Raden Darsono Notosudirdjo (1 Desember 1897 – 31 Desember 1976) adalah seorang politikus Indonesia.[1] Darsono merupakan salah satu tokoh komunis Indonesia pada awal berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920. Sebelum masuk ke dalam ISDV, Darsono merupakan seorang wartawan dan penyunting. Melalui latar belakang tersebut, Darsono masuk ke dalam ISDV dengan membuat artikel yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Salah satu artikel yang ditulis olehnya adalah Het Process Sneevliet pada 1917. Tulisan tersebut kemudian menjadi bacaan wajib kaum komunisme Indonesia saat itu. Ia juga pernah meminta diadakan kerja sama antara PKI dan Partai Komunis Belanda. Namun, setelah pemberontakan PKI 1926, Darsono menghilang dari perpolitikan dan gerakan komunis Indonesia.[2]
Kehidupan awal
Ia merupakan anak pegawai negeri, sehingga masa kecilnya ia bisa merasakan duduk di bangku sekolah di bidang pertanian. Sejak kecil ia telah akrab dengan dunia pertanian, hal ini karena ia berteman dengan anak-anak petani. Sehingga ia mengerti bagaimana kondisi kehidupan yang dialami para petani itu. Terlebih lagi setelah dirinya bekerja di perkebunan tebu. Di sana, ia benar-benar melihat kemiskinan yang dialami para buruh perkebunan.[1]
Karir
Pada awal 1920 sebuah surat dari Komunis Internasional (Komintern) datang, isinya adalah menganjurkan bergabungnya ISDV dalam Komintern. Salah satu syaratnya adalah menggunakan nama terang partai komunis. Sebuah sidang yang panas dengan peserta 40 kemudian menerima peubahan nama tersebut. Hingga kemudian diputuskan ISDV berganti nama Partai Komunis Hindia. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 20 Mei 1920.
Nama itu tidak berlangsung lama, selang tujuh bulan nama itu diubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di partai tersebut, Semaun menjadi ketua umumnya. Awalnya PKI ini adalah bagian dari SI, akan tetapi terjadi perbedaan faham akhirnya SI dan PKI berpisah pada Oktober 1921.
Pada bulan November 1921 Darsono menghadiri Kongres Partai Komunis Belanda (Comunist Partij: CP) dan memberikan pidatonya. Darsono meminta diadakannya kerjasama antara PKI dengan CP.
Selain itu, Darsono juga pernah dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah) tahun 1929 oleh Partai Komunis Belanda. Darsono didaftar urutan 3 dan Tan Malaka didaftar urutan 2, namun keduanya tidak terpilih.
Meski Semaun dan Darsono yang memulai didirikannya PKI ini, keduanya pun memilih untuk keluar dari PKI. Bahkan kala itu, para tokoh PKI diangkatan 1920-an banyak yang menghilang dari perpolitikan setelah kemerdekaan Indonesia diumumkan.
Darsono yang melihat kondisi masyarakat kala itu yang berada dalam garis kebodohan, maka mengambil inisiatif untuk membantu mencerdaskan melalui tulisan-tulisan. Untuk melakukan hal itu, ia pun bergabung dengan Sinar Djawa. Sinar Djawa ini merupakan surat kabar yang dimiliki oleh Sarekat Islam.
Melalui surat kabar itu, ia bersama dengan temannya, Mas Marso membuat tulisan-tulisan yang cukup berani untuk menyadarkan masyarakat dari kebodohan. Salah satu artikel yang telah ia tulis adalah "Giftige Waarheidspijlein (Pengadilan Panah Beracun)". Dalam artikel itu Darsono membahas tentang "Setan Oeang" yang merupakan istilah politik pada zaman pergerakan yang ditujukan kepada para pemilik modal atau pengusaha. Kala itu pemerintahan Hindia Belanda hanya mementingkan para pemilik modal saja dan tidak memperhatikan kehidupan masyarakat pribumi.
Untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, Darsono pun bergabung kepada Sarekat Islam cabang Semarang. Kala itu salah satu temannya, Semaun yang awalnya bergabung di SI cabang Surabaya pun pindah ke Semarang dan ikut serta di SI Semarang. Di organisasi haluan kiri tersebut Darsono memperhatikan nasib para buruh.
Untuk hal itu, ia pun memperjuangkan keringanan pajak rakyat dan membebankan pajak yang lebih besar kepada kaum Setan Oeang. Masalah ini pun dibawa dalam Kongres Nasional Central Sarekat Islam ke-3 yang diadakan pada tanggal 29 September-6 Oktober 1918 di Surabaya.
Di ISDV ia tidak sendirian melainkan bersama dengan temannya yang bernama Semaun dan Alimin. Darsono yang memiliki latar belakang wartawan dan penyunting sehingga bisa dengan mudah membuat artikel-artikel untuk mencerdaskan masyarakat dan mengkritik pemerintahan Hindia Belanda. Artikel-artikel yang ia tulis seperti "Het Process Sneevliet (1917) Het Process Sneevliet (1917) dan Clive Day The Policy and Administration of the Deutch in Java (1904)". Bahkan tulisannya yang berjudul, "Het Process Sneevliet" menjadi bacaan wajib kaum pergerakan dan menjadi bacaan terlarang di sekolah-sekolah pemerintah.[1]
Referensi