Depati Parbo
Depati Parbo terlahir dengan nama Mohammad Kasib (lahir di Kerinci, 1839 – meninggal di Kerinci, 1929)[1] adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dari Jambi. Depati Parbo adalah gelar yang disandang Mohammad Kasib ketika dewasa karena kecakapannya dalam pendidikan dan adat. Latar BelakangAyah Depati Parbo bernama Bimbe, sedangkan ibunya bernama Kembang. Depati Parbo memiliki tiga orang saudara perempuan yang bernama Bende, Siti Makam, dan Likom.[butuh rujukan] PerjuanganBelanda masuk ke Kerinci lewat Mukomuko, Bengkulu pada tahun 1900. Mereka menyusuri sungai Manjuto lalu membangun posko di puncak bukit Gunung Raya. Tindakan ini memicu kemarahan rakyat Kerinci. Pertempuran pertama antara rakyat Kerinci melawan Belanda dipimpin oleh Depati Parbo pecah di Manjuto Lempur. Korban banyak berjatuhan di pihak Belanda. Akibat pertempuran yang terjadi pada tahun 1901 dengan banyak korban di pihak Belanda memaksa mereka mengurungkan niat memasuki Kerinci. Walaupun demikian, pada Oktober 1901 sejumlah 120 orang pasukan Belanda yang berada di Indrapura bersiap-siap menyerang Kerinci. Pada bulan Maret 1902 sejumlah 500 orang pasukan Belanda di bawah pimpinan Komandan Bolmar mendarat di Muarosakai dengan Tuanku Regen sebagai penunjuk jalan ke Kerinci. Belanda menyerang ke tiga tempat di Kerinci seperti Renah Manjuto, Koto Limau Sering, dan Tamiai. Perang hebat pun berkecamuk di ketiga tempat tersebut, tetapi setelah Koto Limau Sering dikuasai, pasukan Belanda tanpa kesukaran memasuki lembah Kerinci. Pada perang di Pulau Tengah yang dipimpin oleh seorang ulama ternama, yaitu Haji Ismail dan Haji Husin turut bergabung para hulubalang dari dusun lainnya di Kerinci. Dalam sejarah Kerinci disebutkan bahwa pertempuran di dusun ini merupakan pertempuran yang tersengit dan terlama (lebih kurang 3 bulan). Pulau Tengah diserang Belanda sejak 27 Maret 1903 melalui 3 jurusan, yaitu di timur: Sanggaran Agung-Jujun; utara: Batang Merao-danau Kerinci; barat: Semerap-Lempur Danau. Masjid Keramat Pulau Tengah merupakan salah satu tempat yang dijadikan benteng pertahanan masyarakat dalam menghadapi Belanda. Serangan terakhir pada Pulau Tengah dilakukan Belanda pada 9 hingga 10 Agustus 1903 dengan membakar Dusun Baru, tetapi Masjid Keramat luput terbakar. Perlawanan rakyat ini dapat diselesaikan Belanda. Selanjutnya, pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Lolo, markas panglima perang Kerinci, Depati Parbo. Pertempuran berlangsung selama 5 hari. Dalam proses yang tak berkesudahan itu, Belanda berhasil membujuk Depati Parbo mengadakan perundingan damai. Dalam perundingan itulah Depati Parbo ditangkap dan selanjutnya dibuang atau diasingkan ke Ternate, Maluku Utara selama 25 tahun. Setelah Kerinci aman pada tahun 1927, atas permohonan para kepala mendapo di Kerinci pada Pemerintah Belanda, Depati Parbo dibebaskan dan kembali ke Kerinci. Pada tahun 1929 Panglima Perang Kerinci Depati Parbo menghembuskan nafas terakhirnya. Almarhum dimakamkan di pemakaman keluarga Dusun Lolo Kecamatan Gunung Raya, bersama sama dengan istri, putra-putri dan sanak keluarganya.[2] PenghargaanNama besar Depati Parbo diabadikan menjadi nama jalan protokol yang menghubungkan Kota Sungai Penuh dengan Kecamatan Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci. Lalu dipakai sebagai nama bandara perintis (Bandar Udara Depati Parbo) di Kerinci dan nama salah satu perguruan tinggi di Sungai Penuh. Selain itu patung Depati Parbo bisa dijumpai di halaman kantor DPRD Kerinci dan di simpang tiga jalan RE Martadinata, jalan Pancasila dan jalan Depati Parbo di kota Sungai Penuh. Berdiri gagah berani mengenakan baju adat depati dan menghunus keris. Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|