Darul Funun
Darul Funun (diucapkan "Dar-el-Funoon", bahasa Persia/Arab: دار الفنون yang berarti "keragaman, seni, ilmu pengetahuan" dalam bahasa Arab dan istilah "institusi pendidikan" dalam bahasa Turki); Asal nama Darul Funun diadopsi Syekh Abbas Abdullah dari nama konsep madrasah pendidikan tinggi di era kekhalifahan Turki Usmani pada saat peninjauannya di Asia Tengah, Afrika dan Timur Tengah[1]. Model pendidikan Darul Funun Turki Usmani sendiri berasal dari pengembangan institusi Madrasah yang dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih setelah menaklukan Konstantinopel (Istanbul sekarang) yang masih ada sampai sekarang dengan nama Universitas Istanbul atau dengan kuliahnya Darulfunun Ilahiyat. Darulfunun di Indonesia pada mulanya digagas oleh Syekh Abbas Abdullah pada tahun 1920 dengan nama Sumatera Thawalib, sebagai bagian dari Persatuan Sekolah Sumatera Thawalib [2]. Kemudian sempat berkembang menaungi sekolah-sekolah Thawalib di sekitar Payakumbuh dan Lima Puluh Kota, dan juga sempat di kembangkan oleh anak muridnya dengan nama yang sama. Saat ini Darulfunun diamanahkan kepada Tan Abdullah A. Afifi yang merupakan zuriyat ke-4 dari Syekh Abbas Abdullah. IDRIS (Institute for Development, Research and Initiatives)Darulfunun Institute atau dikenal dengan nama IDRIS Institute adalah lembaga riset akademis yang bertujuan untuk memfasilitasi inkubasi ide-ide konstruktif dalam pengembangan pendidikan, dan sosial masyarakat. IDRIS diinisiasi oleh Abdullah A Afifi dengan penerbitan artikel-artikel dan diskusi ilmiah baik di Indonesia maupun di luar negeri. Diskusi ilmiah pertama adalah mengenai sutainable environment di Birimingham, Inggris dengan pembicara Buya Dr H Afifi Fauzi Abbas MA, yang juga mewakili Muhammadiyah dengan memaparkan tentang Fikih Lingkungan. Sejak tahun 2018 sebagian aktifitas IDRIS juga dirintis di Malaysia, dari kerjasama pelatihan daring, riset dan diskusi ilmiah. Pada akhir tahun 2021 diresmikan Pustaka Buya Dr H Afifi Fauzi Abbas MA di Tarok, Payakumbuh Utara, Kota Payakumbuh. Perpustakaan ini terbuka untuk umum, dan menyediakan lebih dari 5000 judul buku. Di tempat yang sama juga sebagai pusat belajar (Learning Center) International Open University (IOU) dan Universitas Siber Muhammadiyah (SIBERMU) untuk daerah Payakumbuh dan sekitarnya[3]. Kurikulum Madrasah & SurauMadrasah Darulfunun memfasilitasi pengembangan pendidikan anak tingkat Tsanawiyah dan juga Aliyah. Setiap tingkat Madrasah dikelola oleh Kepala Madrasah dibantu dengan tim pengelola. Pada tahun 2018, Tan Abdullah Afifi merumuskan kurikulum surau yang melengkapi kurikulum Madrasah Nasional. Surau Darulfunun memfasilitasi asrama santri Putra dan dan santri Putri. Darulfunun Putra dan Darulfunun Putri memiliki kapasitas untuk menampung siswa sebanyak 300-400 santri. Surau Darulfunun Putra/i dikelola oleh Mas'ul / Kepala Surau. Pada tahun 2020 diadakan Surau Camp sebagai kegiatan daurah pengembangan kemampuan softskills siswa, dan pada puncaknya di awal tahun 2023, kurikulum surau mampu menghasilkan wisudah tahfiz dengan target 1 juz setiap tahunnya[4]. Perguruan Darulfunun El-Abbasiyah Padang JapangPerguruan Darulfunun atau yang dikenal dengan Pondok Pesantren Modern Darul Funun El-Abbasiyah Padang Japang didirikan oleh Syekh Abbas Abdullah pada tahun 1920 dengan nama Sumatra Thawalib. Kemudian pada tahun 1931 bersama-sama dengan beberapa guru persatuan Thawalib lainnya menolak melibatkan perguruan dalam politik dan merubah namanya menjadi Darulfunun. Guru-guru persatuan Thawalib lainnya yang menolak terlibat politik adalah Rahma El-Yunusiah dengan Sekolah Diniyah. Kemudian pada tahun 1968 sekolah ini dirintis menjadi Madrasah Agama Islam Negeri Darulfunun oleh Buya Fauzi Abbas yang kemudian berkembang menjadi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Satu Lima Puluh Kota. Pada tahun 1990-an dirintis kembali oleh Buya Afifi Fauzi Abbas dan pengurus untuk membuka kembali kelas belajar. Kemudian pada tahun 2010 dilakukan strategi percepatan penambahan murid yang dipimpin oleh Buya Afifi Fauzi Abbas dan Tan Abdullah Afifi, kemudian pada tahun 2018 dilakukan pengembangan pengelolaan Perguruan pada waktu itu sangat maju yang melibatkan IT hingga mencapai jumlah murid 520 siswa dan kelulusan perguruan tinggi sebanyak 78%[5]. Kelas Madrasah Tsanawiyah dibuka kembali pada tahun 1997 dan Madrasah Aliyah pada tahun 1999. Kemudian pada tahun 2010 dilakukan pengembangan infrastruktur dan beasiswa-beasiswa diberikan untuk penambahan murid. Perguruan Darulfunun El-Abbasiyah sejak tahun 2020 mengaplikasikan dan mengembangkan kurikulum nasional dengan tambahan muatan lokal pesantren. Kurikulum nasional yang diawasi oleh Kementerian Agama RI, Kementerian Pendidikan dan muatan lokal dalam jam belajar sekolah menjadi satu paket kurikulum yang disebut kurikulum Madrasah. Selain itu Darulfunun juga mengembangkan satu sistem kurikulum diluar jam sekolah untuk siswa yang berasrama ataupun yang tinggal berdekatan dengan asrama yang mencakup pembimbingan kegiatan keagamaan dan juga muatan lokal berupa keorganisasian yang disebut dengan kurikulum Surau. Baru setelah pulangnya Tan Abdullah Afifi dari Inggris pada tahun 2018 maka dilakukan peremajaan yayasan untuk dapat membantu pengembangan perguruan. Pengelolaan-pengelolaan modern diperkenalkan, dan pengembangan dilakukan. Pada tahun 2019 dibentuklah badan Perguruan dengan susunan masayikh dengan pimpinannya Buya Afifi Fauzi Abbas dan Tan Abdullah Afifi. Yang pertama dilakukan adalah merapikan sistem keuangan. Dikarenakan sistem keuangan yang manual, menjadikan pengelolaan keuangan tidak optimal juga penyalahgunaan keuangan untuk pribadi. Setelah merapikan ini banyak upaya dan pengembangan yang dapat dilakukan hingga menjadikan Perguruan Darulfunun bisa mengikuti banyak kegiatan dan dipercaya oleh pihak lain untuk membantu pembangunan[6]. Pada tahun 2020 dilakukanlah secara bertahap memperbaiki sistem kepegawaian. Dari merapikan sistem ini, maka Perguruan lebih dapat menjamin jam-jam mengajar dapat terisi penuh, dan siswa-siswa tidak ditinggalkan dengan guru yang kosong. Dari sistem pegawai ini juga dilakukan untuk mengantisipasi perubahan sistem kepegawaian oleh pemerintah pusat, dimana sebagian guru ada yang merupakan guru PNS yang diperbantukan di sekolah swasta. Dari sistem pegawai ini juga didapati beberapa guru tidak optimal dalam melaksanakan tugasnya, dan juga memiliki kewajiban d sekolah lain. Sehingga beberapa guru ini ditawarkan untuk totalitas di perguruan, sebagian ada yang mengambil tawaran ini dan sebagian ada yang menolak. Dari improvisasi sistem kepegawaian ini juga dapat ditindak ketidakdisiplinan yang merugikan proses belajar mengajar[7][8]. SejarahDalam perjalanannya Darul Funun memiliki beberapa periode pengembangan, dan juga tantangan zaman pada pra kemerdekaan, proses kemerdekaan dan paska kemerdekaan Republik Indonesia. Darul Funun sejak tahun 1950 dinaungi oleh (Lembaga) Wakaf Darul Funun. Saat ini, misi Darul Funun antara lain adalah wadah pendidikan yang inklusif, dakwah agama Islam dan pembangunan masyarakat.[9] Darulfunun juga mengalami pasang surut akibat perkembangan faktor eksternal seperti perang dan krisis ekonomi, juga pasang surut yang diakibatkan oleh konflik internal dan politik. Darul Funun adalah salah satu bagian dari sejarah pendidikan Islam dalam masa pergerakan Indonesia dan merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Perguruan ini berhubungan dengan masjid Surau Gadang Padang Japang, Sumatera Thawalib Padang Japang, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Pergerakan Kaum Muda (The Kaum Muda Movement), Reformasi Pendidikan Agama, Imam Bonjol, Pergerakan Pra-Kemerdekaan, Pergerakan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, dan Pioner Integrasi Pendidikan Sains dan Agama. Pada mulanya perguruan ini adalah surau tempat belajar mengaji bagi pemuda setelah usia baligh yang didirikan oleh Syekh Abdullah Dt Jabok di Padang Japang, VII Koto Talago, Guguak Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tahun 1854.[10] Lokasi surau ini pun sangat strategis dalam perjuangan pertahanan sipil ayahnya Tuanku Syekh Qadi dan Tuanku Nan Biru, garis pertahanan luar pasukan Bonjol di daerah Mudiak Kabupaten Limapuluhkota. Dikarenakan itu surau ini juga menjadi basis penempaan pemuda dalam persiapan perjuangan. Para Haji Kaum MudaSumatera Thawalib adalah salah satu organisasi massa (ormas) awal di Indonesia, yang berbasis di Sumatera Barat. Sumatera Thawalib mewakili sekolah islam modern di Indonesia,[11][12] reformasi pemikiran dan pendidikan Islam yang menitikberatkan kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits, juga pendekatan pendidikan keilmuan modern, dan pemurnian akidah. Pemurnian akidah ini diinspirasi oleh para Haji yang baru kembali dari Mekkah, jika sebelumnya upaya pengajaran ini bersifat masing-masing, pada masa ini upaya dakwah ini dilakukan secara terorganisir dan berjamaah, hal ini diinspirasikan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi kapada para murid-murid beliau Syekh Abbas Abdullah, Syekh Mustafa Abdullah, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Djamil Jambek, dsb.[13] Pendekatan pendidikan modern tersinspirasi oleh Islamic Modernism yang di promosikan oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani.[14] Majlis Islam Tinggi (MIT)Para haji yang belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib ini dikemudian hari dikenal dengan istilah Kaum Muda oleh Taufik Abdullah dalam tesis bukunya The Kaum Muda Movement in West Sumatera.[15] Yang menariknya diantara para haji ini mereka melakukan pertemuan dan diskusi keagamaan antar satu sama lainnya untuk membahas pengembangan dan permasalahan-permasalahan keagamaan yang terjadi di masyarakat, hasil-hasil pertemuan dan ijtima' mereka inilah yang kemudian kita saksikan sebagai pembaharuan dalam pendekatan keagamaan dan pendidikan di Sumatera Barat dan Indonesia. Pada kemudian hari pertemuan dan diskusi muzakaarah ulama muda ini dikukuhkan dengan nama MIT (Majlis Islam Tinggi), yang dikemudian hari pernah berperan mengeluarkan fatwa Jihad sewaktu ditubuhkannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittingi oleh Syafruddin Prawiranegara atas mandat Mentri Pertahanan/Perdana Menteri M Hatta yang ditawan di Yogyakarta bersama Presiden Soekarno. Dalam fatwa jihad ini dikeluarkan ijtima ulama mengenai perlawanan sipil, dan komando pasukan di lapangan di amanahkan kepada Imam Jihad Sumatera Tengah Syekh Abbas Abdullah. Majlis Islam Tinggi ini menjadi inspirasi bagi Haji Abdul Malik Karim Amrullah untuk menubuhkan Majlis Ulama Indonesia, bagaimana beliau melihat proses muzakarah, diskusi keagamaan dan menjadi poros untuk pengembangan umat. Sumatera ThawalibIstilah Sumatera Thawalib secara bahasa berarti "Pelajar Sumatera", dan ditubuhkan pada tanggal 15 Januari 1919 hasil dari pertemuan para haji (kaum muda) di Padang Panjang. Tujuan dari organisasi ini adalah memberikan pemahaman yang mendalam tentang keilmuan islam kepada sesama perguruan islam. Organisasi ini memberikan kontribusi yang kuat terhadap perkembangan Islam di Sumatera Barat dan Indonesia pada awal abad ke-20.[16][17][18][19] Pada 1913, Zainuddin Labai Al-Yunusi kembali ke Padang Panjang setelah berguru kepada Syekh Abbas Abdullah di Padang Japang, Payakumbuh. Syekh Abbas Abdullah dikenal sebagai ulama modern yang berwawasan luas, di Suraunya siswa di ajarkan ilmu geografi, falak, bahasa belanda, sejarah dunia, matematika dan ilmu umum lainnya, yang materi-materi pengajarannya didapatkan dari buku-buku yang diimpor nya dari Mesir selain kitab-kitab wajib ilmu agama. Selain metode kelas dan materi pengajaran, Syekh Abbas Abdullah juga memberi kesempatan belajar kepada anak-anak perempuan, yang menjadi murid-murid perempuannya adalah anak kemenakannya di area Surau Gadang Padang Japang. Zainuddin menjadi guru di Surau Jembatan Besi, dan kemudian pada tahun 1915 membuka sekolahnya sendiri yang bernama Diniyyah School, yang juga menggunakan sistem kelas dan mengajarkan pengetahuan umum yang terinspirasi oleh metode pendidikan yang dikembangkan gurunya Syekh Abbas Abdullah. Selain itu, Zainuddin Labay bersama adiknya Rahmah El-Yunusiah menginisiasi kelas belajar untuk siswa perempuan yang diberikan nama Diniyyah Putri. Pada saat itu hanya dua perguruan ini yang memberikan ruang pendidikan kepada anak perempuan, yakni Nahdatun Nisaiyah (alumni sekolah perempuan Darul Funun) dan Diniyyah Putri di Padang Panjang, dan juga mendirikan kepanduan/pramuka pada zaman itu yang diberi nama Al-Hilal Darulfunun, yang menjadi ciri dari kepanduan El-Hilal di kalangan Madrasah Sumatera Thawalib. Sebagaimana Surau Jembatan Besi mengalami beberapa refromasi organiasi pelajar, adalah tahun 1918 ketika pada haji (kaum muda) bersepakat (ijtimak ulama) mengukuhkan nama Surau Sumatera Thawalib, hal ini diikuti oleh para haji (kaum muda) untuk mengubah nama menjadi Sumatera Thawalib. Beberapa standardisasi yang dilakukan masing-masing perguruan didiskusikan untuk diadopsi menjadi bentuk tajid modernitas pendidikan Islam, diantaranya adalah mengubah halaqah menjadi kelas, rekontruksi kurikulum dan metode pengajaran, dan penggunakan buku text dan pengenalan ilmu umum.[20] Perubahan ini menjadikan nama-nama surau perguruan para haji (kaum muda) mengubah namanya menjadi Sumatera Thawalib, Surau Gadang Padang Japang yang dipelopori oleh Syekh Abbas Abdullah menjadi Sumatera Thawalib Padang Japang, Surau Parabek yang dipelopori oleh Syekh Ibrahim Musa menjadi Sumatera Thawalib Parabek, dan ini diikuti oleh banyak surau lainnya yang notabene adalah murid-murid dari ulama kaum muda ataupun ulama-ulama yang bergabung dalam kemudian hari.[21] Studi Banding ke Pusat Peradaban DuniaUntuk mengukuhkan komitmen dan konsep sistem pendidikan yang ingin dikembangkan, Syekh Abbas Abdullah kembali merantau ke Tanah Suci, setelah melakukan ibadah haji, bertemu kawan dan guru, beliau juga menyempatkan duduk menjadi Mustami' (pendengar/visiting student/fellow) di Universitas Al-Azhar di Mesir, dari semua guru-gurunya ada satu gurunya yang disebut ketika beliau mengajar, adalah Syaikh Badwiy/Badawi, seorang ulama yang buta tetapi sangat mahir dalam memberikan pendapat. Di Mesir beliau duduk cukup lama hingga beliau sempat bertemu dan berkawan dengan para tokoh muda reformasi pendidikan di sana, seperti Hasan Al-Banna. Mereka sempat bertemu kembali di tempat pengasingan dan juga bertemu seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Al-Azhar, yakni Prof Mahmoed Joenoes. Selain di Mesir beliau juga menyempatkan studi banding ke beberapa negara muslim timur tengah, seperti Lebanon, Syiria, Palestina, Turki, Iran. Di Turki sebagai pusat peradaban Islam yang maju, beliau melihat bagaimana Institusi Pendidikan sudah dikembangkan begitu jauh, yang juga menjadi kiblat dan pembelajaran bagi dunia barat. Salah satu yang terkenang oleh Syekh Abbas Abdullah, sehingga mengilhami beliau dikemudian hari menamakan perguruannya dengan nama Darul Funun, adalah Istanbul University,yang pada tahun 1846 masih bernama Darul Funun dan pada tahun 1933 menjadi Universitas Istanbul, yang merupakan transformasi Madrasah yang dibangun pada tahun 1453 oleh Sultan Mehmet II Al-Fatih setelah menaklukan Konstatinopel.[22][23] Institusi Pendidikan di Pusat Peradaban Islam inilah yang kemudian mengilhami beliau tentang bagaimana agama dan sains harus dikembangkan dalam pengajaran, sistem kelas dan teknologi harus diperkenalkan, dan tahapan-tahapan pengembangan untuk menjadi target pengembangan kedepannya. Bagi ulama kaum muda, wawasan Syekh Abbas Abdullah ini sangat berharga dan menjadi pijakan pengembangan Darul Funun, Sumatera Thawalib, Majlis Islam Tinggi Islam dan masyarakat pendidikan secara umum kedepannya Penerbitan dan Majalah Al-ImamMajalah Al-Imam diterbitkan dalam rangka memberikan pencerahan dan wawasan kepada pelajar-pelajar Sumatera Thawalib Padang Japang [24]. Artikel-artikel yang dimuat di Majalah ini adalah berasal dari majalah-majalah dakwah lainnya. Saat ini penerbitan Majalah Al-Imam telah dilakukan dalam bentuk jurnal Ilmiah. Menolak Politik dan Berganti Nama Menjadi DarulfununMenopang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)Sila Ketuhanan dan Peci SoekarnoSila ketuhanan[27] Stylist Proklamasi [30] Meninggalnya Syekh Abbas AbdullahMadrasah Negeri Padang JapangSejarah MTsN dan MAN Padang Japang [31] Tantangan Dakwah KedepanSetidak-tidaknya upaya pengembangan dan menyesuaikan pola dakwah kedepan menjadi perhatian yang dilakukan oleh Darul Funun, diantaranya: Didalam Dakwah Islam dan Masyarakat Indonesia, Buya Dr H Afifi Fauzi Abbas mengemukakan tentang pentingnya menyesuaikan teknologi yang berkembang untuk menopang dakwah supaya tidak tertinggal, sehingga Islam dan keilmuannya tidak juga tertinggal.[32] Kemudian berkurangnya muzakarah dan juga mediumnya untuk memfasilitasi pertukaran pemikiran para ulama sehingga upaya tajdid (pembaharuan) tidak menjadi kontraproduktif.[33] Alumni Darul Funun
Referensi
|