Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
Tambahkan pranala wiki. Bila dirasa perlu, buatlah pautan ke artikel wiki lainnya dengan cara menambahkan "[[" dan "]]" pada kata yang bersangkutan (lihat WP:LINK untuk keterangan lebih lanjut). Mohon jangan memasang pranala pada kata yang sudah diketahui secara umum oleh para pembaca, seperti profesi, istilah geografi umum, dan perkakas sehari-hari.
Sunting bagian pembuka. Buat atau kembangkan bagian pembuka dari artikel ini.
Daftar berikut merupakan para Bupati Sukapura dari dinasti Wiradadaha dan keturunannya.
Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I dipanggil Dalem Pasir Beganjing, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1641-1674).
Raden Djajamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha II dipanggil Dalem Tamela, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1674).
Raden Anggadipa I, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III dipanggil Dalem Sawidak, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1674-1723).
Raden Subamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV dipanggil Dalem Pamijahan, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1723-1745).
Raden Secapati, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha V dipanggil Dalem Srilangka, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1745-1747).
Raden Jaya Anggadireja, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI dipanggil Dalem Siwarak, (1747-1765), berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja.
Raden Djayamanggala II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII dipanggil Dalem Pasirtando, (1765-1807), berkedudukan di Empang, Sukaraja.
Raden Anggadipa II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dipanggil Dalem Sepuh, (1807-1837), berkedudukan di Manonjaya.
Raden Tumenggung Danudiningrat, (1837-1844), berkedudukan di Manonjaya.
Raden Tumenggung Wiratanubaya, dipanggil Dalem Sumeren, (1844-1855), berkedudukan di Manonjaya.
Raden Tumenggung Wiraadegdana, dipanggil Dalem Bogor, (1855-1875), berkedudukan di Manonjaya.
Raden Tumenggung Wirahadiningrat, dipanggil Dalem Bintang, (1875-1901), berkedudukan di Manonjaya.
Raden Tumenggung Prawirahadingrat, (1901-1908), berkedudukan di Tasikmalaya.
Raden Tumenggung Wiratanuningrat, (1908-1937), berkedudukan di Tasikmalaya, pada masa pemerintahan ini tepatnya 1 Januari1913 Kabupaten Sukapura diganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya.
Pangeran Kusuma Diningrat merupakan leluhur Sukapura yang berasal dari kerajaan Pajang. Dia merupakan salah satu pewaris tahta kerajaan pada waktu itu. Oleh karena itu sewaktu terjadi perang saudara antara Pajang dan Mataram, karena Pangeran Kusumah Diningrat belum dewasa, dia di titipkan pada Sultan Demak. Sambil menunggu peperangan selesai, Pangeran Kusumah Diningrat mengembara mencari ilmu, dan sampailah di tanah Sunda.Tepatnya di Kampung Padarek, Kecamatan Cigalontang. Dia mendapat julukan 'Pangeran Dago Jawa'.
Nasab pangeran kusumah diningrat secara lengkap adalah Pangeran Kusumah Diningrat bin Sayyid Abdul Halim / Pangeran Benawa / Sayyid Abdurrahman / Jaka Tingkir bin Sayyid Shihabudin / Ki Ageng Pengging bin Sayyid Muhammad Kebungsuan / Handayaningrat (Kesultanan Kelantan) Bin Sayyidina Jamaludin Khusen Bin Sayyidina Ahmad Syah Jalal Bin Abdulloh Khon Bin Sayyidina Abdul Malik Azmatkhan. Adanya garis silsilah ini merupakan suatu bukti bahwa Keluarga Sukapura merupakan Ahlul Bait Rosululloh dengan Fam Azmatkhan, karena berasal dari keturunan ABdul Malik Azmatkhan
Silsilah Para Bupati Sukapura dari nasab Jaka Tingkir
Jaka Tingkir adalah putera Kebo Kenanga dan cucu Adipati Andayaningrat. Manakala Adipati Andayaningrat juga di kenali dengan Syarief Muhammad Kebungsuan.
Andayaningrat/Syarief Muhammad Kebungsuan/Ki Ageng Wuking I
Pangeran Kusumah Diningrat menikah dengan Rd. Ayu Sudarsah, puteri Pangeran Rangga Gempol I (anak tiri Prabu Geusan Ulun dari Sumedang).
Dia menurunkan putera 5 orang antara lain:
1. Seureupeun Manangel
2. Seureupeun Cibeuli
3. Seureupeun Cihaurbeuti
4. Seureupeun Dawagung
5. Seureupeun Cibuniagung (yang menurunkan Sukapura).
Seureupeun Cibuniagung berputera:
1. Rd. Wirahadiningrat (Entol Wiraha)
2. Nyi Ageng
Rd. Wirahadiningrat menikah dengan putera dalem Sukakerta, bernama Brajayuda, Keturunan dari Srigading Anteg (terah galunggung).
Dia mempunyai putera lima orang, antara lain:
Rd. Wirawangsa, dari dia lah dimulai masa pemerintahan bupati sukapura.
Silsilah para Bupati Sukapura dari Nasab Adipati Unus
Nasab para Bupati Sukapura juga diriwayatkan berasal dari Demak yaitu keturunan Adipati Unus . Dalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati Unus atau Yat Sun(1480?–1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah anak sulung atau menantu Raden Patah, pendiri Demak. Pada tahun 1521.
Dalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati Unus atau Yat Sun(1480?–1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah anak sulung/menantu Raden Patah, pendiri Demak. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik kandungnya, raja Trenggana.[1]
Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang=menyeberang, lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis.
Nama aslinya adalah Raden Surya. Dalam Hikayat Banjar, raja Demak yaitu Sultan Surya Alam telah membantu Pangeran Samudera, penguasa Banjarmasin untuk mengalahkan pamannya penguasa kerajaan Negara Daha yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan.
Dalam Suma Oriental-nya, Tomé Pires menyebut seorang bernama "Pate Onus" atau "Pate Unus", ipar Pate Rodim, "penguasa Demak". Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M. C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang dijuluki "Pate Rodim", mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504). Putera atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), pembangun keunggulan Demak atas Jawa.
Kenyataan tokoh Pati Unus berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak ketiga, yang memerintah tahun 1505-1518, kemudian tahun 1521-1546.
Dalam catatan Silsilah Walisongo lan Babad Demak Bintoro di Makhtab Walisongo, Demak, Jawa Tengah disebutkan, bahwa silsilah nasab Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Unus, atau Kanjeng Gusti Pangeran Mas Maulana Abdul Qadir Al Idrus Bin Kanjeng Gusti Pangeran Mas Muhammad Yunus Al Idrus dari Garis Nasab Bapak bertaut dengan Trah Keturunan Kanjeng Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam, sebagai berikut:
1]Kanjeng Sayyidina Maulana Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam
2]Kanjeng Sayyidatun Nissa Siti Fatimah Az-Zahro Binti Muhammad Binti Muhammad,
menikah dengan Kanjeng Sayyidina Al Imam Ali Murtadho Bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah Radhiyallahu ‘Anhu, berketurunan:
3]Kanjeng Sayyidina Al Imam Hussain Radhiyallahu ‘Anhu
4]Kanjeng Sayyidina Al Imam Ali Zainal Abidin Radhiyallahu ‘Anhu
5]Kanjeng Sayyidina Al Imam Muhammad Al Baqir Radhiyallahu ‘Anhu
6]Kanjeng Sayyidina Al Imam Ja’far Ash-Shoddiq Radhiyallahu ‘Anhu
7]Kanjeng Sayyidina Al Imam Ali Al ‘Uraidhi
8]Kanjeng Sayyidina Al Imam Muhammad An Naquib
9]Kanjeng Syaikhuna Al Imam Isa Al Rumi
10]Kanjeng Syaikhuna Al Imam Ahmad Al Muhajir
11]Kanjeng Syaikhuna Al Imam Abdullah Ubaidillah
12]Kanjeng Syaikhuna Maulana Alawi
13]Kanjeng Syaikhuna Maulana Muhammad
14]Kanjeng Syaikhuna Maulana Alawi
15]Kanjeng Syaikhuna Maulana Ali Khali’ Qasam
16]Kanjeng Syaikhuna Maulana Muhammad Shohib Mirbath
17]Kanjeng Syaikhuna Maulana Ali
18]Kanjeng Syaikhul Akbar Maulana Muhammad Al Faqih Al Muqaddam Ing Hadral Mawt
19]Kanjeng Syaikhuna Maulana Yusuf Al Mukhrowi Ing Parsi
20]Kanjeng Syaikhuna Maulana Abdul Wahhab Ing Makkah
21]Kanjeng Syaikhuna Maulana Muhammad Akbar Al-Anshori Ing Madina
22]Kanjeng Syaikhuna Abdul Muhyi Al Khayri Ing Palistani
23]Kanjeng Syaikhuna Maulana Muhammad Al Alsiy Ing Parsi
24]Kanjeng Syaikhuna Maulana Abdul Khaliqul Idrus Al Farsi ing Japara [1400]
25]Kanjeng Gusti Pangeran Mas Muhammad Yunus Al Idrus ing Japara
26]Kanjeng Adipati Ibnu Yunus Sabrang Lor Maulana Abdul Qadir Al Idrus
Riwayat Pati Unus Dari Jepara sampai Sukapura, suatu Kajian Historis
Setelah kedatangan Syekh Datuk Kahfi Syekh Nurjati, di Jepara mendaratlah seorang Muballigh Parsi yang riwayat turun temurun bagi orang Sunda dan Jawa dipanggil Syekh Khaliqul Idrus.
Beliau adalah Syekh Abdul Khaliq dengan laqob Al-Idrus putra Syekh Muhammad AlAlsiy yang wafat di Isfahan, Parsi. Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Mawlana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang Putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan Putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang dikemudian hari menjadi menantu Raden Patah, dengan gelar Adipati Bin Yunus yang masyarakat lebih mudah memanggil dengan Pati Unus yang setelah gugur di Malaka 1521, dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Salah satu catatan sejarah tentang Jepara ditulis Tome Pires dalam bukunya yang sangat terkenal berjudul Suma Oriental. Buku tersebut berisi kisah perjalanannya di pantai utara pulau Jawa antara bulan November 1513 sampai Januari 1515. Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa pada tahun 1470 Jepara merupakan kota pantai yang baru dihuni oleh 90 - 100 orang serta dipimpin oleh Aryo Timur/Muhammad Yunus.
Dengan ketekunan dan keuletan, Aryo timur berhasil mengembangkan kota pantai kecil, yang dikelilingi benteng berupa kayu dan bambu ini, menjadi sebuah bandar yang cukup besar. Bahkan ia juga berhasil memperluas kekuasaannya sampai ke Bengkulu dan Tanjung Pura, sekalipun Jepara masih berada di bawah kekuasaan Demak.
Pada th 1507, Aryo Timur (Sayyid Muhammad Yunus ) digantikan oleh puteranya yang bernama Pati Unus yang pada waktu itu masih berusia 17 tahun. Sebagai penguasa yang masih relatif muda, Pati Unus dikenal sangat dinamis. Ia bukan saja berhasil mengembangkan armada perang, tetapi ia juga mampu meneruskan perjuangan ayahnya di bidang ekonomi sehingga Jepara menjadi sebuah bandar perdagangan. Jepara menjadi salah satu pusat perdagangan di pesisir utara pulau Jawa. Belum genap 5 tahun memimpin Jepara, Pati Unus telah menggabungkan armada perangnya dengan armada perang dari Palembang, untuk menyerang kolonialisme Portugis yang bercokol di Malaka. Armada Pati Unus yang terdiri dari 100 buah kapal - yang paling kecil beratnya 200 ton ini sampai di Malaka tanggal 1 Januari 1513.
Sayangnya, penyerangan ini gagal. Dari 100 buah perahu yang dikirim ke Malaka, hanya 8 buah yang dapat kembali ke Jepara. Kegagalan ini menurut penulis Portugis Joan De Baros dalam bukunya "Kronik Raja D Manoel, Pati Unus" membuat Pati Unus sangat berduka dan kecewa, sehingga ia memerintahkan kapal terbesar yang dapat kembali ke Jepara, untuk diabadikan sebagai monumen perang di pantai Jepara.
Tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I, atas restu para Wali beliau berwasiat agar mantunya Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Sayyid Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Ahlul Bayt menjadi Sultan Demak II bergelar Sultan Alam Akbar Al-Tsaniy.
Penjajah Portugis terus melakukan penaklukan demi penaklukan di sekitar Kerajaan Islam Pasai untuk mempermudah penguasaan Pasai sekaligus untuk meredam Islamisasi di Asia Tenggara dengan menguasai jantung kekuasaannya di Pasai. Pada saat yang sama, akibat serangan demi serangan yang dilakukan Portugis, Kerajaan Pasai semakin lemah, apalagi Kerajaan Pidier di sebelah barat telah bersekutu dengan Portugis. Dalam keadaan yang mencekam ini, salah satu jaringan Kerajaan Islam di ujung barat Sumatra, memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru pada tahun 1514 yang bernama Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Akhirnya Pasai jatuh ke Portugis pada tahun 1521, dan selanjutnya peranan Pasai sebagai pusat Islamisasi Nusantara digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang sudah semakin kuat. Kejatuhan Pasai ke tangan penjajah kafir Portugis telah menimbulkan kesedihan mendalam pada para petinggi Demak, Cirebon, Banten dan jaringan Kerajaan Islam lainnya. Terutama Pati Unus yang kini telah menjadi Sultan Demak.
Beliau tidak rela tanah leluhurnya di Pasai terjajah oleh kaum kafir. Pada tahun itu juga, 1521, Pati Unus dengan kekuatan 375 kapal perang yang telah selesai dibangun di Wajo Sulawesi siap kembali berjihad melawan kafir Portugis membebaskan Pasai dan Malaka. Walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemewahan, kemudahan dan kehormatan dari kehidupan istana tanah Jawa bahkan ikut pula 2 putra beliau yang masih sangat remaja. Demi Islam, Sang Sultan Demak sendiri memimpin armada perang yang terdiri dari gabungan jaringan kerajaan Islam. Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala, Sultan Demak II.
Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng Malaka. Ketika mendarat di Malaka, kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam.
Beliau gugur sebagai Syahid karena berperang melawan penjajah kafir dan kewajiban membela kaum Muslim yang tertindas. Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat pada tahun 1521 ini. Armada Islam gabungan yang menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur kembali ke tanah Jawa untuk membangun kekuatan dan strategi baru. Sementara jihad demi jihad terus dilanjutkan para mujahidin Islam terhadap penjajah kafir Portugis di bawah komando Kerajaan Aceh Darussalam yang bangkit menjadi bintang baru Islam di ujung barat Sumatra, sebagai kelanjutan Kerajaan Islam Pasai.
Setelah Pati Unus gugur sebagai syahid di Malaka, maka komando armada gabungan Islam di tanah Jawa diambil alih oleh Fadhlulah Khan yang terkenal dengan julukan Tubagus Pasai atau Sang Pangeran Pasai atau Falathehan alias Fatahillah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru. Sang Maulana gagah perkasa, Sayyid Abdul Qadir bin Syekh Muhammad Yunus, Adipati Yunus, Pati Unus dengan gelar Sultan Akbar Al-Fattah Al-Tsany sudah menunaikan tugasnya, dan kembali kehadirat Illahi sebagai syuhada dalam membela agama, kaum muslimin dan tanah leluhurnya di Pasai.
Raden Abdullah Malaka lahir pada tahun 1519M, dan ayah bundanya wafat saat belaiu masih berumur 3 tahun, ibundanya yaitu Syarifah Jubaedah wafat di usia 22 tahun, dan ayahandanya yaitu Sayyid Abdul Qodir al-Mukhrowi/Pati Unus wafat di usia 44 tahun, ayah bunda nya wafat dalam keadaan syahid pada tahun 1521M dalam perang sabil di Selat Malka.
Tahun 1521M setelah ayahandanya wafat yaitu Pati Unus, Raden Abdullah dan Nyi Mas Ratu Nyawa yang saat itu sedang mengandung dibawa dari Selat Malaka/Pulobesar Malaka oleh Sayyid Fatahillah dengan tujuan Demak dan untuk keamanan Sayyid Fathillah mengambil rute aman yang mengharuskan singgah terlebih dahulu di Kesultanan Banten Setelah tinggal beberapa lama dan setelah Nyi Mas Ratu Nyawa melahirkan kedua peninggalan yang saat itu sudah menjadi tiga peninggalan Pati Unus ini dibawa oleh Sayyid Fatahillah dari Banten ke Demak, tidak lama kemudian Sayyid Fatahillah menikah dengan kedua janda Pati Unus yaitu dengan Ratu Mas Nyawa binti Raden Fatah dan Ratu Ayu Pembayun binti Sunan Gunung Jati Cirebon Kurang lebih selama lima tahun Raden Abdullah berada dibawah asuhan keluarga Demak terutama dibawah asuhan Nyi Mas Ratu Nyawa dan dibawah asuhan Nyi Ratu Retno Kencono yang dikemudian hari terkenal dengan sebutan Ratu Kalinyamat dikarenakan Nyi Mas Ratu Nyawa baru mempunyai seorang putra dari pernikahannya dengan Pati Unus yang diberi nama Raden Arya Pamungkas.
Pada tahun 1527M Sayyidah Retno Kencono Ratu Kalinyamat menikah dengan Sultan Hadirin, Raden Abdullah diminta oleh bibinya sendiri yaitu Ratu Kalinyamat untuk menjadi anak angkat beliau sekaligus menjadi pangeran di Kesultanan Kalinyamat.
Raden Abdullah diberikan oleh Sayyid Fatahillah dikarenankan beliau akan berkosentrasi untuk persiapan penyerangan ke Sunda Kelapa karena saat itu Portugis sudah menduduki pelabuhan Sunda Kelapa, sebelum diberikan Sayyid Fatahillah memberikan beberapa amanat kepada calon ibu asuhnya yaitu Nyi Ratu Kalinyamat/Retno Kencono dan sejak itu Raden Abdullah bergelar Pangeran Arya Jepara.
Sekitar tahun 1540M Raden Abdullah menikah dengan Syarifah Terpenter binti Sultan Mawlana Hasanudin, dan beberapa tahun kemudian tercatat dikaruniai dua orang putra yaitu Raden Aryawangsa dan Raden Usman Suryawangsa, mungkin punya beberapa putra hanya yang tercatat dua orang putra.
Pada tahun 1546 M paman tercintanya wafat, beliau tetap setia mendampingi ibu angkatnya yang mengasuhnya dari sejak kecil yaitu Ratu Kalinyamat dalam menjalankan pemerintahan maupun dalam perjuangan melawan Portugis. Raden Abdullah/Pangeran Arya Jepara paling sedikit ikut dalam serangan yang dilakukan sebanyak 3 kali oleh Ratu Kalinyamat, yakni tahun 1551, 1574 dan 1575 M. Tahun 1570M mertua beliau wafat yaitu Sultan Mawlana Hasanudin dan sejak itu beliau merangkap menjadi penasihat kesultanan Banten dan kerapkali ikut membantu dalam setiap perjuangan kesultanan Banten dalam penyebaran agama islam ke pelosok Nusantara. Tahun 1579M Raden Abdullah Malaka/Pangeran Arya Jepara membawa pasukan besar ke Banten dan juga mengirim pasukan ke Galuh Ciamis dipimpin putra beliau yaitu Raden Usman Suryawangsa dalam rangka membantu kerjasama dakwah anatara kesultanan Cirebon,Demak dan Banten untuk penyebaran agama Islam di Priangan Timur/sisa kerajaan Galuh. Pasukan yang dibawa ke Banten untuk membantu putra sulung beliau yang menjadi panglima Sultan Mawlana Yusuf yaitu Raden Aryawangsa dalam penaklukan kerajaan Pakuan Pajajaran. Bertepatan dengan itu ibu angkat tercintanya yatu Ratu Kalinyamat wafat di Jepara sehingga beliau harus kembali ke Jepara
Pada Tahun 1579M Raden Abdullah/Pangeran Arya Jepara diangkat menjadi Sultan Kalinyamat Jepara menggantikan ibu angkatnya Ratu Kalinyamat, Ratu Kalinyamat mempunyai tiga orang anaka angkat tetapi yang berhak atas kedudukan tersebut adalah Pangeran Arya Jepara dikarenakan beliau adalah putra Adipati Unus/Sayyid Abdul Qodir Adipati Jepara pada tahun 1507-1518M sebelum diangkat menjadi Sultan Demak II.
Setelah beliau menjadi Sultan Kalinyamat Jepara beliau tidak begitu aktif dalam expansi wilayah, akan tetapi beliau lebih menekankan pada penyebaran agama Islam, beliau hanya melakukan expansi ke Bawean pada tahun 1593M setelah itu beliau lebih banyak membantu kesultanan Banten.
Pada tahun 1589M Panembahan Senapati memproklamirkan berdirinya Kesultanan Mataram dan beliau giat dalam expansi kekuasaan, dan Kesultanan Jepara adalah wilayah yang sangat sulit untuk ditaklukan, bahkan selama kepemimpinan Pangeran Arya Jepara, melihat kharisma dari Pangeran Arya Jepara sepertinya Panembahan Senapati enggan untuk membuka konflik dengan Jepara, dan begitupun Pangeran Arya Jepara yang saat itu sudah tua, bahkan beliau mengadakan hubungan yang baik dengan Panembahan Senapati Mataram terbukti putra beliau yaitu Raden Suryawangsa diangkat menjadi penasihat kesultanan Mataram untuk expansi kekuasaan di wilayah Priangan Timur yang dikemudian hari bernama Keadipatian Sukapura.
Raden Suryawangsa kemudian mendapat gelar Adipati Suryadiningrat, di sebahgian riwayat Rd Suryawangsa dinikahkan dengan adik perempuan Panembahan Senopati Ingalaga Mataram, dan dari pernikahan ini lahir lah Raden Abdullah Wangsa atau Ngabehi Wirawangsa yang dikemudian hari mendapat gelar TUMENGGUNG WIRADADAHA I SUKAPURA setelah resmi diangkat oleh Sultan Agung menjadi Bupati/Adipati Sukapura. Pada tahun 1599M, Raden Abdullah Malaka/Pangeran Arya Jepara/Pangeran Yunus dipanggil oleh Yang Maha Kuasa ke rahmatulloh, beliau adalah seorang ulama, mujahid, Sultan yang arif dan bijaksana yang telah mengisi khasanah catatan tinta emas perjuangan penyebaran Islam di negeri tercinta ini, beliau wafat dalam usia genap 80 tahun, sejak wafat Rd Abdullah Malaka diiringi oleh runtuhnya Kesultanan Jepara juga.
Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat/Rd Suryawangsa cucu Raden Abdullah Malaka/ Pangeran Arya Jepara bin Pati Unus menjadi kepala daerah Sukapura beribu kota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak pada tahun 1632 resmi menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura. Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini dipindahkanlah ibu kota Sukapura ke Manonjaya. Sementara itu Setelah kerajaan Jepara runtuh, terjadi kekosongan penguasa. putra-putra Pangeran Arya Jepara tidak ada di tempat, tidak ada catatan setelah wafatnya beliau, hanya pada tahun 1616M terjadi pertempuran yang sangat sengit antara pasukan Jepara dan Pasukan Mataram, pada saat itu yang menjadi Sulatan di Mataram adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo, dan Jepara dapat ditaklukan, sehingga penguasa Jepara sejak itu atas restu atau yang ditunjuk oleh Kesultanan Mataram.
Baru pada tahun 1616 Jepara dipimpin oleh Kyai Demang Laksamana yang kemudian digantikan berturut turut oleh Kyai Wirasetia, Kyai Patra Manggala, Ngabehi Martanata, Ngabehi Wangsadipa, Kyai Reksa Manggala, Kyai Wiradika, Ngabehi Wangsadipa (jabatan kedua), Ngabehi Wiradikara, Wira Atmaka, Kyai Ngabehi Wangsadipa, Tumenggung Martapura, Tumengung Sujanapura, Adipati Citro Sumo I, Citro Sumo II dan Adipati Citro Sumo III. Penguasa yang terakhir ini adalah penguasa Mataram yang terakhir sebab setelah itu Jepara menjadi wilayah Belanda. Namun pada masa transisi, Belanda masih tetap memakai Adipati Citro Sumo III. Ia kemudian digantikan oleh Citro Sumo IV, Citro Sumo V, dan Adipati Citro Sumo VI
Kiprah Putra Pati Unus di Banten
Sebagian riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya Pangeran Yunus (Raden Abdullah bin Pati Unus) banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik iparnya) sebagai penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunannya selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten, seperti seorang putranya Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Mawlana Abdul Qadir.
Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga pamannya sendiri karena ibunya adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tetapi tetap tunduk di bawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang disebut di atas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah ia wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucunya para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam, sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.
Kiprah Putera Pati Unus di wilayah Galuh (Priangan Timur) yang merupakan rujukan nasab dari para Bupati Sukaupura
Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki lainnya yaitu yang dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan lebih dikenal dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan Panembahan Senopati ketika Kerajaan Mataram Islam resmi menguasai Priangan Timur pada tahun 1595.
Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari kerjasama dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya).
Raden Suryadiwangsa dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah menjadi Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng Islaman Priangan Timur. Raden Suryadiwangsa memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka yang hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena di dalam pasukannya banyak terdapat keturunan Melayu Malaka.
Raden Suryadiwangsa pada tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II Pangeran Arya Kemuning atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. Akan tetapi seiring dengan makin melemahnya kesultanan Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. Pada saat 1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan Sumedang Larang. Inilah zaman keemasan Sumedang yang masih sering di dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari dinasti Kusumahdinata.
Sekitar tahun 1595 Panembahan Senopati dari Mataram mengirim expedisi hingga Priangan, Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan banyak wilayah termasuk Galuh Islam. Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi wilayah Ciamis hingga Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. Raden Suryadiwangsa cucu Pati Unus segera diangkat Panembahan Senopati sebagai penasehatnya untuk perluasan wilayah Priangan dan diberi gelar baru Raden Suryadiningrat.
Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiwangsa alias Raden Suryadiningrat menjadi kepala daerah Sukapura beribu kota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak pada tahun 1635 resmi menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini dipindahkanlah ibu kota Sukapura ke Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir berkedudukan di Manonjaya adalah Raden Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah ia pensiun maka ibu kota Sukapura resmi pindah ke kota Tasikmalaya.
Sumber
Dalam catatan Silsilah Walisongo lan Babad Demak Bintoro di Makhtab Walisongo, Demak, Jawa Tengah