Penyebaran berita palsu telah dimulai sejak penemuan mesin cetak pada tahun 1439 M. Namun penggunaan istilahnya sendiri baru dimasukkan dalam leksikon bahasa Inggris di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, yaitu 'fake news'. Kata 'fake' yang berarti palsu juga baru mulai dikenal dalam kosakata bahasa Inggris pada akhir abad ke-18. Sebelum abad ke-19, berita palsu merupakan sebutan untuk kebohongan yang dicetak oleh mesin cetak.[2]

Persaingan pemberitaan dan jurnalisme kuning (awal abad ke-19 M)

Pada awal abad ke-19 Masehi, mulai terjadi persaingan antara para penyedia berita dalam kemampuan menyajikan berita paling cepat dan kemampuan memperoleh pembaca dan pengiklan yang paling banyak. Persaingan ini kemudian memunculkan jenis jurnalisme yang disebut jurnalisme kuning pada media pemberitaan di Amerika Serikat. Berita-berita palsu disebarkan kepada masyarakat secara terus-menerus selama awal abad ke-19 M.[3]

Salah satu ilustrasi yang terdapat dalam artikel Kebohongan Bulan Besar yang disebarluaskan pertama kali pada tahun 1835 oleh surat kabar The New York Sun.

Jurnalisme kuning mengalami peningkatan pesat sejak tahun 1835 ketika terjadinya pemalsuan berita yang disebut Kebohongan Bulan Besar. Pelaku Kebohongan Bulan Besar ialah Richard Adam Loche selaku redaktur bagi surat kabar The New York Sun. Richard Adam Loche menerbitkan sebanyak 6 artikel berseri yang menampilkan ilustrasi tentang kelelawar berukuran besar yang diamati sedang mengumpulkan buah dan melakukan percakapan di Bulan. Percakapan diadakan bersama oleh kelelawar besar dengan makhluk berkulit biru yang mirip seperti kambing. Richard Adam Loche di dalam artikel-artikelnya menuliskan bahwa ilustrasi tersebut merupakan hasil pengamatan langsung dari John Herschel yang merupakan astronom asal Inggris. Pengamatan tersebut dinyatakan oleh Richard Adam Loche dilakukan oleh John Herschel di observatorium miliknya di Cape Town, Afrika Selatan. Berita palsu yang disajikan dalam keenam artikel awalnya dipercaya oleh masyarakat Amerika Serikat dan membuat percetakan harian dari surat kabar The New York Sun mengalami peningkatan dari 8.000 eksemplar menjadi 19.000 eksemplar. Namun setelah keenam artikel tersebut dinyatakan sebagai berita palsu, The New York Sun tidak pernah mengadakan penarikan dari peredaran atas berita tersebut.[3]

Manipulasi opini publik (akhir abad ke-19 M)

Sebuah ilustrasi yang menampilkan Joseph Pulitzer selaku pemilik surat kabar New York World dan William Randolph Hearst selaku pemilik surat kabar New York Journal. Kedua surat kabar ini merupakan pesaing dalam jurnalisme kuning yang menghasilkan berita bersifat sensasional dan skandal pada akhir abad ke-19 Masehi.

Sejak tahun 1860, surat kabar beredar secara luas di Amerika Serikat. Wartawan perang skala besar mulai menyebarkan berita perang terutama selama Perang Saudara Amerika (1861–1865). Pengiriman informasi menjadi lebih cepat karena penggunaan telegraf selama masa perang. Pada tahun 1883, kepemilikan surat kabar New York World dibeli oleh Joseph Pulitzer. Kemudian pada tahun 1895, kepemilikan New York Journal beralih ke William Randolph Hearst melalui proses akuisisi. Kedua surat kabar ini kemudian terlibat persaingan sengit dalam pemberitaan di Amerika Serikat. Kedua surat kabar ini bersaing dengan taktik sensasionalisme dan pemberitaan skandal untuk meningkatkan jumlah pembaca. Persaingan ini kemudian menghasilkan cerita-cerita rekaan yang dimanipulasi dalam surat kabar masing-masing.[4]

Pada akhir abad ke-19, konten dari berita palsu digunakan untuk manipulasi opini publik. Berbagai laporan palsu dibuat untuk menyatakan tentang suatu peristiwa yang memuat konten sensasional.[5] Disinformasi berupa berita palsu mulai terjadi pada akhir abad ke-19 dengan model jurnalisme kuning.[6] Di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 berkembang jurnalisme kuning yang menyajikan informasi bagi pandangan, kebijakan, tindakan, kepribadian, dan kehidupan politisi dan juru bicara dari suatu partai politik maupun lawan politiknya. Informasi yang disajikan untuk partai politik yang didukung berisi preferensi dan identitas sosial pemilih yang bersifat menyenangkan pemilih dan menguntungkan partai politik. Sementara itu, informasi yang disajikan untuk lawan politik bersifat salah atau sepihak dengan tujuan menjelek-jelekkan atau memperlemah kewibawaan lawan politik. Pemalsuan informasi terutama dilakukan dengan penggunaan gambar yang bersifat menyesatkan pembaca berita dan penggunaan kutipan palsu dalam pemberitaan. Jurnalisme kuning menjadi tradisi pemberitaan yang berlanjut hingga awal abad ke-20 terutama di Amerika Serikat.[5]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Colomina, C., Margalef, H. S., dan Youngs, R. (April 2021). The Immpact of Disinformation on Democratic Processes and Human Rights in the World (PDF) (dalam bahasa Inggris). Brussels: Uni Eropa. hlm. 4. doi:10.2861/59161. ISBN 978-92-846-8014-6. 
  2. ^ Allan, I., dkk. Althuis, J., dan Haiden, L., ed. Fake News: A Roadmap (PDF) (dalam bahasa Inggris). Riga dan London: NATO Strategic Communications Centre of Excellence dan The King’s Centre for Strategic Communications. hlm. 15. ISBN 978-9934-564-23-9. 
  3. ^ a b Hanley dan Munoriyarwa 2021, hlm. 161.
  4. ^ Hanley dan Munoriyarwa 2021, hlm. 162.
  5. ^ a b Novaes, C. D., & de Ridder, J. (2021). "Is Fake News Old News?". Dalam S. Bernecker, A. K. Flowerree, & T. Grundmann. The Epistemology of Fake News (PDF) (dalam bahasa Inggris). hlm. 168. doi:10.1093/oso/9780198863977.003.0008. 
  6. ^ Terzis, G., dkk., ed. (2020). Disinformation and Digital Media as a Challenge for Democracy (PDF) (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Intersentia. hlm. xxix. ISBN 978-1-78068-975-3. 

Daftar pustaka