Pada tahun 1884 Cianting merupakan ibukota Kewedanaan (Onderdisrik) yang dipimpin oleh seorang Wedana dibawah Distrik Gandasoli. Distrik Gandasoli yang sebelumnya dibawah Kabupaten Bandung kemudian digabungkan dengan Kontrole-Afdeling Purwakarta karena pertimbangan geografis (Staatsblaad 1884 No. 91)[2]. Pada 1929 Cianting berkedudukan sebagai Desa dibawah Onderdisrik Plered[3]. Tahun 1990 Cianting masuk ke dalam Kecamtan baru yaitu Sukatani[3]
Pada masa pemerintahan Republik Indonesia Desa ini mengalami tiga kali pemekaran, yaitu dimekarkan sebagian wilayahnya menjadi Desa Pasirmunjul, dimekarkan kembali menjadi Desa Cibodas, dan terakhir dimekarkan menjadi Desa Cianting Utara. Total telah tiga kali luas wilayah desa ini menyusut hingga saat ini tersisa.
Desa Cianting berada pada ketinggian 238 dpl[5] dengan satu wilayah perbukitan dan 50 persen wilayahnya merupakan lahan perkebunan[5]. Terdapat Jalan nasional yang melewati desa ini yakni Jalan Lintas Cikampek-Padalarang, Jalan Kabupaten Purwakarta-Plered dan juga dilalui Jalan Tol Cipularang (Km 90-92).
Penduduk dan Budaya
Penduduk Desa Cianting mayoritas merupakan suku Sunda, kemudian pendatang Suku Jawa yang bekerja di Kabupaten Purwakarta. Mayoritas masyarakat sehari-hari bertutur dengan bahasa Sunda dialek Priangan dan juga Bahasa Indonesia. Penduduk desa Cianting mayoritas beragama islam[5]Madzhab Syafii. Terdapat tokoh agama yang terkenal yaitu
Alm. Ama Ajengan Usman Zain murid Tubagus Ahmad Bakri atau Mama Sempur. Wafat 1973.
Alm. Ama Ajengan Abdul Kohar (Ama Kohar) dimakamkan di Kampung Cianting Tonggoh, Cianting wafat sekitar tahun 1980
Alm. K.H. Agus Zainal Abidin (Ama Agus) menantu Ama Usman Zain, wafat 2016 dimakamkan di Kampung Seureuh, Cianting
K.H. E. Muhyidin Abdul Jabbar, cucu Lurah Sumadinata