Curing

Curing

Kars atau curing[1] adalah kawasan batu gamping. Penamaan karst berasal dari kawasan batu gamping di wilayah Yugoslavia. Ciri-ciri utama dari curing yaitu lahan yang kurang subur untuk pertanian, rentan terjadi erosi dan tanah longsor, dan rentan dengan pori-pori aerasi yang rendah. Selain itu, curing memiliki gaya permeabilitas yang lamban dan didominasi oleh pori-pori mikro.[2] Curing merupakan sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya mengalami depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping.

Etimologi

Istilah kars (diadaptasi dari bahasa Belanda, karst) yang dikenal di Indonesia diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia, lewat istilah geologi internasional yang dipakai dalam bahasa Belanda. Istilah aslinya adalah krst/krast yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia timur laut, dekat wilayah pariwisata Trieste.

Proses pembentukan

Daerah curing terbentuk oleh pelarutan batuan terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit, dalam evaporit seperti halnya gips dan halit, dalam silika seperti halnya batupasir dan kuarsa, dan di basalt dan granit di mana ada bagian yang kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable). Daerah ini disebut curing asli.

Daerah curing dapat juga terbentuk oleh proses cuaca, kegiatan hidraulik, pergerakan tektonik, air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Karena proses dominan dari kasus tersebut adalah bukan pelarutan, kita dapat memilih untuk penyebutan bentuk lahan yang cocok adalah pseudokarst (curing palsu).

Ekosistem

Ekosistem curing memiliki keunikan, baik secara fisik, maupun dalam aspek keanekaragaman hayati.

Karakteristik

Ciri-ciri daerah curing antara lain:

  • Daerahnya berupa cekungan-cekungan.
  • Terdapat bukit-bukit kecil.
  • Sungai-sungai yang tampak di permukaan hilang dan terputus ke dalam tanah.
  • Adanya sungai-sungai di bawah permukaan tanah
  • Adanya endapan sedimen lempung berwarna merah hasil dari pelapukan batu gamping.
  • Permukaan yang terbuka tampak kasar, berlubang-lubang dan runcing.

Penyedia air

Di kawasan curing banyak dijumpai gua dan sungai bawah tanah yang juga menjadi pemasok ketersediaan air tanah yang sangat dibutuhkan oleh kawasan yang berada di bawahnya. Termasuk di dalamnya ketersediaan air tawar (dan bersih) bagi kehidupan manusia, baik untuk keperluan harian maupun untuk pertanian dan perkebunan.

Daerah kars di Indonesia

Pegunungan kars di daerah Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan

Kawasan curing di Indonesia mencakup luas sekitar 15,4 juta hektare dan tersebar hampir di seluruh Indonesia. Perkiraan umur dimulai sejak 470 juta tahun lalu sampai yang terbaru sekitar 700.000 tahun. Keberadaan kawasan ini menunjukkan bahwa pulau-pulau Indonesia banyak yang pernah menjadi dasar laut, namun kemudian terangkat dan mengalami pengerasan. Wilayah curing biasanya berbukit-bukit dengan banyak gua.

Berikut adalah wilayah kars di Indonesia:[3]

Sisa-sisa permukiman manusia purba ditemukan di Leang Cadang, Leang Lea, dan goa-goa lainnya di Maros, Goa Sampung dan Goa Lawa di Ponorogo, Goa Marjan dan Goa Song di Jember, Song Gentong (Tulungagung), Song Brubuh, Song Terus, dan Goa Tabuhan di Pacitan. Lukisan atau cap dinding ditemukan di kawasan Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Kepulauan Kai, Seram, Timor, serta Papua. Ini menunjukkan indikasi migrasi manusia ke arah timur. Selain itu ditemukan pula berbagai sisa berbagai jenis vertebrata berusia 1,7 juta tahun hingga 700.000 tahun.

Karena nilai ekologi, ekonomi, dan kesejarahannya, kawasan Pegunungan Sewu, Pegunungan Maros, dan Pegunungan Lorentz telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi Kawasan Warisan Dunia.


Kerusakan kawasan

  • Aktivitas penggalian batu kapur
  • Penambangan oleh industri semen

Referensi

  1. ^ Stevens, Alan M. (2004). A comprehensive Indonesian-English Dictionary (dalam bahasa Inggris). PT Mizan Publika. ISBN 978-979-433-387-7. 
  2. ^ Susilawati dan Bachtiar, N. (2018). Biologi Dasar Terintegrasi (PDF). Pekanbaru: Kreasi Edukasi. hlm. 177. ISBN 978-602-6879-99-8. 
  3. ^ Referensi

Pranala luar