Diaspora Jawa di Belanda

Diaspora Jawa di Belanda atau Orang Jawa di Belanda adalah kelompok etnis Jawa-Suriname yang sedang menetap di Amerika Selatan,yang dulunya dibawah kekuasaan Belanda. Menetapnya masyarakat Jawa-Suriname tidak terlepas dari motivasi akan faktor sosial-ekonomi di belanda yang lebih menjanjikan daripada kembali ke Indonesia. Kelompok etnis ini meyakini Suriname (saat itu bagian dari Belanda) sebagai negara tujuan yang lebih jelas dalam persoalan ekonomi, kultur dan budaya yang dikenal baik oleh masyarakat Jawa-Suriname, dan sebagian besar dari mereka memiliki kwarganegaraan Belanda.[1]

Sejarah

Keberadaan mereka tidak terlepas dari sejarah panjang migrasi yang masyarakat Jawa-Suriname ke Belanda yang terjadi pada tahun 1975. Saat itu terjadi eksodus sekitar 20.000-25.000 orang Jawa-Suriname yang berangkat ke Belanda pada malam sebelum kemerdekaan Suriname pada 25 November 1975. Peristiwa itu adalah adalah puncak dari migrasi masyarakat Jawa-Suriname ke Belanda seiring dengan kemerdekaan Suriname pada 1975. Mereka umumnya menyebar ke kota-kota besar di Belanda dan diwajibkan untuk membuat tempat tinggal oleh Pemerintah Belanda. Keadaan politik di Suriname sangat tidak stabil dan terjadi kekhawatiran bagi mereka akan perekonomian di Suriname akan kacau pasca-kemerdekaan. Sebab, perekonomian Suriname saat itu sangat bergantung pada pemerintah belanda. Lepasnya Suriname dari Belanda jelas akan membuat ketidakteraturan ekonomi dan politik. Didukung oleh hampir seluruh masyarakat Jawa-Suriname yang say itu memegang paspor Belanda, mereka berasumsi bahwa akan dengan mudah melakukan perjalanan migrasi ke Belanda. Apalagi, Bahasa nasional mereka saat itu juga menggunakan Bahasa Belanda.[1]

Lima tahun berselang, tak lama setelah eksodus besar masyarakat Jawa-Suriname ke Belanda, pada tahun 1980 telah tercatat hampir 160.000 populasi Suriname di Belanda dan pada tahun 2010 tercatat hampir 335.000 populasi masyarakat Jawa-Suriname ada di Belanda. Pertumbuhan populasi mereka di sana jauh lebih cepat dibandingkan di Suriname Sendiri. Tahun itu menjadi peristiwa terakhir bagi migrasi besar-besaran masyarakat Jawa-Suriname ke Belanda. Saat itu, pemerintah Belanda pilihan pada mereka untuk menjadi warga negara Suriname atau berpindah menjadi warga negara Belanda.[2]

Komunitas Masyarakat Jawa-Suriname

Masyarakat Jawa-Suriname di Belanda cenderung hidup secara komunal atau secara etnis hidup dalam satu komunitas. Kantong-kantong pemukiman mereka memungkinkan kelompok masyarakat ini untuk mereproduksi keakraban di lingkungan mereka sendiri. Namun demikian, tidak semua masyarakat Jawa-Suriname di Belanda tinggal dalam satu kantong pemukiman. Sebagian dari mereka menyebar hampir ke seluruh kota-kota di Belanda akibat adanya alokasi demographical dispersion[3]. Beberapa kota dan nama komunitas yang menjadi tempat persebaran komunitas ini adalah Bangsa Jawa Amsterdam di Kota Amsterdam, Bangsa Jawa Hoeegezand di Kota Hoeegezand, Bebarengan Anggawe Rukuning Rakyat di Kota Rotterdam, Brabantse Kumpulan di Kota Bramante, Dadir Semar di Kota Amsterdam, dan lain-lain.

Dalam komunitas kolektif tersebut, mereka menikmati hubungan antar-anggota yang satu dengan yang lain. Mereka berbagi budaya yang sama, mempertahankan tradisi yang sama, makan makanan yang sama, dan berbicara dalam bahasa yang sama pula. Menerapkan praktik-praktik tradisi Jawa di negeri lain merupakan hal yang menantang sekaligus menyenangkan bagi mereka. Kelompok ini merasakan ikatan kekeluargaan mereka sebagai "bangsa" Jawa menjadi semakin kuat. Hal itu tentu tidak akan terjadi apabila tidak terjadi di negara minoritas secara rasial, seperti di Belanda.[1]

Kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan umumnya adalah kegiatan berbasis kultural, seperti gamelan, tari-tarian, genduri, bakdah kupat, slametan, pernikahan, hingga upacara kematian. Kegiatan kontemporer lainnya juga mereka lakukan, seperti pesta ulang tahun, party, dan lain-lain. Mereka juga mengadakan kegiatan bersih desa yang diselenggarakan oleh kumpulan rukun Budi Utomo di Den Haag. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan simbolik yang melambangkan pemurnian desa dan manusia. Mereka ingin desa dan dirinya dbersihkan dari pengaruh negatif roh jahat. Di dalam kegiatan tersebut, mereka juga melakukan kegiatan makan bersama berupa slametan. Rangkaian acaranya sendiri antara lain pertunjukan tari, pagelaran wayang kulit, dan ditutup dengan penyerahan cinderamata kepada perwakilan kota Den Haag.

Referensi

  1. ^ a b c Primaswara, Agit. 2017. "Kebudayaan Djowo" Identitas Kultural Masyarakat Diaspora Jawa-Suriname di Belanda. Tesis. Program Studi Antropologi Universitas Gadjah Mada
  2. ^ Susanti. 2016. Nasionalisme dan Gerakan Mulih Ndjowo, 1947 dan 1954. Arsip National Republik Indonesia
  3. ^ Kessel, Ineke Van. 2001.Merchants, Missionaries and Migrants: 300 years of Dutch-Ghanaian. KIT Publisher: Amsterdam